Pasangan baru yang memberi dukungan emosional bukan hanya memperkuat harga diri subjek, tetapi juga mematahkan siklus kontrol pasangan toksik
Tulisan ini membahas dinamika relasi toksik dalam hubungan asmara, terutama ketika salah satu pihak (subjek) menemukan hubungan alternatif yang lebih validatif secara emosional.Â
Studi kasus imajiner digunakan untuk menggambarkan bagaimana kehadiran pasangan baru yang penuh perhatian dan suportif dapat mengubah orientasi emosional korban, sekaligus mengguncang posisi dominan pasangan toksik.
Pendahuluan
Hubungan toksik ditandai oleh dominasi, kontrol, perendahan harga diri, dan minimnya dukungan emosional (Evans, 2020).Â
Individu yang terjebak sering mengalami penurunan rasa percaya diri serta meningkatnya ketergantungan emosional pada pasangan toksik.Â
Namun, dalam beberapa kasus, kehadiran "hubungan validatif alternatif" mampu memicu proses kebangkitan diri.
Metodologi
Tulisan ini menggunakan pendekatan studi kasus kualitatif imajiner, di mana pengalaman subjek dianalisis melalui kacamata psikologi relasi dan teori validasi emosional.Â
Data berupa narasi hubungan digunakan untuk mengidentifikasi perubahan dinamika kekuasaan dan pergeseran pusat perhatian emosional.
Kajian Teoritik
1.Relasi Toksik -- Hubungan di mana pasangan melakukan manipulasi, meremehkan, dan mengisolasi individu (Forward, 2019).
2.Validasi Emosional -- Proses ketika seseorang merasa didengar, dipahami, dan dihargai. Hal ini terbukti meningkatkan harga diri (Linehan, 1993).
3.Displacement of Attention -- Dalam psikologi sosial, ketika fokus emosional berpindah dari objek lama (pasangan toksik) ke objek baru yang lebih suportif, maka terjadi pergeseran dinamika relasi (Festinger, 1957).
Analisis Studi Kasus
*Tahap 1: Penurunan Harga Diri
Pasangan toksik memandang dirinya sebagai pusat dunia, merendahkan pasangan dengan ucapan bahwa "tidak ada yang akan menginginkanmu lagi."Â
Hal ini menciptakan inferioritas psikologis pada subjek.
*Tahap 2: Pencarian Validasi Eksternal
Subjek kemudian mencoba membuktikan nilai dirinya melalui relasi dengan orang lain.Â
Pada tahap ini, ia sekadar mencari "cermin" untuk melihat bahwa dirinya tetap menarik.
*Tahap 3: Pertemuan dengan Hubungan Validatif Alternatif
Berbeda dengan relasi-relasi sebelumnya, pasangan alternatif ini tidak hanya menjadi "cermin", tetapi juga "penyembuh".Â
Ia menyediakan perhatian dan cinta dua arah yang membuat subjek merasakan kembali eksistensinya.
*Tahap 4: Pergeseran Dinamika Relasi
Pasangan toksik kehilangan kontrol. Ia menjadi caper (cari perhatian), berusaha meniru perilaku romantis, karena sadar posisinya tak lagi dominan.
Kehadiran hubungan validatif alternatif dapat berfungsi sebagai katalisator kebangkitan diri.Â
Dalam konteks relasi toksik, pasangan baru yang memberi dukungan emosional bukan hanya memperkuat harga diri subjek, tetapi juga mematahkan siklus kontrol pasangan toksik.Â
Hal ini menunjukkan bahwa cinta yang sehat bukan sekadar pembuktian, tetapi pemulihan.
Referensi
*Evans, P. (2020). The Verbally Abusive Relationship. Adams Media.
*Forward, S. (2019). Emotional Blackmail: When the People in Your Life Use Fear, Obligation, and Guilt to Manipulate You. HarperCollins.
*Linehan, M. M. (1993). Cognitive-Behavioral Treatment of Borderline Personality Disorder. Guilford Press.
*Festinger, L. (1957). A Theory of Cognitive Dissonance. Stanford University Press.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI