Mohon tunggu...
Fajar
Fajar Mohon Tunggu... Supir - PEZIARAH DI BUMI PINJAMAN

menulis jika ada waktu luang

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Mengapa Orang Suka Fobia dengan Kaum Liberal?

1 Juli 2012   16:48 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:22 354
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Tidak bisa disangkal bahwa kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi turut berperan dalam pembentukan pola pikir sebagian penduduk dunia. Berkembangnya pola pikir ini menjangkau seluruh aspek kehidupan manusia dan bahkan merambat menjangkau dimensi religius (agama) yang sebelumnya diklaim hanya boleh dijangkau dengan iman. Dan ratio bukanlah sarana yang tepat untuk bermain pada lapangan luas yang disebut agama. Namun sejarah berbalik, semenjak zaman Pencerahan secara pelan tapi pasti ranah agama dirasuki oleh pemikiran-pemikiran yang berbasis pada ratio. Pecahnya agama Kristen atau reformasi gereja yang dimotori oleh Martin Luther pada abad pertengahan menunjukan kepada dunia betapa sebuah pemikiran yang benar tidak bisa dibatasi oleh siapapun. Peristiwa ini merupakan buah dari sebuah revolusi cara berpikir.

Tragedi besar peradaban yang terjadi di dunia Barat beberapa dekade silam kini mendapat peluang untuk hadir di bumi pertiwi, Indonesia. Kita seharusnya berbangga bahwa dari antara berjuta penduduk Indonesia masih ada yang mau berpikiran terbuka untuk mengkritisi penghayatan agama para pemeluknya untuk menyegarkan perspektif lain tetang agama. Namun sungguh disayangkan bahwa revolusi cara berpikir yang ditunjukan oleh para pemikir terbuka tersebut, seringkali keburu “dicap” sesat oleh khalayak ramai. Revolusi cara berpikir ialah sebuah pemberontakan bahwa manusia selalu mengingini kehidupan yang damai dan bahagia dengan selalu meredefinisi dan membaharui dari dalam apa yang telah dianggap baku dan mapan. Atau dengan kata lain “pemberontakan” terhadap sebuah praktik kehidupan beragama keliru tetapi memapankan diri mencerminkan sebuah desire manusia modern yang selalu cinta akan kebenaran.

Pemberontakan Orang-Orang Beragama

Aristoteles dalam catatan pembuka buku monumentalnya Metaphysic berkata: every man has by nature desire to know (setiap manusia dari kodratnya memiliki kerinduan untuk mengetahui). Tak bisa disangkal bahwa memang manusia dari kodratnya adalah makhluk yang berpikir, ingin mengenal, menggagas dan merefleksikan. Tentang apa? Tentang dirinya, sesamanya, hidup kesehariannya, Tuhannya, lingkungan dunia, kehadirannya, asal dan tujuan keberadaanya. Atau singkatnya segala sesuatu yang berkaitan dengan hidupnya. Kecendrungan untuk berpikir secara benar inilah yang mendorongpara pemikir bebas dan terbuka untuk berpikir kritis terhadap berbagai keyakinan yang dianggap konservatif fundamentalistis. Berpikir kritis berbeda dengan gerakan untuk mendirikan aliran yang samasekali baru. Paling tidak bagi mereka cara berpikir bebas yang mereka gagaskan bisa menjawab tuntutan para penganut yang hidup di zaman modern ini. Tuntutan orang-orang beragama pada zaman modern ini tidak berarti memasukan paham sekularisasi dalam agama, melainkan terbebasnya para penganut ajaran sebuah agama dari pelbagai kesesatan dalam rupa penafsiran harafiah yang notabene masih terikat oleh kultur dan bahasa dari mana agama itu berasal. Kefanatikan dan chauvinistis justru muncul karena kekonservatifan untuk mempertahankan keaslian agama tanpa adanya inkulturasi ke dalam budaya setempat di mana agama itu diajarkan. Langkah maju yang telah ditunjukan oleh para pemikir liberal inilah yang menjadi buahdari kemajuan zaman dan cara berpikir. Para pemikir bebas dan terbuka ini mewakili sebuah kodrat yang berusaha untuk selalu mencari kebenaran.

Di lain sisi, Kitab suci sebagai sumber ajaran agama oleh pemeluknya, terkadang ditafsirkan secara harafiah. Kitab suci sebagai sarana yang membuat pemelukya dekat dengan Tuhan justru terjerat dalam praktik salah para pemelukya juga para pewartanya. Penafisiran yang secara harafiah inilah yang membuat manusia terkungkung dalam bingkai agama. Dengan sebuah formulasi lain kita bisa bertanya: agama manakah yang mengajarkan penganutnya untuk membunuh sesamanya‘atas nama Tuhan”? atau agama manakah yang paling benar sehingga dengan enteng mencap pemeluk lain kafir? Parapemikir liberal ialah orang-orang yang mencoba untuk keluar dari kungkungan agama yang dirasa menyulitkan manusia ini.

Kesesatan yang menjadi inti kritik para liberalis bisa jadi merupakan produk para “pewarta” ajaran agama. Ini bisa terjadi ketika apa yang diajarkan oleh para “pewarta” agama tidak sesuai dengan apa yang mereka lakukan. Mimbar agama hanya bisa dijadikan sebuah panggung politik yang bertujuan untuk mencari prestise, mengejar gengsi dan berkampanye. Atau dengan kata lain para “pewarta” agama hanya mengumbar jargon yang membius masyarakat dan menggunakan agama sebagai sarana untuk mewartakan diri sendiri. Salah kaprah seperti ini yang membawa para penganutnya pada jurang kesalahpahaman tentang agama yang seharusnya mempunyai tujuan mulia yakni mengantar para penganutnya untuk semakin dekat dengan Tuhan. Ambilah sebuah contoh konkret: para pejabat teras Indonesia yang seringkali memberikan “ajaran moral” bagi rakyatnya padahal di balik layar mereka telah melakukan tindakan korupsi, kolusi dan nepotisme. Begitu paradoksnya sebuah praktik keagamaan di bumi pertiwi ini!! Konsekuensinya jelas,para pendengar hanya bisa membebek. Inilah kenaifan terbesar yang dilakukan oleh para “pewarta” ajaran agama di Indonesia. Agama hanyalah TOPENG dan dijadikan ALAT KEKUASAAN. STOP IT man!!!

Hanya pribadi yang peka-lah yang memberontak terhadap sebuah kesesatan yang dilakukan oleh para pewarta ajaran agama tersebut. Filsafat Descartes yang cukup terkenal “cogito ergo sum” merupakan sebuah awal dari kesadaran bermanusia. Keragu-raguan merupakan titik pangkalnya. Para pemikir liberal (yang diklaim sesat) adalah pribadi yang ragu-ragu akan kebenaran yang diwartakan oleh para pewarta agama yang bertingkah paradoks. Sampai pada titik ini mereka bertanya: apakah agama membenarkan atau mengajar kesesatan bagi para pengikutnya? Mereka berdiri pada sebuah keyakinan bahwa memang agama tidak pernah bisa disalahkan. Namun yang menggelitik mereka ialah kesesatan yang dijalankan oleh para pewarta agama.

Mengkritik adalah sebuah aktivitas untuk memberikan sebuah masukan yang berarti bagi kemajuan. Para pemikir liberal tidak hanya mengkritik tetapi juga memberikan beberapa gagasan yang turut membantu berkembangnya agama.

Agama Postmodern

Gelagat dan cara beragama yang telah ditunjukan oleh orang-orang beragama di Indonesia dewasa ini telah menimbulkan sebuah trend baru. Betapa tidak, agama sudah menjadi sebuah institusi kaku yang lebih mengekang para pengikutnya. Ironisnya para pemeluk agama yang bersangkutan hanya bisa membebek dengan sebuah keyakinan bahwa ajaran agama yang dianutnya merupakan wahyu yang diterima dari Tuhan, sehingga tidak bisa diganggu-gugat. Akibanya muncul para pemeluk yang bertingkah seperti robot dan skeptisisme dan napsu saling menghabisi pemeluk lain yang dinggap kafir semakin meningkat.

John D. Caputo mempunyai paradigma lain terhadap problem seperti ini (Caputo: 162-174). Ia mengajukan sebuah gagasan beragama dengan jalan: tanpa agama. Agama tanpa agama adalah sebuah cara beragama yang cocok bagi para pemeluk agama yang hidup di zaman modern ini. Caputo benar, bahwa beragama seharusnya tidak terikat oleh doktrin yang menyesatkan serta diukur dengan kadar lahiriah sejauh mana seseorang melaksanakan aneka praktik lahiriah dari agama. Atau dengan kata lain agama tanpa agama ialah agama cinta. Agama cinta tidak bisa didefinisikan, hanya bisa diresapi didalam hati disertai tindakan konkret yang berlandaskan cinta. Cinta sesungguhnya merupakan muara dari segala ajaran agama yang tertuang dalam kitab suci masing-masing agama.

Agama bagi orang-orang yang hidup di zaman modern ini ialah “agama konkret” bukan terikat pada ajaran agama yang disalah tafsir. Maka kritikan kaum liberalis ialah sebuh kepekaan pada sebuah agama cinta yang memang sudah selayaknya dianut oleh semua pemeluk agama di Indonesia. Aspek religius merupakan elemen penting yang menjadi roda penggerak pembangunan bangsa Indonesia. Ini artinya ketika para pemeluk agama berlaku anarkis terhadap sesamanya maka pembangunan yang bertujuan menciptan manusia indonesia yang bermutu baik jiwa maupun raganya tidak bisa berajalan dengan efektif. Kita semua tentunya mengharapkan agar bangsa Indonesia dapat berkembang kearah yang lebih baik lagi. Ini hanya mungkin terjadi ketika aspek rohani (kehidupan beragama) dibenahi dengan baik.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun