Publik Indonesia menanti langkah konkret pemerintah. Akankah revisi UU TNI benar-benar dicabut, atau justru menjadi pemicu konflik politik yang lebih besar?Â
Wacana revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) yang mulai bergulir sejak Maret 2025 terus memicu gelombang protes di berbagai kota di Indonesia.Â
Usulan untuk menambah jumlah posisi sipil yang dapat diisi prajurit TNI dari 10 menjadi 14 posisi dianggap sebagai langkah mundur dari reformasi militer pasca-1998, memicu kecaman dari mahasiswa, aktivis, hingga kelompok oposisi.Â
Pada hari ini, 10 September 2025, isu ini kembali menjadi sorotan utama dalam aksi demonstrasi besar-besaran di depan Gedung DPR RI, Jakarta, serta kota-kota besar lain seperti Bandung, Surabaya, Medan, hingga Aceh.
Latar Belakang Revisi UU TNI
Revisi UU TNI yang diusulkan DPR awalnya bertujuan memperluas peran prajurit TNI dalam posisi sipil, seperti jabatan di kementerian, pemerintahan daerah, hingga badan-badan strategis.Â
Menurut pihak pendukung revisi, langkah ini diperlukan untuk memanfaatkan keahlian prajurit dalam mendukung pembangunan nasional, terutama di tengah tantangan ekonomi pasca-pandemi dan ketegangan geopolitik global. Namun, usulan ini langsung menuai kritik keras.Â
Banyak pihak menilai revisi ini membuka peluang kembalinya dwifungsi ABRI, praktik era Orde Baru di mana militer memiliki peran ganda di ranah militer dan sipil, yang dianggap merusak supremasi sipil.
Sejak Maret 2025, wacana ini telah memicu diskusi panas di kalangan akademisi, aktivis, dan masyarakat sipil.Â
Mahasiswa, yang menjadi motor utama protes, bahkan menolak undangan DPR untuk berdialog, menyebutnya sebagai "token politik" yang tidak serius menyerap aspirasi rakyat.Â
Mereka menilai revisi ini tidak hanya mengancam demokrasi, tetapi juga memperkuat potensi intervensi militer dalam politik, yang bertentangan dengan semangat reformasi 1998.