Mohon tunggu...
Faishol Adib
Faishol Adib Mohon Tunggu... Penulis - Profiless

Person without Profile

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Menanti Kereta Api

15 Januari 2021   15:43 Diperbarui: 15 Januari 2021   15:56 211
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Hanya beberapa jam aku tidur di kantor. Sesaat setelah waktu subuh lewat, aku dan Mulyadi bergegas berjalan menuju Stasiun Tugu. Kami memilih berjalan kaki ke stasiun karena hanya perlu beberapa langkah saja untuk sampai di sana. Sambil melangkah, aku hisap rokok kretek yang masih tersisa di kantong. Hawa dingin menyergap. Jaket tipis yang melekat di kulit cukup membuat tubuh hangat dan kami terus berjalan beberapa tapak lagi.

Di depan, sudah terlihat stasiun. Halaman depan stasiun terlihat lengang, apalagi tak ada pepohonan. Pada tahun 1930-an, di sana masih ada satu pohon beringin yang besar dan rimbun. Memiliki usia panjang termasuk salah satu ciri pohon beringin yang dapat tumbuh tanpa mengenal musim. Daunnya berukuran kecil berwarna hijau tua. Akan merasa nyaman bagi siapa saja yang beristirahat di bawahnya.

Saat matahari sedang terik, di bawah pohon itu menjadi tempat terbaik untuk berteduh bagi kusir dan  andongnya yang sedang menunggu penumpang yang baru tiba di stasiun. Bila berjajar dengan rapi, area di bawah pohon itu mampu menampung 4 hingga 5 andong untuk sama-sama berbagi tempat berteduh. Karena termasuk tanaman kerajaan, tak salah bila pohon beringin itu menjadi simbol pelindung raja terhadap rakyatnya.

Aku dan Mulyadi masuk bangunan induk stasiun. Bangunan yang menghadap ke timur itu sekaligus menjadi pintu utama stasiun. Jendela dan pintu berukuran besar menjadi salah satu ciri utama bangunan. Di dalam gedung sudah ada beberapa pegawai Kraton. Kami menyalami mereka. Mulyadi mengenal para pegawai itu.

“Kanjeng Sultan dan Sri Paduka apa sudah ada di dalam?” tanya Mulyadi kepada salah satu pegawai Kraton.

“Belum. Semoga sebentar lagi tiba,” jawabnya.


Kami berdiam diri di gedung induk stasiun sambil berdiri ikut menunggu kedatangannya. Tak lama, suara kendaraan terdengar. Sultan HB IX dan Paku Alama VIII tiba bersamaan. Melewati gedung induk, lalu masuk ke ruang tunggu.  

Meninggalkan ibu kota ke Yogyakarta menggunakan kereta tentu sudah dipikirkan dengan matang oleh Presiden Soekarno dan pemimpin republik lainnya di Jakarta. Pilihan dan keputusan ini mengisyaratkan kalau kereta menjadi alat transpostasi dengan risiko terendah dibanding pesawat, kapal laut, atau jalur darat dengan iringan kendaraan.

Namun, tetap tidak terbayangkan bagaimana Presiden Soekarno beserta rombongan meninggalkan Jakarta, lalu melewati Bekasi, dan rute perjalanan selanjutnya tanpa sepengetahuan atau bahkan tertangkap oleh pasukan NICA yang terus menerus melakukan patroli, bahkan hingga malam hari.

Bukan kah kesalahan sekecil apapun dalam merencanakan perjalanan yang penuh risiko itu bisa menimbulkan akibat yang sangat fatal bagi negeri yang baru berdiri ini? Aku tak bisa membayangkan bila NICA mengetahui rombongan itu, lalu memborbardir dengan rentetan senjata, atau bahkan menghacurkan seluruh gerbong kereta dengan bom. Bila itu terjadi, dalam semalam negeri ini akan kehilangan Presiden dan pemimpin republik lainnya.

Cahaya fajar tampak di ujung timur. Secara perlahan, akan diikuti cahaya merah sebagai penanda awal terbitnya matahari. Dari pintu utama, beberapa orang masuk stasiun. Semakin lama, semakin banyak rakyat Yogyakarta yang datang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun