Mohon tunggu...
Faisalbjr
Faisalbjr Mohon Tunggu... Dosen - hhmm

please wait...

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Cari-Cari Dosa Pustakawan

11 Mei 2021   00:01 Diperbarui: 11 Mei 2021   10:33 268
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi perpustakaan sumber gambar: pexel.com

Setiap memasuki tempat perbelanjaan seperti minimarket, pegawainya akan menyapa pengunjung dengan ramah. Ia akan membantu menunjukkan produk yang kita cari jika kita kesulitan, kemudian menanyakan barang-barang apa lagi yang kita perlukan. Meskipun sibuk, pegawai minimarket itu tetap berusaha melayani dengan sikap yang menyenangkan. Begitu kebanyakan yang kita temukan.

Kamu beruntung jika masuk ke perpustakaan, mendapat sambutan bagaikan calon pembeli yang akan membawa keuntungan seperti di tempat belanja. Di depan pintu petugasnya menyapa dengan salam dan tersenyum, kemudian menanyakan kamu mencari buku apa.

Kamu belum beruntung jika tidak mendapatkan itu di perpustakaan, dan tidak perlu kecewa. Kamu kan datang ke perpus tidak bawa profit bagi pengelolanya seperti pembeli yang masuk ke minimarket, he he.

Lha kok jadi alasan untuk tidak melayani dengan baik. Kenapa mikirnya keuntungan atau profit?

Betul sekali, perpustakaan bukan buat cetak uang seperti perusahaan. Perpustakaan didirikan biar masyarakat menjadi cerdas, pada pinter-pinter. 

Pemerintah yang punya kewajiban menyediakan berbagai sumber pengetahuan dan informasi. Masyarakat berhak memperoleh layanan dan memanfaatkan fasilitas yang ada di sana tanpa membayar. Gratis, karena perpustakaan dibiayai pakai uang negara, yang di antara sumbernya dari pajak yang kamu bayar.

Di mana-mana ada perpustakaan. Setiap kabupaten dan kota ada perpustakaan umum, dilengkapi perpus keliling. Kampus dan sekolah ada perpustakaannya. 

Bahkan tidak sedikit warga yang inisiatif buka taman bacaan. Mereka ingin warga sekitar gemar membaca dan berpengetahuan.

Perpustakaan itu organisasi yang ada aturan pengelolaannya. Pegawainya harus memenuhi standar dalam bekerja. Pustakawan di perpus juga terikat kode etik dan standar pelayanan. Artinya harus memberikan yang terbaik.

Sekarang perpustakaan lebih baik dibandingkan jaman dulu. Stereotip perpus bukan lagi tempat buku-buku dengan penjaga yang cuek dan galak. 

Gambaran seperti itu mulai berubah. Kalau sedang galau, datanglah ke perpus. Banyak bacaan menarik di sana, tempatnya juga nyaman. Niscaya galaumu berkurang. Dan ada yang paling kamu cari, wifi gratis.

Soal kamu belum puas sama pelayanannya, ya sabarlah dulu. Masukin keluhanmu di kotak saran, mudah-mudahan dibaca, diperhatikan, dan ditindaklanjuti. Kamu juga maklum, orang kerja pastilah ada dinamikanya. Ada konflik di dalam hubungan mereka, ada si bos yang toxic, ada yang ngerasa gajinya kurang, stres, dsb.

Mungkin pustakawannya sedang capek, lagi dongkol, trus ketemu mukamu yang kusut itu. Maka terjadilah kemistri di antara kalian. Kamu nanya, malah disuruh cari sendiri buku yang kamu mau, dianya mainan hape. Itu ilustrasi aja sih, semoga dirimu tidak sesial itu.

Sebenarnya pustakawan itu orangnya suka menolong. Tapi minta tolongnya ya baik-baik. Kalau dia cuek, coba puji potongan rambutnya, sepatunya, jilbabnya, kacamatanya. Bikin tersanjung dulu, begitu kira-kira dalam jurus komunikasi. Maka dia senang hati membantumu sampai puas.

Banyak sudah kritik terhadap perpustakaan. Pustakawan sendiri menyadari kekurangan-kekurangannya. Malah ada yang ngelist jadi seven deadly sins, tujuh dosa mematikan atau dosa besar yang dilakukan orang perpus. Si mbak yang bernama Jo Webb menghisab sikap atau perbuatan yang dapat menjatuhkan pustakawan ke dalam kehancuran. Mari kita lihat sepintas.

Pertama hawa nafsu, misalnya perpustakaan semangat punya program atau koleksi tapi tidak mempedulikan kebutuhan dan keinginan penggunanya.

Kedua rakus, yaitu merasa baik memiliki banyak materi dalam hal ini bahan pustaka, meskipun berlebihan dan kebanyakan tidak berguna karena tidak punya prioritas.

Ketiga serakah, yakni keinginan untuk mengejar status, apa pun dilakukan demi predikat di mata orang lain.

Keempat malas, tidak mau belajar dan berkembang. Pustakawan tidak mau memberikan yang terbaik dalam bekerja.

Kelima emosional, tidak sabar dalam melayani, kaku mematuhi aturan dan tidak fleksibel atau toleran terhadap kesalahan-kesalahan.

Keenam iri hati terhadap potensi dan prestasi orang lain, cemburu terhadap profesi lain dan status yang mereka peroleh.

Ketujuh sombong, merasa lebih baik atau lebih penting dari orang lain. Merasa dibutuhkan oleh semua orang.

Tapi apakah seberat itu, masa ada dosa-dosa besar di perpustakaan. Mengapa ada tujuh, tidak tiga, atau lima saja. Setuju atau tidak, tampaknya daftar itu diturunkan dari ajaran keagamaan dan dipercaya sebagai dosa pokok. Dari yang pokok dan dikerjakan terus bisa lahir perbuatan-perbuatan jahat lainnya.

Perpustakaan mau tidak mau harus mengevaluasi dirinya, jangan merasa sebagai lembaga yang penting dan diperlukan orang. Apalagi ada saingan dari internet yang nyatanya bisa buat belajar tanpa harus repot datang ke sekolah dan ke perpustakaan. Berkah dari kemajuan teknologi informasi.

Tujuh dosa pustakawan mungkin terasa berlebihan dan dicari-cari. Berlawanan dengan kamu yang maunya enak-enak. Kamu mau tujuh pintu surga, tujuh bidadari. Tapi anggap itu sebagai peringatan. Kamu pustakawan jangan merasa hebat sebab pekerjaanmu besok hari bisa diambil anak-anak yang pinter TI. Kamu mau mengerjakan apa?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun