Dunia internasional harus memahami bahwa keamanan sejati tidak lahir dari blokade, melainkan dari keadilan
Tulisan ini mengkaji fenomena kebijakan Israel dalam mempertahankan blokade Gaza serta intersepsi terhadap armada kemanusiaan (flotilla).Â
Analisis difokuskan pada dua dimensi: (1) paranoia historis yang berakar dari trauma Holocaust dan konflik eksistensial Israel sejak 1948, dan (2) konsekuensi kemanusiaan berupa collective punishment yang melanggar hukum internasional.Â
Tulisan ini menyoroti paradoks antara retorika keamanan Israel dan kenyataan penderitaan warga sipil Palestina, serta menawarkan perspektif akademik tentang sindrom keamanan absolut.
Pendahuluan
Sejak peristiwa Nakba 1948, konflik Israel--Palestina menjadi contoh klasik dari kolonialisme modern dan politik eksistensial.Â
Israel menegakkan blokade Gaza sejak 2007 dengan dalih keamanan, khususnya menghadapi Hamas. Namun, kebijakan ini menimbulkan dilema global: keamanan Israel versus hak hidup warga sipil Palestina.Â
Intersepsi flotilla, meski berlabel kemanusiaan, menandai penolakan Israel terhadap setiap bentuk celah yang meruntuhkan legitimasi blokade.
Metodologi
Kajian ini menggunakan pendekatan interdisipliner:
1. Studi politik internasional konsep keamanan absolut dan sindrom paranoia negara.
2. Kajian hukum humaniter internasional Konvensi Jenewa dan larangan collective punishment.
3. Analisis historis trauma Holocaust dan reproduksi penindasan.
Kajian Teoritik
1.Sindrom Keamanan Absolut
Menurut teori keamanan (Booth, 2007), negara yang hidup dalam ketakutan permanen akan membangun mekanisme kontrol absolut.Â
Israel menolak flotilla bukan sekadar alasan militer, tetapi demi menjaga simbol bahwa blokade adalah total. Kebocoran sekecil apapun akan menciptakan preseden.
2.Paranoia Historis
Trauma Holocaust dan pengalaman konflik berulang membentuk mental kolektif Israel yang selalu merasa dikepung.Â
Dalam psikologi politik, ini disebut paranoid state behavior---negara tidak lagi membedakan ancaman nyata dengan potensi ancaman.
3.Collective Punishment
Blokade Gaza membuat lebih dari 2 juta penduduk sipil menderita. Menurut hukum humaniter internasional, penghukuman kolektif melanggar Pasal 33 Konvensi Jenewa IV.Â
Intersepsi bantuan kemanusiaan mempertegas bahwa strategi Israel telah melampaui pertahanan diri menuju pelanggaran HAM berat.
Diskusi
Paradoks Israel:
*Mengklaim sebagai korban sejarah, tetapi kini mereproduksi pola penindasan.
*Menyebut flotilla sebagai ancaman politik, tetapi menutup mata pada bayi yang mati kelaparan.
*Membangun identitas "selalu dikepung," padahal justru memperluas wilayah ilegal di Tepi Barat.
Fenomena ini menegaskan tesis: Israel bukan hanya menghadapi konflik eksternal, tetapi juga krisis nurani internal. Paranoia telah menggeser empati.
Israel mempertahankan intersepsi flotilla demi menjaga simbol kontrol total. Namun, tindakan ini menyingkap wajah lain: sindrom keamanan absolut yang berubah menjadi pelanggaran kemanusiaan.Â
Jika Israel tidak mampu keluar dari trauma historisnya, maka ia akan terus memproduksi penderitaan kolektif yang melanggengkan konflik.Â
Dunia internasional harus memahami bahwa keamanan sejati tidak lahir dari blokade, melainkan dari keadilan.
Referensi
*Booth, K. (2007). Theory of World Security. Cambridge: Cambridge University Press.
*Geneva Convention IV (1949). International Committee of the Red Cross.
*Said, E. (1979). The Question of Palestine. New York: Vintage.
*Papp, I. (2006). The Ethnic Cleansing of Palestine. Oxford: Oneworld.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI