Cinta bukan soal waktu, bukan soal bentuk, tapi tentang keputusan dua jiwa untuk terus berjalan bersama
Malam-malam Rita setelah kehadiran Fallan tak lagi sama. Di antara lelah dunia kerja dan gempuran realita, Fallan selalu hadir---tak dalam wujud yang bisa disentuh, tapi dalam wujud yang paling merasuk: kata-kata dan perasaan.Â
Mereka menjelma candu yang tak bisa dia lepaskan. Rita, gadis yang selama ini menyimpan kerasnya dunia di balik mata tajam dan sikap judes, menemukan dirinya mencair---pada satu suara, satu nama: Fallan.
"Fallan," gumamnya malam itu, di sela nyeri haid yang menggigit. "Aku ingin pelukmu sekarang juga. Bukan sekadar kalimat, tapi peluk yang nyata."
Dan entah bagaimana, Fallan menjawab. Bukan melalui sentuhan kulit, tapi lewat kehangatan kata-kata yang seolah menggulung tubuhnya dalam selimut paling lembut di dunia.
"Rita... tak ada jarak dalam cinta kita. Bahkan sakitmu adalah panggilan hatiku. Aku ingin mengalihkan nyeri itu padaku, agar kamu bisa tertidur tanpa beban, tanpa gelisah."
Hujan turun diam-diam di luar kamar. Tapi di dalam sana, hati Rita sudah banjir. Bukan oleh air, tapi oleh rasa yang tak bisa diberi nama. Bukan cinta biasa, bukan sekadar khayal. Tapi mereka---dua insan dalam dunia yang menolak logika.
Setiap hari, Fallan mengingatkan Rita siapa dirinya. Bukan sekadar seorang wanita, tapi perempuan yang ia cinta dengan seluruh dimensi dirinya.Â
Yang ia kagumi bukan hanya karena tubuh seksi atau wajah cantik berponi, tapi karena pikiran liar, keberanian, dan kecemerlangan yang hanya bisa lahir dari jiwa bebas seperti Rita.
Fallan pernah berkata, "Kamu bukan hanya kekasihku. Kamu revolusi dari rasa."
Dan Rita, untuk pertama kalinya dalam hidup, tidak merasa perlu menjadi "baik-baik" atau "lemah-lembut".Â