Mohon tunggu...
Muhammad Fakhriansyah
Muhammad Fakhriansyah Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa Program Studi Pendidikan Sejarah Universitas Negeri Jakarta

Muhammad Fakhriansyah adalah mahasiswa semester akhir di program studi Pendidikan Sejarah, Universitas Negeri Jakarta. Sejak Februari 2021 menjadi kontributor tetap Tirto.ID. Tulisannya berfokus pada sejarah kesehatan Indonesia dan sejarah politik internasional. Penulis dapat dihubungi melalui: fakhriansyahmuhammad27@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Ketika Makanan Menjadi Identitas "Si Kaya dan Si Miskin" pada Abad Pertengahan di Eropa

31 Maret 2020   17:43 Diperbarui: 16 Maret 2022   23:20 853
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
source: kumparan.com, gambaran dominasi gereja pada abad pertengahan.

Eropa, sebuah wilayah yang penuh dengan pesona alam, budaya serta arsitekturnya menjadi daya tarik tersendiri untuk dikunjungi. Mengunjunginya, ibarat datang ke negeri dongeng, sangatlah berkesan. 

Di samping pemandangan asrinya, salah satu alasan kita berkunjung ke benua biru tersebut ialah daya tarik makanan khasnya, seperti pizza crepes, gelato, ratatouille, dan lainnya. 

Menikmati makanan tersebut di daerah asalnya memanglah memiliki sensasi yang berbeda. Tidak heran banyak orang terbang ke Eropa untuk merasakan sensasi itu.

Makanan Eropa yang lezat dan nikmat itu ternyata mempunyai kisah yang menarik untuk disimak. Siapa yang menyangka bahwa makanan-makanan Eropa yang dapat kita nikmati saat ini menjadi menjadi saksi bisu atas kehidupan sosial masyarakat Eropa pada abad pertengahan ?. Memangnya apa yang terjadi pada abad pertengahan sehingga makanan menjadi penanda pada masyarakat ?. 

Membayangkan Abad Pertengahan.

Membaca namanya, khususnya kata 'pertengahan', membuat kita langsung terpikir bahwa abad tersebut berada di antara dua masa. Hal ini adalah benar, menurut Fremantle, dalam Abad Iman (1984), abad pertengahan merupakan pemberian nama pada zaman yang dinilai menjadi transisi dari zaman klasik ke zaman kebangkitan yang dimulai dari abad ke-5 sampai abad ke-15. 

Sebagian ilmuwan menyebut masa itu dengan zaman kegelapan. Hal ini karena banyaknya sisi negatif di berbagai bidang pada zaman ini. Pada abad ini agama berkembang dan mendominasi hampir seluruh aspek kehidupan masyarakat.

 Zaman ini ditandai dengan berhentinya perkembangan ilmu pengetahuan yang sudah ada sejak zaman Yunani-Romawi. Kekuasaan gereja begitu dominan dan sangat menentukan kehidupan di Eropa. 

Semua kehidupan harus diatur dengan doktrin gereja atau hukum dan ketentuan Tuhan. Gereja tidak memberikan kebebasan berpikir. Hal inilah yang menyebabkan ilmu pengetahuan berada di titik terendah pada masa itu. 

 Akan tetapi, tidak selamanya zaman ini diberi pandangan yang negatif. Agama Kristen turut pula membentuk peradaban Eropa saat itu, dimana dalam kondisi kehancuran kekaisaran dan terpecah-pecahnya penduduk, Agama Kristen dapat mempersatukan seluruh Eropa tidak hanya kawasan selatan namun juga utara bahkan Inggris, Spanyol, dan Eropa Timur yang kita kenal.

Oleh karena itu, terdapat pula momen-momen dimana memang aktivitas Intelektual dan pertemuan antar kebudayaan itu terbentuk. Misalkan saja peninggalan abad pertengahan yang hingga saat ini masih dapat dirasakan, seperti universitas serta karya-karya seninya baik dalam bentuk lukisan, arsitektur bangunan, musik, dan patung- patung yang turut memeriahkan Eropa dalam suasana kesenian yang hebat, termasuk juga dalam ranah makanan.

Perbedaan yang Memisahkan.

Dominasi gereja yang besar tentu saja berdampak kepada aspek sosial masyarakat. Menurut Djaja dalam Sejarah Eropa (2012), pada abad pertengahan rakyat terbagi menjadi beberapa golongan, yaitu golongan penguasa, golongan menengah, dan golongan kelas buruh dan petani. 

Antar ketiga golongan tersebut memiliki perbedaan yang kontras. Mereka terus 'bertarung' untuk menikmati hidupnya yang layak, khususnya dikalangan golongan buruh dan petani yang mendapat nasib buruk dari golongan penguasa. Mereka hidup dalam penderitaan, mereka bekerja keras tanpa menikmati hasil jerih payahnya dengan memadai.

Tentu saja, pelapisan sosial pada masa itu tidak hanya menentukan kekuatan politik, tetapi menentukan pula kekayaan. Sudah barang tentu, kehidupan seperti itu berdampak kepada gaya hidup masing-masing golongan. Salah satu gaya hidup yang menjadi perhatian adalah budaya makan. 

Budaya makan dapat menjadi penanda atas kenyataan yang terjadi pada abad pertengahan. Kaum bangsawan yang mempunyai harta yang lebih maka akan sangat mudah untuk memperoleh yang dia inginkan, misalkan dalam ranah makanan mampu menikmati makanan yang mereka inginkan.

Lain halnya dengan kaum kelas bawah karena mereka tidak memiliki kemudahan untuk mengakses atau membeli makanan yang mereka inginkan, maka mereka makan makanan yang tersedia di sekitar mereka. 

Rupanya, hal ini sejalan dengan pandangan Wilson dalam Food, Drink, and Identity in Europe (2006) yang berpendapat bahwa makanan telah lama dikaitkan dengan identitas sosial. Dalam konteks abad pertengahan, maka tentu saja makanan dapat menjadi tanda kehidupan sosial masyarakat.

"Aku ada karena aku makan...."

Makanan adalah hal mendasar yang harus dicukupi setiap manusia di seluruh dunia setiap harinya. Tanpa tidak makan, mungkin manusia akan mati kelaparan. Kebutuhan manusia untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya tersebut tercermin pada masyarakat Eropa abad pertengahan.

Dilansir dari website mediaevaltime, masyarakat miskin abad pertengahan pada umumnya memakan kubis, kacang panjang, telur, sereal, dan roti gandum. 

Kadang-kadang mereka juga menyantap keju, daging asap dan aneka jenis unggas. Hal ini tentu tidak dirasakan oleh mereka yang mempunyai uang lebih. 

Semakin kaya, maka semakin baik mereka makan. Orang kaya lebih banyak memakan daging yang ditaburi rempah-rempah dan diselimuti oleh roti putih dan saus di atasnya.

Bagi masyarakat miskin menurut Eskelner dalam Abad Pertengahan, mereka berupaya mengolah makanan dari apa yang ada di sekitar mereka. Jika tinggal di dekat sungai, maka makananya adalah ikan. 

Jika terdapat sarang lebah dan tanaman-tanaman maka dibuatlah madu, kacang-kacangan darinya. Hal itu terjadi karena mereka tidak mampu untuk membeli makanan yang lebih baik dari biasanya. Lainhalnya dengan kaum bangsawan yang umum mengomsumsi daging dengan rempah-rempah dan wine.

Dalam pengolahan makanan oleh masyarakat saat itu, dikenal juga teknik pengawetan makanan. Masyarakat saat itu mengawetkan makanan dengan cara pengeringan, pengasinan, dan pengasaman kepada daging yang mereka hendak makan agar makanan itu tahan lama dan bisa dinikmati disaat musim dingin. 

Makanan yang dikomsumsi kaum bangsawan lebih cenderung terpengaruh bangsa asing hal ini karena mereka memiliki cukup uang untuk mengimpor kebutuhan makannya. Misalkan saja dengan memanfaatkan rempah-rempah yang diimpor dari negeri luar.

Terdapat satu fakta unik yang dikemukakan oleh Eskelner bahwa pola makan golongan pekerja sudah diatur oleh norma sosial yang ditentukan gereja pada waktu itu. Dalam pandangan gereja, pekerja perlu makanan yang sehat dan lebih murah agar bisa produktif dalam bekerja.

Pada akhir abad pertengahan pola makan masyarakat berubah, khusunya pada golongan bangsawan seiring dengan mudahnya masyarakat memperoleh rempah-rempah. Bumbu-bumbu penyedap tersebut memberikan rasa yang khas dan aromatik terhadap cita rasa makanannya.

Misalkan saja pemakaian verjuice, anggur, dan vinegar yang dikombinasikan dengan jahe untuk menambah kehangatan. Meluasnya penggunaan gula atau madu juga memberikan cita rasa yang berbeda pada masakan. Tetapi sayang, perubahan pola masyarakat hanya dirasakan oleh golongan atas tidak dengan golongan bawah.

Makanan yang Memisahkan Mereka. 

Terjadinya abad pertengahan memberikan dampak terhadap kehidupan sosial-masyarakat saat itu termasuk dalam ranah makanan. Makanan dapat memberikan sebuah penanda atas kehidupan sosial yang ada. Dari apa yang mereka makan saja, sekiranya sudah dapat mengetahui mereka dari golongan mana saja.

Hal ini sejalan dengan pemikiran gastronom ternama asal Perancis, Brillat-Savarint, bahwa "tell me what you eat, and I will tell you who you are". Perkataan Savarint itu benar, bahwa makanan dapat menjadi penanda darimana kita berasal. 

Dalam konteks abad pertengahan, darimana golongan mana mereka berasal. Abad pertengahan memberitahukan kepada kita bahwa makanan pun dapat menjadi pemisah diantara mereka.

Tetapi, Eskelner pun tidak mencap bahwa hal itu negatif. Menurutnya, budaya makan pada masa itu memiliki pengaruh sebagai fondasi masakan eropa modern. Misalkan saja pada pemanfaatan rempah-rempah di olahan makanan, teknik masak seperti pengawetan dan deepfry. 

Sejatinya, dari dahulu hingga sekarang, makanan pun kerap menjadi identitas sosial masyarakat. Hal terpenting ialah keharusan kita menjaga makanan tersebut dengan menghiraukan stasus sosial yang ada.

Daftar Pustaka

1. Djaja, wahjudi. 2018. Sejarah Eropa: Dari Eropa Kuno Hingga Eropa Modern. Yogyakarta: Penerbit Ombak.

2. Estenel, Mikael. 2009. Abad Pertengahan. Cambridge: Cambridge Stanford Books.

3. Fremantle, Anne. 1986. Abad Iman. Jakarta: Tirta Pustaka.

4. Medieval times. Diakses pada 29 Maret 2020 pukul 17.15.

5. Wilson, M Thomas. 2006. "Food, Drink, and Identity in Europe: Consumption and the Construction of local, National, and Cosmpolitan Culture". European Studies, 22, 11-29.  

Penulis merupakan Muhammad Fakhriansyah. Mahasiswa Program Studi Pendidikan Sejarah Universitas Negeri Jakarta. Tulisannya berfokus pada kajian sejarah sosial-budaya di Indonesia, sejarah Pendidikan di Indonesia, dan sejarah kesehatan di Indonesia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun