Mohon tunggu...
Farhan Abdul Majiid
Farhan Abdul Majiid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Alumnus Ilmu Hubungan Internasional FISIP Universitas Indonesia | Alumnus SMA Pesantren Unggul Al Bayan | Penikmat Isu Ekonomi Politik Internasional, Lingkungan Hidup, dan Kajian Islam

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama FEATURED

Refleksi Banjir Jakarta, Ubah Cara Pandang Kita Hidup di Tengah Kota

2 Januari 2020   12:44 Diperbarui: 7 Desember 2021   06:10 3987
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tampilan banjir Jakarta di kawasan Kampung Melayu, Jakarta Timur, dari helikopter yang mengangkut Kepala BNPB Doni Monardo dan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, saat mereka meninjau kondisi banjir terkini pada Rabu (1/1/2020).(DOKUMENTASI BNPB)

Coba dilihat rencana tata ruang yang menjadi acuan ideal pembangunan. Daerah-daerah yang sekarang kebanjiran, kebanyakan peruntukannya bukan permukiman atau gedung perkantoran. Tapi sebagai ruang terbuka hijau.

Daerah Kelapa Gading, misalnya. Itu merupakan wilayah yang rendah, bahkan dulunya rawa-rawa. Daerah bantaran sungai Pesanggrahan, contoh lainnya. Bukan untuk perkantoran dan permukiman. Tidak mungkin kanan kiri sungai dijadikan tempat tinggal.

Kenapa bisa salah bangun begitu? Karena logikanya terbalik. Seharusnya, manusia yang memahami bagaimana kondisi alamiah Jakarta. Bukannya malah asyik saja membangun dan mengenyahkan kelestarian alam dari kamus pembangunan.

Perhatikan deh. Ada 13 sungai yang bermuara di Teluk Jakarta. Setiap sungai memiliki daerah aliran sungai masing-masing.

Karena Jakarta merupakan hilir dan berupa dataran, maka sungai akan membentuk kelokan (meander) yang secara alami akan menjadi sistem drainase sungai. Air sungai ini juga akan membawa material sedimentasi hasil erosi dari hulu yang akan diendapkan di sepanjang sungai hingga muara.

Di alam, sekian puluh hingga ratusan meter dari bantaran sungai akan menjadi sistem dataran banjir (floodplain), yang ketika musim penghujan tiba, air akan secara alami membanjiri daerah tersebut untuk kemudian masuk ke tanah menjadi persediaan air tanah dangkal.

Di pegunungan yang menjadi hulunya, akan banyak hutan yang menjaga agar erosi tidak terlalu kuat dan membantu penyerapan air tanah. Nantinya, air tanah ini akan masuk ke lapisan batuan yang dalam dan melalui proses bertahun-tahun akan menjadi simpanan cadangan air artesis yang dalam.

Sayangnya, di dalam tanah Jakarta cadangannya sudah semakin menipis karena disedot gedung-gedung tinggi.

Tapi yang terjadi, faktor tadi dikesampingkan dalam pembangunan. Ada tanah yang strategis di dekat sungai, karena dekat jalan raya, dibangun perumahan.

Rumah saja tidak cukup, dibangun juga sekolahan hingga pusat perbelanjaan. Sungainya diluruskan saja, karena kalau belok belok buang-buang lahan. Pinggirannya dibeton saja, biar di sampingnya bisa langsung jadi gedung perkantoran.

Lalu air itu ke mana? Terserah saja. Yang penting ekonomi tumbuh, gedung-gedung megah, mal-mal mewah, dan rumah-rumah elit terbangun. Saat kemarau sih santai-santai saja. Toh tidak ada masalah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun