Jati, lelaki berumur 50 tahun berjalan gontai, wajah muram kusam dan baju koyak. Langkah kaki diseret paksa memakai sandal jepit lusuh.
Hidup sendiri tiada yang mau peduli dan berbagi. Istri dan dua anak Jati telah tiada ketika kebakaran hebat menghanguskan rumah. Jati selamat karena sedang berada di luar kota.
Duka itu meremukkan hati dan memukul mental Jati. Kekayaan yang berlimpah tak mampu menyembuhkan luka kehilangan orang-orang yang dicintai.
Lambat-laun Jati kehilangan gairah hidup, tidak peduli lagi dengan perusahaan pabrik kayu jati dan meubel jati lalu jatuh bangkrut. Gelar sebagai orang terkaya di Dusun Jati tidak lagi disematkan kepada Jati.
Jati hidup terlunta-lunta, berpindah-pindah dari satu pondok kayu ke pondok kayu yang berada di dalam hutan jati.Â
Nasi sisa buangan dari penebang kayu jati dimakan Jati untuk mengisi perut. Jati menyebut pondok kayu itu dengan pondok derita. Â Â Â
Untuk makan nasi, lauk-pauk yang enak dan bergizi, Jati keluar dari pondok derita dan mengetuk pintu dari rumah ke rumah dengan memelas iba. Berharap ada satu atau dua pintu rumah terbuka dan orang bersedekah nasi.
Namun, tak ada satu jua pintu dibuka oleh orang-orang kaya berumah megah, berpekarangan luas dan pintu dari kayu jati bercat emas.
Tiga hari sudah Jati mengetuk pintu orang-orang kaya itu. Dua kaki Jati gemetar menahan letih dan perut perih karena belum diisi nasi.
Harap tinggal harapan untuk Jati sebab orang-orang kaya berumah megah, berpekarangan luas dan berpintu jati bercat emas tak mau bersedekah nasi.
Jati beristirahat di bawah sebatang pohon jati yang berdaun rimbun. Lelah, lapar dan dahaga mendera sejadi-jadinya.