Dalam isu geopolitik bernuansa konflik besar, terutama yang melibatkan sekutu kuat, PBB kerap terperosok ke dalam standar ganda, ketakberdayaan diplomatik, dan paralisis moral
Pada tahun 2025, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) merayakan ulang tahunnya yang ke80.Â
Namun, alih-alih disambut dengan perayaan megah, tonggak sejarah ini justru diiringi kritik tajam terhadap kemandulan lembaga ini dalam menghadapi krisis global---terutama dalam tragedi kemanusiaan di Gaza.Â
Dunia bertanya: apakah PBB masih relevan?
Kritik terhadap Ketimpangan Kekuatan dalam PBB
1. Dewan Keamanan: Arena Dominasi Negara Adidaya
Dewan Keamanan PBB (DK PBB) terdiri dari 5 anggota tetap dengan hak veto: AS, Rusia, China, Inggris, dan Prancis.Â
Dalam konflik Gaza, setiap resolusi yang mengarah pada sanksi atau investigasi terhadap Israel nyaris selalu diveto oleh Amerika Serikat, yang merupakan sekutu utama Israel.
Contoh: Pada Oktober 2023 hingga Mei 2025, setidaknya 5 resolusi DK PBB terkait penghentian agresi Israel ke Gaza diveto oleh AS, meskipun PBB mencatat lebih dari 56.000 warga Palestina tewas, mayoritas perempuan dan anak-anak (UN OCHA, 2025).
2. PBB Didanai oleh Kekuatan yang Diuntungkan
Lebih dari 22% anggaran reguler PBB berasal dari Amerika Serikat (UN Financial Report, 2024).Â