Saya semakin sering membaca tulisan beliau karena memberikan pencerahan tentang bagaimana berbahasa yang benar menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia. Bahkan Khrisna fokus dan konsisten ke artikel bahasa yang ada di Kompasiana.com. Tak banyak penulis yang memilih jalan tersebut.
Jalan bahasa yang dipilih dan dilalui Khrisna Pabichara dengan pendekatan sastra -- novel-- ini penuh lika liku karena tak mudah di tengah bangsa yang literasi belum kelar tapi sudah langsung melompat ke era digital.
Perjalanan bahasa Khrisna Pabichara jika mengacu pada Saji Pembuka dari Bambang Trim dalam buku ini dimulai ketika ia dengan berjaket jin belel dan menyandang ransel, menemui Bambang Trim di kantor MQS di dalam kawasan Pesantren Daarut Tauhid. Khrisna jauh-jauh datang dari Makassar sekadar untuk berunjuk karya dan berunjuk gigih.
Kegigihan berkarya Khrisna Pabichara kala itu menghasilkan buku bertajuk 12 Rahasia Pembelajar Cemerlang terbit perdana di MQS.
Berkah Buku Kita, Kata, dan Cinta
Ini buku pertama Daeng Khrisna Pabichara yang khusus mengulik pernak-pernik bahasa Indonesia melalui novel.
Bagi saya kehadiran buku "Kita, Kata, dan Cinta" merupakan berkah. Mengapa?
Pertama. Saya pernah membeli buku tentang Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) Bahasa Indonesia dan berusaha mengerti tapi belum juga mengerti. Entah karena saya sendiri yang bebal atau karena apa. Tak tahulah.
Novel ini membuat saya buai terlena dan menikmati setiap halaman. Tertawa dan 'menelanjangi' kesalahan-kesalahan berbahasa Indonesia saya.
Khrisna Pabichara bak dokter bahasa yang mendiagnosa kekeliruan berbahasa Indonesia kemudian membabarnya untuk dibenarkan satu-persatu dengan bahasa dan contoh yang mudah dimengerti. Melalui dialog dua insan mahasiswa sedang di mabuk cinta yang bernama Sabda dan Kana.
Kedua. Dialog menjadi kekuatan novel ini yang disusupi dengan belajar Bahasa Indonesia. Bahkan Seno Gumira Ajidarma pada " Saji Penutup" menuliskan "Kita, Kata, dan Cinta ini dapat berlaku sebagai buku pelajaran Bahasa Indonesia yang mengembangkan kalimat demi kalimat sampai menjadi sebuah novel, dengan Bahasa Indonesia yang tidak sekadar diterapkan sebetulnya mungkin, tetapi juga menjadi subjek maupun objek novel ini sendiri."