Finlandia: Setiap sekolah memiliki kualitas yang setara, sehingga tidak terjadi persaingan yang sengit untuk memasuki sekolah yang diinginkan.
Indonesia: Kesenjangan infrastruktur antara sekolah-sekolah di kota besar (seperti Jakarta atau Surabaya) dan sekolah-sekolah di daerah terpencil, terluar, serta tertinggal (3T) sangatlah besar. Banyak sekolah mengalami kekurangan ruang kelas, perpustakaan, laboratorium, serta akses internet. Sistem pendidikan Finlandia yang bergantung pada eksplorasi mandiri, proyek kolaboratif, dan akses ke sumber belajar digital akan sangat sulit untuk diterapkan di sekolah-sekolah yang tidak memiliki pasokan listrik yang stabil.
4. Perbedaan dalam Budaya dan Pola Pikir Masyarakat
Pendidikan tidak dapat dipisahkan dari budaya yang ada dalam masyarakat. Finlandia memiliki budaya yang sangat menghargai kemandirian, integritas, dan kesetaraan.
Finlandia: Para orang tua tidak terlalu bersikeras untuk membandingkan anak mereka dengan anak-anak lain. Tekanan untuk peringkat tidak signifikan. Dikarenakan para orang tua dan masyarakat memiliki pola pikir yang menanamkan bahwa setiap anak mempunyai kompetensi dan bakatnya masing masing, hanya tergantung bagaimana anak tersebut mengembangkan potensinya lewat pendidikan yang ada disekolah. Subject base learning adalah penerapan dimana setiap penilaian pada setiap peserta didik itu berbeda beda yang menekankan bagaimana cara dia menghadapi subjek subjek tertentu sesuai dengan kemampuan diri sendiri. Proses ini tidak menimbulkan adanya budaya "gengsi" yang sering terjadi di Indonesia, Dikarenakan para pendidik dan orang tua dapat memahami potensi apa yang dipunyai oleh peserta didik dan sampai mana kemampuan tersebut dapat berkembang.
Indonesia: Budaya "gengsi" dan persaingan telah menjadi bagian yang tak terpisahkan. Orang tua sering merasa berbangga ketika anak mereka diterima di sekolah yang diinginkan, meraih peringkat teratas, atau mengikuti berbagai les. Pandangan terhadap konsep Finlandia yang tanpa pekerjaan rumah dan tanpa peringkat akan dianggap oleh banyak orang tua di Indonesia sebagai tanda "kurangnya disiplin" dan "ketidakseriusan dalam belajar. " Perubahan dalam sistem yang tidak disertai dengan perubahan cara pandang masyarakat hanya akan menghasilkan penolakan dan rasa khawatir.
5. Birokrasi dan Sentralisasi yang Ketat
Walaupun Indonesia telah menerapkan otonomi daerah, dalam banyak aspek, kebijakan pendidikan yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat masih sangat berpengaruh dan sering mengalami perubahan yang cepat setiap kali terjadi pergantian pemerintahan.
Finlandia: Kebijakan pendidikan yang konsisten dalam jangka panjang dan pengalokasian otonomi yang luas kepada sekolah dan pengajar merupakan faktor kunci. Mereka memfokuskan pendidikannya serta memprioritaskan program kerja tanpa dipersulit dengan campur tangan dari birokrasi dan menjadikannya sebagai patokan yang dapat dipegang hingga generasi masa depan yang akan datang
 Indonesia: Kurikulum nasional (seperti Kurikulum Merdeka yang terinspirasi sebagian dari Finlandia) sering melewati proses birokrasi yang panjang. Pelaksanaannya dapat bervariasi secara signifikan antara satu wilayah dan wilayah lainnya, dan sering kali dilengkapi dengan sasaran-sasaran administratif yang memberatkan para guru. Esensi dari "kebebasan belajar" dapat lenyap akibat proses birokrasi yang kompleks.
Kesimpulan: Bukan untuk Dicontoh, Melainkan untuk Memberi Inspirasi
Kegagalan yang mungkin terjadi dalam penerapan sistem kurikulum Finlandia di Indonesia mengajarkan kita satu pelajaran yang penting: tidak ada sistem pendidikan yang bersifat universal. Apa yang berhasil di suatu negara tidak selalu dapat diterapkan di negara lain karena adanya konteks sejarah, budaya, ekonomi, dan politik yang khas.