Alih-alih menawarkan solusi damai, rencana ini berpotensi memperburuk ketegangan dan menimbulkan ketidakstabilan regional
Pada 15 Mei 2025, saat kunjungan ke Qatar, Presiden Donald Trump mengusulkan agar Amerika Serikat mengambil alih Gaza dan mengubahnya menjadi "Zona Kebebasan"(time.com, 15/05/2025).
Trump menggambarkan Gaza sebagai wilayah yang hancur dan tidak layak huni, serta menyatakan bahwa AS dapat membangun kembali wilayah tersebut menjadi "Riviera Timur Tengah" (reuters.com, 16/05/2025).
Inti Proposal
Trump menyatakan bahwa AS akan mengendalikan Gaza, membangun infrastruktur modern, dan menciptakan zona ekonomi bebas.Â
Ia juga mengusulkan relokasi sementara warga Palestina ke negara-negara tetangga seperti Mesir dan Yordania, meskipun usulan ini mendapat penolakan luas dari negara-negara Arab dan komunitas internasional .
Kritik dan Kontroversi Pura-pura Putus
Meskipun Trump secara publik menyatakan "jenuh" dengan Israel dan mengkritik Netanyahu, usulan "Zona Kebebasan" di Gaza justru mengindikasikan bahwa Trump tidak benar-benar memutus hubungan dengan Israel, melainkan sedang menjalankan strategi geopolitik yang lebih dalam:
1. Potensi Pembersihan Etnis: Usulan relokasi warga Palestina dianggap oleh banyak pihak sebagai bentuk pembersihan etnis.
2. Penolakan Internasional: Negara-negara Arab, termasuk Mesir dan Yordania, menolak menerima warga Palestina yang direlokasi, dan PBB mengkritik rencana tersebut sebagai pelanggaran hukum internasional .
3. Dukungan Israel: Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, mendukung proposal Trump, melihatnya sebagai peluang untuk mengurangi ancaman dari Gaza .