Mohon tunggu...
Nurul Falah Atif
Nurul Falah Atif Mohon Tunggu... Editor - Editor buku

Nurul Falah adalah seorang pria, editor, dan tinggal di Bandung.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Roti Sar'i: Gerakan Politik Elit Muhammadiyah

14 Desember 2016   10:34 Diperbarui: 22 Desember 2016   09:28 1779
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pada Aksi Damai 212 baru lalu, Hajriyanto tampak diwawancara oleh Aiman Wicaksono dari KompasTV. Dikatakannya, ia bangga dengan aksi damai 212, ia bahkan disertai tim medis dilengkapi dengan banyak ambulan milik RS Muhammadiyah beserta ibu-ibu Aisyiahnya sebagai organisasi sayap Muhammadiyah, Kokam, IMM, dan Pemuda Muhammadiyah. Sebelum aksi demo 212 berlangsung, di kantor PP Muhammadiyah ia ikut menerima kunjungan rombongan Ketua Dewan Pembina GNPF MUI, Habib Rizieq. Di sana terlihat pula Munarman, orang yang menyiram sosiolog Thamrin Amal Tamagola dengan air dalam gelas pada sebuah dialog di sebuah stasiun TV.

Belakangan Hajriyanto dikabarkan bersama Yayasan Peduli Pesantren  bentukan Hary Tanoesoedibjo dari Partai Perindo—di mana ia duduk sebagai anggota dewan Pembina yang diketua oleh Said Agil Siradj—akan mengadakan demo tandingan melawan aksi 212, dengan menghadirkan 60.000 orang dari berbagai pesantren di Jatim. Bagaimana ini? Ia seperti sedang bermain di dua kaki. Apakah ia sedang mencoba mencari opportunity lain di luar partai Golkar dengan memanfaatkan kesempatan aksi-aksi yang ada? Wallahu’alam. Saya tidak tahu, jika demo YPP itu berhasil terwujud dan terjadi kericuhan seperti demo 411, apakah ia kemudian membantah bahwa namanya dicatut sebagai pengurus YPP, di mana Mahfud MD juga duduk sebagai anggota Dewan Pembina, dan KH Salahudin Wahid duduk sebagai Ketua Dewan Pengawas?

Meskipun demikian, saya mencoba untuk memahami langkah-langkah yang sedang ditempuh Hajriyanto. Sebab seorang politisi yang tidak bisa kembali lagi ke Senayan, pada hakikatnya adalah politisi yang telah kehilangan kepercayaan dari rakyat (konstituennya). Sehingga politisi yang mengalami nasib seperti itu, kiranya cukup layak jika disebut sebagai politisi "penggembira" saja. Ibarat sebuah muktamar, ia hanya berfungsi untuk meramaikan suasana saja. Maka keberadaannya di tengah aksi-aksi yang belakangan ini marak, bisa dimaknai sebagai "ia sedang mencoba mencari panggung", kalau bisa dengan menjadi Sri Panggung-nya sekaligus.  

Selain dua orang di atas, saya mencoba mencermati langkah tokoh-tokoh Muhammadiyah yang aktif atau pernah aktif sebagai praktisi politik. Pertama Amien Rais, mantan Ketum PP Muhammadiyah (1995-1998). Ia yang merasa gerah sejak hijrahnya Jokowi dari Solo—tempat kelahiran Amien Rais—ke Jakarta, sepertinya sedang mencoba bernostalgia dengan Poros Tengahnya. Sebuah majalah pernah menjulukinya sebagai King Maker. Julukan itu merujuk pada besarnya peran Amien Rais dalam menentukan jabatan presiden pada Sidang Umum MPR tahun 1999 dan Sidang Istimewa tahun 2001. Padahal, perolehan suara partainya, PAN, tak sampai 10% dalam pemilu 1999. Ia pun dijuluki lokomotif reformasi, dan berhasil melengserkan Presiden Soeharto. Pada Sidang Umum tersebut, Amin Rais menyediakan “dengkulnya” untuk dijadikan bancikan (tumpuan) Gus Dur dalam menaiki kursi Presiden. Namun, karena Gusdur dinilai melanggar kesepakatan dan susah diatur, maka Gusdur pun dilengserkan. Setelah itu, sebagai Wapres, naiklah Megawati menjadi Presiden.

Lucunya, sebelum menaikkan Gusdur, Megawati yang diusung PDIP sebagai partai pemenang Pemilu, sempat menjadi korban primordialisme Amien Rais. Ketika itu, ia dan elit Poros Tengah melemparkan isu yang menyudutkan Megawati. Di antaranya membangun wacana "fatwa haram" seorang wanita sebagai Presiden. Kini PAN bersama PKB dan PPP mencoba membangkitkan kembali Poros Tengah untuk mendukung “Kuda Cikeas” dengan mendompleng isu penistaan agama. Amien Rais sendiri sempat mengancam, jika PAN mendukung Ahok, Zulkifli Hasan sebagai Ketum PAN akan dilengserkan. Pada Demo 411 lalu Amien ikut turun bersama beberapa politisi seperti Fahri Hamzah dan Fadli Zon. Pada Aksi Damai 212, mereka semua pada “tiarap”. 

Tokoh yang kedua adalah Din Syamsudin, Ketum PP Muhammadiyah 2005-2010, dilanjutkan 2010-2015. Dia pernah aktif di Partai Golkar, duduk dalam Litbang Parta Golkar. Prestasi yang pernah dicapainya adalah sebagai Dirjen Pembinaan dan Penempatan Tenaga Kerja (Binapenta) Depnakertrans—kini Kemenakertrans. Karier politiknya tidak sampai mengantarkannya menjadi menteri. Pernyataan kerasnya sebagai Ketua Dewan Pertimbangan MUI, bahwa “Tuduhan Makar Berlebihan”, mengisyaratkan ia telah berpolitik. Pernyataannya tersebut saya nilai terdorong oleh naluri libido politiknya yang profan, ketimbang naluri religiositasnya yang sakral.


Makar adalah wilayah politik, bukan agama. Dukungannya kepada Fatwa MUI, tentang penistaan agama, saya nilai absurd. Kali ini ia sepertinya sedang berseberangan dengan dua koleganya di UIN Syarif Hidayatullah; Komaruddin Hidayat dan Azyumardy Azra. Padahal pemikiran mereka selama ini dikenal memiliki prototype yang sama. Tapi kali ini terjadi anomali atas pernyataannya. Saya tidak habis mengerti, padahal kepada Muhammadiyah, Kabinet Jokowi dinilai lebih akomodatif dibanding Kabinet ketika SBY berkuasa. Bukankah “kapling” Kemendikbud sudah diberikan? Atau ingin kapling Kemenag? Ataukah ia ingin ikutan menunggang “Kuda Cike”? Ini menjadi sebuah teka-teki.

Terakhir, pesan dari tulisan ini, ingatlah bahwa ayat-ayat Al-Qu’ran sering kali ditarik-tarik dalam Pemilu dan Pilkada. Muhammadiyah melalui segelintir elit dan ortom-ortomnya sudah secara eksplisit, bukan lagi implisit, telah membawa organisasi ke arah politik dengan bungkus agama. Tentu ada harga mahal yang harus dibayar nantinya.

Secara khusus, terjadinya perpecahan di kalangan warga Muhammadiyah itu sendiri, dan secara umum, Muhammadiyah bisa bergesekan dengan organisasi saudaranya, Nahdlatul Ulama, yang secara resmi dan tegas tidak mendukung aksi-aksi, baik aksi 411 maupun 212. Sudah lupakah warga Muhammadiyah pada peristiwa Amien Rais “dihalalkan” darahnya? Atau memang Muhammadiyah secara organisasi sedang mengkritisi pemerintahan Jokowi, dalam hal ini melalui rencana gugatannya pada kebijakan UU Tax Amnesty ke Mahkamah Konstitusi? Atau memang karena sejak awal Muhammadiyah tidak mendukung pemerintahan Jokowi? Maka berhati-hatilah, keutuhan bangsa menjadi taruhannya.

Bandung, 14 Desember 2016

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun