Mohon tunggu...
fajarnursyahalam
fajarnursyahalam Mohon Tunggu... Teacher at AABS Purwokerto/Influence in Literature and History

Guru, Musrif, Dan Inspirator at AABS Purwokerto

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Jejak Ottoman di Perang Dunia I: Pelajaran Geopolitik untuk Dunia yang Kembali Memanas

30 Juni 2025   08:49 Diperbarui: 30 Juni 2025   08:49 247
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Propaganda Kekaisaran Ottoman Turki di Perang Dunia I. Sumber Foto : Faculty Of Islamic Studies | University Of Cambridge )

Purwokerto-Lebih dari satu abad telah berlalu sejak Kekhalifahan Ottoman memutuskan bergabung dalam Perang Dunia I pada tahun 1914 Masehi, namun jejak sejarahnya tetap membekas dalam peta politik dan ketegangan geopolitik dunia Islam hingga hari ini. Dalam konteks dunia yang sedang kembali bergolak oleh konflik global, dari Perang Ukraina, Perang Gaza, hingga peningkatan ketegangan di Laut Merah dan Selat Taiwan, kisah Kekhalifahan Ottoman menjadi pelajaran penting bagi para pemimpin dunia modern, khususnya di dunia Islam saat ini. Keterlibatan Ottoman di perang besar ini tidak lepas dari pengaruh Wazir Harbiye  Letnan Jendral  Ismael Anwar Pasha yang termakan bujukan rayuan pemerintahan Berlin, bahwa Kekaisaran Jerman tak-terkalahkan dalam perang besar ini dan akan membantu Ottoman dalam memulihkan wilayah yang hilang sepanjang akhir abad 19 Masehi. Meskipun tanpa ada persetujuan dari  Ijtima' Ulama, dewan majlis negara & tanpa ada persetujuan wazir Agung beserta Khalifah Mehmed V. Kekhalifahan Ottoman terseret dalam Perang Dunia I 1914- 1918 yang menjadi peristiwa paling mengerikan sepanjang Sejarah peradaban umat Islam. Sebagai Menteri Perang di Kabinet Sa'id Halim Pasha ia memerintahkan armada laut Ottoman untuk melakukan pengeboman terhadap pelabuhan dan Angkatan Laut Russia di Sepanjang Laut Hitam. Pemerintah Russia merespon dengan mendeklarasikan Perang terhadap Ottoman dan kemudian di ikuti oleh Inggris, Praancis, dan Italia menyatakan Perang Suci terhadap Kekhalifahan Ottoman.

Ottoman terlibat Perang Besar : Strategi atau Jebakan Politik ?

Kekhalifahan  Ottoman, pada masa pemerintahan Sultan Mehmed V, bergabung dengan Blok Sentral (Jerman dan Austria-Hungaria) pada akhir 1914. Keputusan tersebut bukan semata-mata karena kesamaan ideologis atau kekuatan militer, tetapi lebih merupakan upaya untuk menyelamatkan eksistensi kekaisaran dari kemunduran internal dan tekanan eksternal dari kolonialisme Barat.Menurut Prof. Eugene Rogan dalam bukunya The Fall of the Ottomans (2015) :

"The Ottomans went to war not from a position of strength, but as a desperate bid to preserve the empire." 

Rogan menunjukkan bahwa keterlibatan Ottoman merupakan manuver berisiko tinggi, yang kemudian mengakibatkan pembubaran kekhalifahan dan lahirnya republik-republik  serta kerajaan Islam kecil di bekas wilayahnya terutama di Timur tengah. 

Pengkhianatan Politik : Antara Janji dan Realita

Selama perang, Ottoman berharap bahwa kemenangan Blok Sentral akan memulihkan kekuatan Islam dan mengamankan wilayah mereka dari ancaman kolonial. Namun, fakta menunjukkan bahwa kekuatan Barat telah lama merancang rencana pembagian wilayah, bahkan sebelum perang berakhir.Perjanjian Sykes--Picot (1916), yang disusun secara rahasia oleh Inggris dan Prancis, membagi kawasan Arab menjadi zona pengaruh Eropa. Revolusi Arab 1916 yang dipimpin oleh Syarif Hussein pun pada akhirnya dimanfaatkan Inggris untuk melemahkan posisi Ottoman di pusat kekuatannya, dengan janji kemerdekaan Arab yang tak pernah ditepati. Dan pemerintahan Inggris justru mendukung pendirian negara Zionis di tanah palestina saat deklarasi Blafaour tahun 1917.  David Fromkin, dalam karya klasiknya A Peace to End All Peace (1989), menulis: 

 "The modern Middle East was born in betrayal. The fall of the Ottoman Empire was not the end of imperialism, but the redirection of it." David berasumsi bahwa  timur tengah modern lahir dari sebuah penghianatan dan kehancuran Ottoman bukanlah awal dari Imperialisme tetapi pengalihannya, artinya  akhir dari Kekhalifahan Turki ini adalah awal penjajahan atas Dunia Islam serta meningkatnya pengaruh Inggris dan Prancis atas kendali mandat tanah baru di wilayah timur tengah yang mengakibatkan ketidakstabilan situasi politik di negara-negara Islam hingga kini.

Situasi Kini: Sejarah yang Berulang?

Konteks geopolitik dunia saat ini menunjukkan pola-pola yang mirip. Negara-negara Muslim kembali menjadi medan perebutan pengaruh antara kekuatan besar. Lihat bagaimana AS, Rusia, dan Tiongkok saling berhadapan di Timur Tengah, Asia Tengah, bahkan Afrika. Banyak negara berkembang, khususnya di dunia Islam, terjebak dalam politik klien dan ketergantungan ekonomi terhadap kekuatan besar.Fareed Zakaria, analis geopolitik CNN, dalam wawancaranya di World Economic Forum 2024 mengatakan: "The global order is shifting rapidly. Without internal cohesion, many states risk becoming pawns---just as the Ottomans were." (Tatanan global berubah dengan cepat. Tanpa kohesi internal, banyak negara berisiko menjadi pion---seperti yang dialami oleh Ottoman.) Sementara itu, Richard Haass, mantan presiden Council on Foreign Relations, memperingatkan:"We are witnessing the slow return of spheres of influence, and history tells us this rarely ends well for smaller or divided nations."

Pelajaran Penting: Membangun Ketahanan Strategis

Kegagalan Ottoman untuk membangun aliansi regional yang kuat, dan kebergantungan berlebihan kepada satu kekuatan besar, menjadi titik krusial kejatuhannya. Pelajaran ini menjadi sangat relevan hari ini, ketika dunia Islam terfragmentasi oleh kepentingan nasional sempit dan kekurangan visi geopolitik bersama hingga sangat bergantung kepada Negara-negara besar seperti Russia dan Tiongkok .Dr. Yasir Qadhi, cendekiawan Muslim asal AS, dalam diskusinya di Oxford Forum 2023 mengatakan: "Muslim countries must learn from the fall of the Caliphate. Political naivety and lack of unity turned a global civilization into scattered states." ("Negara-negara Muslim harus belajar dari kejatuhan Khilafah. Kenaifan politik dan kurangnya persatuan mengubah peradaban global menjadi negara-negara yang tercerai-berai.")

 

Kesimpulan


Ketika dunia kembali berada dalam bayang-bayang konflik global, sejarah Ottoman menjadi pelajaran penting tentang bagaimana peradaban besar bisa runtuh jika gagal membaca peta dunia dan tidak membangun ketahanan internal. Kini, dunia Islam dan negara-negara nonblok harus membangun narasi politik yang mandiri, aktif, dan strategis.Jejak Ottoman di Perang Dunia I bukan hanya cerita kekalahan, tetapi peringatan geopolitik. Dunia Islam harus berhenti menjadi objek politik global dan mulai bertindak sebagai subjek strategis. Dalam dunia yang "kembali memanas", sejarah bukan untuk dikenang semata---tetapi untuk dipelajari agar tidak diulang.

Wallahu'alam bissowab

 
Sumber Refrensi Artikel :

  • Rogan, Eugene. The Fall of the Ottomans: The Great War in the Middle East, 1914--1920. Basic Books, 2015.

  • Fromkin, David. A Peace to End All Peace: The Fall of the Ottoman Empire and the Creation of the Modern Middle East. Holt Paperbacks, 1989.

  • Kissinger, Henry. World Order. Penguin Press, 2014.

  • Haass, Richard N. The World: A Brief Introduction. Penguin, 2020.

  • Zakaria, Fareed. The Post-American World. W. W. Norton, 2008.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun