Mohon tunggu...
Farhan Abdul Majiid
Farhan Abdul Majiid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Alumnus Ilmu Hubungan Internasional FISIP Universitas Indonesia | Alumnus SMA Pesantren Unggul Al Bayan | Penikmat Isu Ekonomi Politik Internasional, Lingkungan Hidup, dan Kajian Islam

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama FEATURED

Refleksi Banjir Jakarta, Ubah Cara Pandang Kita Hidup di Tengah Kota

2 Januari 2020   12:44 Diperbarui: 7 Desember 2021   06:10 3952
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tampilan banjir Jakarta di kawasan Kampung Melayu, Jakarta Timur, dari helikopter yang mengangkut Kepala BNPB Doni Monardo dan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, saat mereka meninjau kondisi banjir terkini pada Rabu (1/1/2020).(DOKUMENTASI BNPB)

Tahun baru 2020 kali ini, Jakarta dan sekitarnya diguyur hujan lebat nan awet. Akibatnya sudah diduga, banjir di seantero kota.

Di media sosial, fans club para politisi masih saja mengulang kaset rusak yang sama. Pokoknya ini salah Presiden. Pokoknya ini salah Gubernur. Pokoknya, pokoknya, dan pokoknya.

Namun kita mau hindari debat kusir yang tidak jelas itu. Sambil coba memahami dari sudut pandang yang lebih luas dan dalam. Mari kita mulai argumen ini dengan nada provokatif. Ini adalah bagian kecil dari Bencana Iklim!

Curah hujan di Jakarta dan sekitarnya pada malam tahun baru memecah rekor tertinggi selama lebih dari dua dekade. Tercatat yang tertinggi ada di sekitar bandara Halim Perdanakusuma, dengan 377 mm dalam sehari. Ini jauh lebih tinggi dari rata-rata bulanan yang berkisar 300 mm per bulan.

Sementara di Jakarta kita merasakan hujan yang tidak habis-habis, di Yogyakarta sedang terjadi kelangkaan air bersih, khususnya daerah Sleman. Bahkan di Australia, kemarau berkepanjangan juga mencatatkan rekor, yang memicu kebakaran hutan yang dahsyat di pantai timur Australia.

Ini baru di Indonesia dan Australia. Belum lagi musim dingin yang justru hangat di Rusia, musim dingin ekstrem di India, dan di berbagai belahan dunia lainnya. Kita pun bertanya-tanya. Kalau ini hanya bagian kecil saja, bagaimana yang besarnya? Apa yang sesungguhnya terjadi?

Bila kita perhatikan fenomena itu semua, akan bertemu benang merahnya pada anomali iklim. Tapi mungkin sebutan "anomali" itu terlalu lunak. Media massa internasional banyak yang telah mengganti "anomali iklim" atau "perubahan iklim" dengan "bencana iklim". Climate catastrophe.

Ini bukan isapan jempol politisi partai hijau di Eropa atau bualan SJW di Jakarta saja. Tapi memang benar-benar menjadi konsensus para ahli klimatologi, bahwa perubahan yang terjadi di atmosfer telah benar-benar ekstrem, hingga hampir bisa dikatakan tidak akan kembali kepada kondisi normal.

Temperatur rata-rata global, yang menjadi faktor pengontrol iklim utama, telah naik hingga 1,2-1,3 derajat Celcius, sejak masa Revolusi Industri. Berdasarkan penelitian, apabila kenaikan itu telah mencapai 1,5 derajat Celcius sebelum tahun 2100, maka wassalam. Apa yang terjadi, terjadilah. Kita tak akan pernah bisa kembali seperti sedia kala.

Apa kaitannya kenaikan temperatur itu dengan kondisi hujan ekstrem di Jabodetabekpunjur? 

Begini.

Meningkatnya konsentrasi gas rumah kaca, khususnya CO2 dan CH4, menyebabkan panas yang diterima oleh bumi, semakin tinggi yang diperangkap oleh atmosfer. Panas yang besar itu kemudian disimpan, paling banyak, di lautan dan samudera. Suhu air laut kemudian akan ikut naik. Di kutub, gunung es banyak yang mencair.

Di tempat lainnya, fluktuasi suhu menyebabkan fluktuasi tekanan udara, sehingga angin menjadi abnormal. Penguapan pun semakin cepat, membentuk sistem perawanan yang terus membesar. Ia pun dibawa angin dan tiba di Jakarta, juga di seluruh dunia.

Maka, dampak dari naiknya suhu 0,1C saja bisa mengubah keseimbangan iklim. Apalah lagi sudah naik 1,2-1,3C. Bisa dibayangkan akibatnya.

Iklim yang berubah, otomatis cuaca juga semakin tak menentu. Kita akan semakin sering dihadapkan pada kondisi ekstrem. Entah kemarau ekstrem dua bulan yang lalu, atau hujan ekstrem seperti dalam sepekan terakhir. Kalau sudah begitu, bakal semakin sering terjadinya bencana seperti banjir ini. Juga kekeringan saat kemarau.

Itu baru di tingkatan global. Sekarang kita masuk ke level nasional. Pembangunan kita masih saja tidak berkelanjutan.

Banjir yang ada di Jakarta setidaknya mengisyaratkan pada kita, bahwa betapa pun rumitnya birokrasi yang dibuat manusia, mekanisme alam tidak akan peduli hal itu.

Alam tidak mengenal batas administrasi. Alam tidak peduli partai apa yang berkuasa. Alam tidak memikirkan siapa yang jadi Presiden, Gubernur, Walikota, Bupati, Camat, Lurah, hingga pak RW dan RT.

Kalau sudah begini, yang mesti dibenahi ialah cara berpikir mengenai pembangunan. Kita masih saja terjebak dengan doktrin pembangunan menuju lepas landas yang ditulis tahun 1960an, dalam konteks perang dingin, dan faktor lingkungan hanya dijadikan ceteris paribus.

Negara bisa dikatakan maju jika pertumbuhan ekonominya double digit. GDP per kapitanya belasan ribu dollar. Industrialisasi di segala lini. Maka, membabat habis hutan tidak menjadi masalah, yang penting ekonomi tumbuh.

Pabrik tidak pakai AMDAL tidak mengapa, yang penting lapangan kerja banyak. Membuat gedung kalau perlu tidak pakai IMB, karena akan menghambat investasi.

Ya, memang, ekonomi akan tumbuh, tapi sampai berapa lama? 5 tahun? 10? 20? 50? Sudah itu? Bencana akan terjadi. 

Inilah yang disebut oleh Meadows dkk. sebagai "Limits To Growth" di dalam bukunya yang terbit tahun 1973 silam. Betapa pun canggihnya teknologi, selama eksploitasi alam tidak dipedulikan, maka pertumbuhan itu akan mencapai titik batas kritisnya.

Sudahlah begitu, institusi pemerintahan masih koruptif. Karena sudah keburu diberi modal Pilkada, izin tambang diberi cuma-cuma. Karena sudah kadung disponsori jadi caleg, jadilah pengawasan DPRD tertutup matanya.

Ini dia yang menjadi penyebab negara gagal, seperti yang disebut oleh Acemoglu dan Robinson. Institusi yang ekstraktif, yang memburu sumber daya alam secara eksploitatif, dan dilindungi pemerintahan yang koruptif.

Akhirnya pertumbuhan ekonomi itu hanya cantik di atas kertas. Sementara kebakaran hutan dan banjir bandang menjadi santapan bergilir, seiring musim berganti berselang.

Naiknya GDP hanya jadi suapan saat kampanye saja. Sementara ketidakadilan dan ketimpangan, tersebab konflik agraria antara rakyat jelata dengan penguasa kebun sawit. Lahan pertanian hilang digantikan tambang. Padahal yang dimakan tetaplah beras dan umbi-umbian, bukan batu bara.

Apakah ini berarti kita tidak perlu membangun sama sekali? Tidak sefatalistik itu!

Kita tetap membangun, tapi paradigmanya mesti diubah. Tujuan pembangunan bukan hanya mengejar tingginya pertumbuhan GDP atau meningkatkan investasi semata. Lebih dari itu, kita menjamin keadilan ekonomi, sekaligus menjaga kelestarian lingkungan.

Atau mungkin yang lebih filosofis, seperti yang disebut Amartya Sen sebagai "Development as Freedom". Pembangunan untuk membebaskan manusia dari kemiskinan dan kemelaratan. Pembangunan juga membebaskan manusia untuk memiliki lebih banyak pilihan dalam mencapai kesejahteraan.

Tapi jangan dilupa bahwa pertumbuhan ekonomi hanya satu dari tiga pilar pembangunan. Ada keadilan sosial dan kelestarian lingkungan sebagai dua pilar lainnya. Begitu yang jadi visi besar Pembangunan Berkelanjutan, seperti yang dicanangkan PBB.

Lalu apa hubungannya dengan banjir Jakarta? Mari dilihat lebih dalam.

Apakah banjir terjadi gara-gara Presidennya Jokowi dan Gubernurnya Anies? Tentu tidak. Ada tanggungan "dosa" akibat pola pembangunan yang eksploitatif di Jakarta dan sekitarnya.

Coba dilihat rencana tata ruang yang menjadi acuan ideal pembangunan. Daerah-daerah yang sekarang kebanjiran, kebanyakan peruntukannya bukan permukiman atau gedung perkantoran. Tapi sebagai ruang terbuka hijau.

Daerah Kelapa Gading, misalnya. Itu merupakan wilayah yang rendah, bahkan dulunya rawa-rawa. Daerah bantaran sungai Pesanggrahan, contoh lainnya. Bukan untuk perkantoran dan permukiman. Tidak mungkin kanan kiri sungai dijadikan tempat tinggal.

Kenapa bisa salah bangun begitu? Karena logikanya terbalik. Seharusnya, manusia yang memahami bagaimana kondisi alamiah Jakarta. Bukannya malah asyik saja membangun dan mengenyahkan kelestarian alam dari kamus pembangunan.

Perhatikan deh. Ada 13 sungai yang bermuara di Teluk Jakarta. Setiap sungai memiliki daerah aliran sungai masing-masing.

Karena Jakarta merupakan hilir dan berupa dataran, maka sungai akan membentuk kelokan (meander) yang secara alami akan menjadi sistem drainase sungai. Air sungai ini juga akan membawa material sedimentasi hasil erosi dari hulu yang akan diendapkan di sepanjang sungai hingga muara.

Di alam, sekian puluh hingga ratusan meter dari bantaran sungai akan menjadi sistem dataran banjir (floodplain), yang ketika musim penghujan tiba, air akan secara alami membanjiri daerah tersebut untuk kemudian masuk ke tanah menjadi persediaan air tanah dangkal.

Di pegunungan yang menjadi hulunya, akan banyak hutan yang menjaga agar erosi tidak terlalu kuat dan membantu penyerapan air tanah. Nantinya, air tanah ini akan masuk ke lapisan batuan yang dalam dan melalui proses bertahun-tahun akan menjadi simpanan cadangan air artesis yang dalam.

Sayangnya, di dalam tanah Jakarta cadangannya sudah semakin menipis karena disedot gedung-gedung tinggi.

Tapi yang terjadi, faktor tadi dikesampingkan dalam pembangunan. Ada tanah yang strategis di dekat sungai, karena dekat jalan raya, dibangun perumahan.

Rumah saja tidak cukup, dibangun juga sekolahan hingga pusat perbelanjaan. Sungainya diluruskan saja, karena kalau belok belok buang-buang lahan. Pinggirannya dibeton saja, biar di sampingnya bisa langsung jadi gedung perkantoran.

Lalu air itu ke mana? Terserah saja. Yang penting ekonomi tumbuh, gedung-gedung megah, mal-mal mewah, dan rumah-rumah elit terbangun. Saat kemarau sih santai-santai saja. Toh tidak ada masalah.

Tapi saat penghujan tiba. Apalagi lagi Januari-Februari ketika musim hujan mencapai puncaknya. Air datang melimpah. Di hulu, hutan yang tadinya lebat, sudah berganti dengan vila dan resor wisata.

Di hilir, kanan kiri sungai sudah dibeton. Air tidak bisa masuk ke tanah. Mau ke laut, rupanya permukaan tanah Jakarta sudah 3-5 meter di bawah permukaan laut.

Akhirnya? Yasudah, air meluber ke mana-mana. Lalu kita sebut itu bencana? Iya sih, sebab memang merugikan manusia. Tapi bukannya memang penyebabnya itu manusia sendiri? Meski bukan dia yang terkena langsung. Tapi sama-sama manusia, toh?

Maka, dengan kondisi yang sudah serba "kadung" begini, tidak banyak yang bisa diperbuat. Tidak mungkin juga kan, gedung dan rumah yang sudah ada dibabat habis dijadikan hutan. Toh mereka dulu juga dapat IMB dan tiap tahun bayar pajak. Secara hukum mereka legal dan sah punya rumah di sana.

Akhirnya, yang bisa dilakukan tinggallah adaptasi. Oke, kita hidup di daerah yang secara alami pasti akan terjadi banjir. Tapi bagaimana kita mengantisipasi, agar ketika banjir itu tiba, dia tidak menjadi bencana. 

Banjir tidak jadi bencana, memangnya bisa?

Mungkin susah kalau kita bayangkan sekarang. Karena genangan sedikit pun langsung dipolitisasi buat salah-salahan.

Tapi begini, yang namanya mitigasi kebencanaan itu sejatinya bukan menghilangkan sama sekali potensi bencana, apalagi yang terkait alam. Mustahil kan, kita mencegah gunung meletus dengan mencabut Merapi dari akarnya? Hehehe.

Manajemen kebencanaan sejatinya ialah bagaimana kita mengurangi risiko dan ancaman, dengan meningkatkan kapasitas dan kapabilitas kita, apabila kejadian itu datang. Agar nantinya, kerugian yang kita alami bisa ditekan seminimal mungkin.

Ketika Jakarta sudah kita pahami sebagai tempat yang normal untuk dibanjiri air, kemudian kita tahu bulan-bulan yang rawan terjadi banjir, maka kita masih punya peluang untuk menyiapkan diri ketika banjir itu tiba.

Sebab, betapa pun lebar sungai kita keruk, saat musim hujan tiba, banjir juga bakal ikutan datang.

Caranya ada banyak. Mulai dari pencegahan dengan menyehatkan kembali daerah aliran sungai hingga kesiapsiagaan dengan mempunyai pengetahuan ketika banjir itu tiba, apa saja yang mesti dilakukan.

Nah, dengan begitu, kita ubah cara pandang dalam hidup di tengah kota Jakarta. Bukan memusuhi air sehingga maunya dibuang ke laut saja. Tapi dengan memahami bagaimana air itu secara alami dan berdamai dengan kondisi yang ada.

Terakhir, barangkali kenapa kita lumayan kedodoran ketika banjir ini tiba, ialah karena yang kita siapkan sambutan ialah tahun yang baru. Seolah lupa bahwa kita juga mulai memasuki awal puncak musim hujan. Jadinya, kesiapan kita berkurang.

Curah hujan tinggi dalam waktu lama dan wilayah yang luas kurang dipahami. Bahwa ada tamu yang akan datang. Ialah banjir Jakarta dan sekitarnya.

Akhirul kalam, semoga teman-teman yang terkena banjir bisa selamat dan tidak banyak mengalami kerugian. Semoga Allah berikan kesehatan dan limpahan keberkahan. Agar banjir tidak jadi ajang untuk mencari kambing hitam, tetapi menjadi sarana untuk terus belajar dan mengoreksi kesalahan. Amiin... 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun