Mohon tunggu...
Fajar Setyawan
Fajar Setyawan Mohon Tunggu... -

Orang biasa yang lahir dan dibesarkan di desa kecil. Baru belajar menulis sederhana. Mudah-mudahan bermanfaat. Terima kasih untuk semua komentar, kritik, dan saran. Salam Persahabatan.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Pelukis Matahari 3 - Mengais Risqi di Sela-sela Putaran Roda Sepeda

25 Juni 2010   07:01 Diperbarui: 26 Juni 2015   15:17 199
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Dan Aku harus segera memutuskan langkahku karena waktu tidak akan berhenti barang sejenak, tak akan kembali walau hanya sesaat. Life must go on .......................... Aku terinspirasi sekali dengan kata-kata bijak ini: "Langkah panjangmu, bermil-mil jauhnya, menyinggahi beribu-ribu pulau dan melintasi berbagai belahan dunia, akan selalu diawali dengan langkah pertama, sehingga mulailah langkah pertamamu sekarang, jangan pernah menunda lagi. Sekarang atau tidak pernah sama sekali sebab roda waktu tidak akan pernah berhenti". Ya..., aku ingin memulai langkah pertamaku sekarang. Langkah kecil dan sederhana sesuai kemampuanku, tidak muluk-muluk, yang penting bisa aku realisasikan. Besuk pagi aku akan berjualan sayur keliling ke beberapa desa. Kupersiapkan sepeda pancal yang dulu biasa kubawa pergi ke sekolah. Aku pasang gerobak untuk tempat sayur di bagian belakang sepedaku. Lalu aku bicara pada bapak dan ibu minta ijin dan doa restu. Modal Rp. 100.000 kudapat dari ayahku. Semua berupa uang receh pecahan Rp. 500 dan Rp. 1.000 yang beliau kumpulkan entah sejak kapan. XXXXXXXXXXXXXXXXXXXXX Jam 1 dini hari aku berangkat mengayuh sepeda usangku. Warnanya kusam berkarat, bahkan aku kini sudah tidak bisa memastikan apa sebenarnya warna sepedaku. Di pagi buta itu, aku berangkat ke Pasar Beran Ngawi, pasar tradisional tempat kulakan berbagai sayur-mayur. Para pedagang dari berbagai penjuru desa dan kecamatan berkumpul disana untuk mendapat barang dagangan untuk mereka jajakan keliling ke berbagai tempat. Meski hanya merupakan pasar desa, tetapi Pasar Beran serasa jauh lebih hidup dibanding dengan Pasar Besar Kabupaten Ngawi. Pasar Beran kutempuh dengan perjalanan sekitar 45 menit sampai 1 jam. Di sepanjang jalan yang kulalui, ternyata telah banyak orang berlalu-lalang melakukan aktivitasnya masing-masing. Walaupun mungkin bagi sebagaian orang ini adalah saat-saat pulas tidur mendengkur di dalam kamar di atas kasur empuknya. Tetapi tidak demikian bagi sebagian yang lainnya, terutama yang menggantungkan jalan rizqinya sebagai pedagang pasar tradisional, juga sebagai sopir, kenek dan kondektur minibus. Minibus yang berjalan kebut-kebutan karena tuntutan setoran dari majikan menjadi pemandangan sehari-hari. Angka kecelakaan lalu lintas pun terbilang tinggi di Ngawi, seolah nyawa orang kecil tidak ada harganya lagi. Kadang terjadi kasus tabrak lari, mayat korban tergeletak berlumur darah di jalan tanpa ada yang bertanggung jawab. Kejadian tersebut biasanya baru diketahui masyarakat sekitar keesokan harinya. Ternyata hidup begitu keras, apalagi hidup di jalanan. Pelanggan minibus di dini hari buta biasanya adalah para pedagang dan buruh pabrik. Mereka biasa berdiri berjejalan di pinggir jalan, lalu berebutan mendapat tempat di minibus tuk sampai tujuan. Tempat duduk di minibus bukan hal penting bagi mereka, yang penting kaki masih mendapat tempat berpijak, meski harus berdiri berdesak-desakkan, berjejalan, bahkan sampai bergelantungan di pintu. Mereka tidak peduli semua itu karena mereka tidak ingin terlambat sampai ke tujuan. Bagi buruh pabrik yang mulai kerja jam 5 pagi hari, terlambat 10 menit saja bisa berarti PHK, berarti kehilangan pekerjaan, kehilangan kesempatan mendapatkan sesuap nasi untuknya dan keluarganya di rumah. Mulai jam setengah enam pagi pelanggan minibus mayoritas adalah pelajar. Sebenarnya telah banyak siswa SMA yang naik sepeda motor sendiri ke sekolah, bahkan menjadi penyumbang terbesar bagi ramai dan padatnya lalu lintas di jam berangkat dan pulang sekolah. Tetapi jumlah yang naik minibus pun masih banyak, berdesakan bergelantungan di pintu-pintu tanpa memperhitungkan bahaya yang mengancam nyawanya sewaktu-waktu. XXXXXXXXXXXXXXXXXXXXX Ini adalah sepertiga malam yang terakhir, saat dimana Tuhan mengutus para malaikatnya turun ke bumi, siapapun yang memohon, tiada lain kecuali Tuhan akan mengabulkannya. Perlahan aku mengayuh sepedaku. Jalan yang kulalui seolah menjadi sajadah panjangku. Sajadah tempat aku memanjatkan doa dan bermunajah kepada Tuhan. Di sepanjang jalan tak henti-hentinya aku panjatkan doa kecilku, mudahan-mudahan barang daganganku terjual habis dan Tuhan memberi kemurahan risqi kepadaku, tentu saja risqi yang barokah. Tiap-tiap putaran roda sepedaku seperti putaran butir tasbih, dimana tiap putaran itu, hatiku tak henti-hentinya mengagungkan nama Tuhanku, di hamparan masjid dunia yang maha luas. Bukankah tiap jengkal bumi adalah masjid??? Bukankah dimanapun kita berada, kita bisa berdzikir dan mengingat Tuhan sebab Tuhan memang berada di seluruh penjuru dunia, mengatur tiap jengkal, tiap titik, bahkan tiap bagian terkecil dari jagat raya ini tiada terkecuali? XXXXXXXXXXXXXXXXXXXXX Bersama putaran sepeda yang kukayuh, perlahan malam pun merayap pergi, pagi pun datang menyapa hari. Ada senyuman cerah mentari di ufuk timur seperti harapanku yang tak pudar dalam menggapai asa. Aku terus menjajakan sayurku keliling desa. Jalannya memang tidak semulus wajah para perawannya. Jalan panjang berkelak-kelok, naik turun, ada lubang di sana-sini. Kadang menyelinap tanda tanya kecil di hatiku kapan jalan desa ini bisa halus? Kapan jalan ini diaspal menggunakan aspal goreng yang digali dari tambang negeri kita sendiri? Bukankah seperti dijelaskan dalam pelajaran Geografi dulu, kita punya beraneka macam tambang? Ah, apa sih yang tidak dimiliki oleh negeri ini? Semua ada di sini, semua tumbuh disini. Tapi kenapa bisa seperti ini keadaannya? Ah........... pertanyaan, hanya sekedar pertanyaan, mana mungkin aku bisa menjawabnya. Lantas kepada siapa aku bertanya? Aku tidak tahu, aku cuma orang desa, orang kecil, rakyat biasa, cuma tamatan SMA, cuma penjual sayur keliling yang mencoba mencari riski melalui kerja kerasku ini. XXXXXXXXXXXXXXXXXXXXX "Sayur.......... sayur........... Sayur................" suaraku lantang mengundang siapa saja untuk membeli daganganku. Ada ibu-ibu muda, ada juga yang sudah tua, juga tidak ketinggalan bapak-bapak. Ternyata ada juga bapak rumah tangga di era emansipasi seperti sekarang ini. Memasak bukan lagi monopoli kaum hawa, ternyata kaum adam pun tak mau ketinggalan zaman. Ini emansipasi atau simbol betapa tidak karuannya tatanan di dunia ini. Ada perempuan beralih fungsi, menjadi tulang punggung keluarga, mereka bekerja apa saja seperti pria, bahkan menjadi penarik becak pun mereka lakukan. Sedangkan di sisi lain ada sebagian laki-laki yang hanya tinggal di rumah, melakukan berbagai pekerjaan perempuan. "Ini bu, uang kembaliannya", kataku sambil menyerahkan uang kembalian kepada seorang ibu tua. Usianya sudah seusia ibuku, sekitar 60 tahun, tapi masih terlihat sehat. "Terima kasih ya mas", wah ini terbalik harusnya aku yang mengucapkan terima kasih. "Kembali. Sering-sering saja ya....", jawabku sambil tersenyum. Jauh kulewati jalan hancur kas pedesaan menjajakan barang dagangan. Dari jalan ke jalan, dari desa ke desa yang kutemui orang tua melulu. Kapan ya aku mendapatkan pembeli yang masih muda? Siapa tau sekali mengayuh sepeda 2 atau 3 tujuan tercapai. Setelah lama berkeliling, akhirnya kutemukan seorang gadis muda berjilbab membeli sayur yang kujual. Wajahnya putih bersih, tutur katanya halus penuh sopan santun, bahkan dia tidak pernah menatapku terlalu lama, selalu menundukkan pandangan, mungkin karena dia bermaksud menjaga pandangannya agar tidak masuk kategori pandangan yang dilarang. Siapa dia? Mungkin dia adalah adalah anak seorang ustadz atau tokoh agama di desa ini. Entah mengapa tanpa sengaja dia menjatuhkan sayur yang akan dia bawa pulang. Secara reflek aku mengambil dan menyerahkan kepadanya. "Terima kasih", ucapnya lembut. Dan lidahku menjawab sendiri seperti bicara tanpa kendali. "Kasihmu kuterima". "Ah mas bisa saja, suka bercanda ya mas", katanya sambil pergi berlalu dariku membawa sayur yang dia beli. XXXXXXXXXXXXXXXXXXXXX Panas terik matahari, seolah membakar kulitku yang hitam legam. Setelah daganganku terjual habis kukayuh sepedaku pulang, meski kini tinggal dengan sisa-sisa tenaga yang kupunya. Di sepanjang jalan kupanjatkan rasa syukurku pada Tuhan atas kekuatan fisikku menjalani hari ini, atas risqi yang Dia limpahkan. Atas semua karunia yang Dia anugerahkan kepadaku. Sesampainya di rumah aku shalat, makan, lalu istirahat. Malam nanti aku ikut pengajian di Masjid................................................. XXXXXXXXXXXXXXXXXXXXX Seperti apa pengajiannya???? Ikuti bagian ke-4. Terima kasih. =======================================

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun