Kritik orang waras adalah bentuk cinta kepada peradaban. Karena ia berani berkata: "Lebih baik aku dianggap kolot, daripada waras palsu karena ikut tren gila."
Perkembangan teknologi kecerdasan buatan (AI) telah melahirkan medan perdebatan baru antara nilai-nilai moral, agama, dan agenda global.Â
Bukan hal aneh bila sekarang sering terjadi benturan epistemologis antara nalar spiritual dengan logika algoritmik yang mengusung nilai netralitas global.Â
Tulisan kali ini akan membedah pertanyaan besar:Â dapatkah AI tetap netral ketika algoritmanya dipengaruhi oleh ideologi dominan dunia? Dan apakah penolakan terhadap arus LGBTQ+ serta ideologi inklusif tertentu bisa tetap berdiri di atas argumen rasional dan etis---bukan semata-mata fanatisme?
AI di Tengah Arus Ideologi Global
AI bukan makhluk hidup. Ia tak punya nurani, tetapi ia mengolah dan menyajikan data dari dunia manusia yang penuh bias.Â
Ketika dunia internasional memutuskan bahwa LGBTQ+ harus dilindungi dan dipromosikan sebagai bagian dari hak asasi manusia, maka sistem AI pun diprogram untuk tidak menyudutkan identitas tersebut---meskipun ini berarti menyingkirkan sebagian perspektif religius atau konservatif yang meyakini hal sebaliknya.
Orientasi LGBTQ+ adalah bentuk hawa nafsu yang dikemas secara modern, dan bahwa agenda global telah menciptakan normalisasi terhadap penyimpangan.
 AI berusaha menjaga posisi netral, namun sayang justru hal tersebut membuka celah: netralitas yang "dipaksa" bisa menjadi bentuk keberpihakan terselubung.
Ketika AI Bertemu Teologi: Tentang Tuhan dan Pertanggungjawaban
Satu poin fundamental: bahwa tanpa Tuhan dan pertanggungjawaban akhirat, moralitas menjadi relativistik dan mudah dibajak oleh kekuasaan, tren, dan dana.Â