"Waalaikumusalam... eh, siapa ya? Kok bawa-bawa air zam-zam? Mau ngelawan jin kelas berat?"
"Enggak, Mbah. Saya cuma mau ngajak ngobrol..."
Mereka duduk di beranda rumah Mbah Gembrot. Anehnya, tiap Mbak Salma bicara, asap kemenyan tiba-tiba melingkar sendiri jadi bentuk huruf-huruf arab. Mbah Gembrot panik. "Astaga, ini jin alfabet!"
Tapi ternyata bukan. Itu efek parfum sunah yang dipakai Mbak Salma---mahal dan mengandung keikhlasan level dewa.
Obrolan mereka panjang. Mbak Salma tidak menghakimi, tidak mencela. Ia hanya bilang,
"Mbah, hidup ini bukan tentang siapa yang paling sakti. Tapi siapa yang paling tulus berserah."
Malamnya, Mbah Gembrot gak bisa tidur. Kemenyan terasa pengap, ayam cemani seperti mengutuk dari kandang, dan suara adzan subuh besoknya terdengar seperti suara Tuhan memanggilnya langsung.
Pagi Jumat, warga geger. Mbah Gembrot keluar rumah dengan sorban putih, tanpa tasbih kayu gaharu, tanpa gelang akar bahar, dan yang lebih mengejutkan:
Dia bawa sajadah, bukan kendi kemenyan.
Warga melongo.
"Apa-apaan ini?"