Beberapa waktu lalu, saya berdiskusi dengan seorang teman---sebut saja namanya Rahmat. Kami bercerita soal pernikahan sambil menggenggam rokok yang tak kunjung dinyalakan. Rahmat tersenyum kecut, lalu berkata, "Saya kira, selama ini jadi suami yang baik dan penuh tanggungjawab sudah cukup. Tapi ternyata, kalau kurang uang, ya ditinggal."
Rahmat bukan hanya kehilangan istri. Ia juga kehilangan rasa percaya diri sebagai laki-laki dan sebagai seorang ayah. Istrinya berselingkuh, lalu menikah. Rahmat bilang, bahkan suatu waktu ia pernah kepikiran untuk mengakhiri hidupnya dengan tali yang sudah disiapkan. Tapi, ketika membayangkan wajah kedua anaknya yang belum paham apa itu pernikahan dan perselingkuhan, ia kemudian membatalkan niatnya. Hidup Rahmat tetap berlanjut---meski sejak itu, senyumnya tak pernah penuh.
Jika suatu hari itu tibaÂ
Cerita Rahmat mengguncang banyak hal dalam diri saya. Saya jadi berpikir tentang mahar, cinta, dan nilai-nilai yang makin hari makin kalah oleh harga. Jika suatu hari saya menikah, lalu istri saya mengkhianati cinta setelah ijab kabul, mungkinkah mahar yang saya bawa hanya terasa seperti ongkos untuk kesenangan yang murahan? Padahal, saya berpikir bahwa pernikahan itu adalah ibadah menuju surga, seperti yang dikatakan oleh orang-orang pada umumnya.
Namun, dari kisah Rahmat ini saya melihat bahwa ternyata ada pernikahan yang tak lagi berdiri di atas cinta, melainkan di atas materi. Ukuran setia jadi setipis saldo ATM. Harapan berumah tangga yang damai tergantikan oleh ekspektasi rumah tangga yang glamor. Dan jika ekspektasi itu tak terpenuhi? Yang dicari bukan solusi, melainkan pengganti.
Saya tahu, tidak semua orang seperti itu. Tapi realitasnya terlalu sering memperlihatkan yang buruk. Bahkan artis yang kaya, terkenal, dan rupawan pun tak luput dari pengkhianatan. Lalu bagaimana dengan saya, yang biasa-biasa saja?
Segalanya butuh uang, tapi cinta tak bisa disubstitusi dengan angkaÂ
Kisah Zainudin dan Hayati dalam Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck seperti deja vu di zaman ini. Zainudin yang miskin ditolak keluarga Hayati, yang kemudian dinikahkan pada lelaki kaya dan terpandang. Padahal yang sungguh mencintai Hayati, hanya Zainudin. Cinta kalah oleh gengsi. Nilai kalah oleh harga. Dan akhir kisahnya, seperti yang kita tahu, tragis dan tak adil.
Teman saya, Rahmat, juga pernah mengutip kata-kata yang menyayat hati: "Saya kira saya pulang ke rumah. Ternyata saya hanya mampir di tempat yang menunggu saya cukup miskin untuk ditinggal." Betapa pilunya menjadi orang yang tulus, tapi tak cukup dianggap karena tak bisa mencukupi materi.
Tentu, pernikahan memang butuh uang. Tapi cinta tak bisa disubstitusi dengan harga. Ada peran hati yang tak tergantikan oleh saldo. Ada ketulusan yang tak tergantikan oleh transferan.