Mohon tunggu...
Jamalludin Rahmat
Jamalludin Rahmat Mohon Tunggu... Penjahit - HA HU HUM

JuNu_Just Nulis_

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Wajah Cita-Cita, Idealis atau Realis

18 April 2019   00:19 Diperbarui: 18 April 2019   01:51 221
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Illustrated by pixabay.com)

Secara garis besar ada dua aliran besar dalam filsafat yaitu; idealisme dengan tokohnya Plato dan realisme dengan tokohnya Aristoteles. Teori idealisme. Teori ini dibangun atas landasan ontologis (kajian tentang hakikat) yang mengatakan bahwa hakikat segala sesuatu terletak pada ide atau gagasan, sehingga ide dianggap memiliki kedudukan yang utama dalam alam semesta (Louis O. Kattsof: 1989, 111). Oleh karena itu, akal manusia dalam aliran idealisme memperoleh posisi yang utama.

Landasan ontologis ini kemudian melahirkan "subyektivisme" yang berpendirian bahwa pengetahuan merupakan proses mental atau psikologis yang bersifat subjektif dan karenanya pengetahuan merupakan gambaran subjektif tentang realitas (Amsal Bachtiar: 2007, 39).

Artinya, pembentuk cita-cita adalah apa yang ada di dalam ide atau jiwa seseorang. Kenyataan yang ada dan terjadi (realitas) tak memberikan pengaruh terhadap ide yang telah ada di dalam jiwa seseorang. Oleh karenanya seperti apa pun realitas yang terjadi maka tak akan berimbas kepada seseorang itu.

Kebertahanan ide lah yang menyebabkan ia akan menantang dan berjuang dengan segenap jiwa raga. Inilah yang sering dikatakan dengan sang idealis. Ujungnya adalah "subyektivisme" atau "ke-aku-an" dan waktu sejarah yang jadi penguji apakah ia tetap bertahan dengan idenya atau tunduk takluk di kaki realitas.

Teori realisme. Teori ini dibangun atas landasan ontologis bahwa suatu benda terletak dalam halnya sendiri (being is being). Landasan ontologis ini kemudian melahirkan konsep epistemologi (cara mendapatkan pengetahuan yang benar) dengan memandang hakikat pengetahuan sebagai gambaran atau copy dari apa yang ada dalam alam nyata.

Oleh karena itu, sahnya suatu kebenaran ide atau gagasan mengenai kenyataan yang ada dan terjadi terletak pada, apakah ide atau gagasan tersebut benar-benar memberi pengetahuan mengenai sesuatu yang benar terjadi (fakta) atau tidak.

Realisme selanjutnya melahirkan "objektivisme" yang percaya bahwa ada hal-hal yang hanya terdapat di dalam dan tentang di dirinya sendiri serta yang hakikatnya tidak terpengaruh orang lain (Harold H. Titus, et.al: 1984, 214).

Artinya, cita-cita seseorang dibentuk oleh apa yang terjadi di sekitarnya. Ketika seseorang bercita-cita menjadi dokter karena ia melihat, mendengar dan merasa bagaimana enaknya menjadi seorang dokter. Maka dirinya yang bercita-cita menjadi dokter dibentuk oleh apa yang ada di luar dirinya.

Tidak ada yang berhak melarang seseorang untuk bercita-cita selama itu baik. Juga, cita-cita yang kita buat kadangkala tak selalu seiring sejalan dengan idealitas dan realitas.

Perubahan akan senantiasa mengiringi. Ingin bertahan dengan idealisme silahkan pun ingin bertahta dengan realisme juga dipersilahkan namun yang perlu diperhatikan bahwa untuk tercapainya cita-cita tak perlu memberhalakan materi dan jabatan dengan cara menggadaikan prinsip dan mematikan hati nurani.  

JR
Curup
17.04.2019

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun