Mohon tunggu...
Faisal yamin
Faisal yamin Mohon Tunggu... Nelayan - Belajar menulis

Seorang gelandangan pikir yang hobi baca tulisan orang

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen | Perempuan di Garis Lurus

8 Januari 2020   21:19 Diperbarui: 8 Januari 2020   21:16 86
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Atas otoritasmu maka kau keluarkan fatwa dalam perwujudan syair dan puisi agar mereka dapat tunduk dan patuh, padahal kau lupa bahwa syair dan puisi adalah sebuah keagungan suci bagi setiap pejuang yang berjuang. Tidakkah kau lihat bahwa puisi dan syair bak tetes hujan yang perlahan membelah dan menghancurkan bongkah batu.

Tidakkah kalian iba dengan anak-anak yang kini tak lagi menete puting susu ibunya hanya karnah air susu tidak lagi keluar akibat tidak ada lagi makanan yang harus dimakan. Tidakah kalian wahai manusia tamak, melihat para anak kecil yang harus duduk di emperan jalan dan kolong jembatan, dengan kepasaraan mereka melihat cita-cita hanya menjadi sebuah mimpi? Semua karana ketamakan kalian dan kelalalaian kalian menaikan kebutuhan mereka dalam bersekolah?.

Kalian yang tamak, tidakkah hidup hanyala sebuah lakon yang dibuat oleh yang maha agung, yang sebantar di sini, sebantar lagi di sana. Dan bukankah kita hanyalah sebuah metafora, yang tak dapat memeluk realitas dunia? Jika demikia apa yang kalian cari? Kekayaan? harta? Sampai kalian relah membunuh setiap anak manusia yang meringking lapar dengan wajah kusam dengan mata sembab. Bukankah semuanya akan hilang terbang bersama ruh saat dia ditarik keluar.

Dengan otoritas kalian, dengan ketamakan kalian. Tanpa rasa bersalah, dan kemudian bangga, kalian gundulkan tanah-tanah mereka, atas nama aturan kalian terlantarkan mereka, dan kalian penjarakan mereka yang masih berakal sehat dan mencoba meneliti dan menyampaikan kepicikan yang telah kalian lakukan."

Sesaat dia terhenti, ruangan menjadi gulita, lilin suda habir terbakar. Sedang malam kian larut, sementara hujan bertambah lebatnya sampai jangkrik, kunang-kunang tak tanpak di matanya. Dia raih sebatang lilin, lalu dinyalahkannya. Sesaat, dia berdiri melihat butiran hujan yang jatuh ke bumi, mendengan gemerincing suara sungai yang mungkin suda mulai banjir. Dan kembali dia pada tempat semula dan melanjutkan.

"Atas sesama anak manusia, tidakkah kalian iba melihat aku? Sampai kalian berbuat demikian, menyiksa dan merampas semuah kehormatanku? Aku hanya ingin menyampaikan kebenaran, bersuara lantang mewakili masyarakat kecil yang menderita dalam genangan duka.

Atas nama keadilan dan kemanusiaan maka aku ragukan kemanusiaan kalian. Sebab seorang anak manusa yang mencoba mengetuk hati dari ketamakan yang menutupi kalian laksana salju abadi di atas puncak cartez piramyd. Kalian menyambutku dengan hati yang menyalah-nyala kemudian mengadili aku tanpa ketentuan adil yang di sepakati.

Tidakkah kalian ingat para manusia tamak, kalian utus orang untuk menangkapku, kemudian tubuhku di sekap dalam ruang gelap di pojok kota. Mataku di ikat kuat dengan kain hitam membuat pandanganku gelap tak setitik cahaya yang masuk."

Sampai di sini, dia tak kuasa menahan sakit. Air matanya jatuh terkulai, pikiranya gelap tak karuan ketika dia mengorek kembali kenangan itu. Tubuhnya tak ubah seperti seorang tawanan perang yang di paksa melompat ke lautan nanah yang berbau busuk. Kendati, dia harus menuankan semua rahasia ini kedalam kata agar bisa di lihat oleh yang lainnya, dan dengan kuat dia menulis lagi dengan air mata yang menghujani pipihnya.

"Aku tak tau, entah malam atau siang, entah pagi atau sore. Mataku di ikat, gelap. Aku juga tak tau siapa yang berbuat demikian. Namun musabbanya adalah kareka aku adalah perempuan yang suka memberontak dan menggangu kedamaian kalian dalam menjalankan misi penyengsaraan rakyat kalian sendiri.

Di sebuah bangku aku di ikat, dan mulai di tampar wajah aku berkali-kali, aku merasakan ada cairan hangat keluar dari kedua lubang hidungku, dan aku yakin itu dara akibat tamparan mereka yang terlalu keras. Tidak hanya itu, kurasakan seperti cambuk yang di pukul ke tubuku. Peri sekali dan sangat perih.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun