Mohon tunggu...
Faisal Basri
Faisal Basri Mohon Tunggu... Dosen - Mengajar, menulis, dan sesekali meneliti.

Mengajar, menulis, dan sesekali meneliti.

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Membangun Bangsa dengan Budaya Politik Sehat [1]

13 Mei 2016   19:47 Diperbarui: 13 Mei 2016   22:32 699
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
KOMPAS/DIDIE SW Ilustrasi

Oleh: Faisal Basri[2]

Sejatinya ekonomi dan politik tidak terpisahkan. Ekonomi mengajarkan cara menggapai kemakmuran dan kesejahteraan, sedangkan politik hadir untuk menegakkan keadilan. Membangun bangsa merupakan tugas mulia, mengupayakan perubahan dan kemajuan (progress) di segala bidang untuk mewujudkan kesejahteraan yang berkeadilan. Rasa keadilan itulah yang sekarang menyeruak di seantero ..

Ketidakadilan terjadi di mana-mana. Globalisasi sejatinya meningkatkan kemakmuran masyarakat global. Terbukti dalam tiga dekade terakhir kemiskinan di dunia berkurang, semakin banyak penduduk keluar dari lembah kemiskinan. Bukan karena kebetulan, melainkan karena terjadi fusi peradaban (fusion of civilization), bukan a clash of civilization sebagaimana pandangan Samuel Huntington.[3]

Namun, mengapa belakangan ini kian banyak yang menggugat sistem kapitalisme global dan praktek demokrasi liberal, di Amerika Serikat sekalipun? Tema sentral yang diusung oleh Bernie Sanders, kandidat presiden Amerika Serikat dari Partai Demokrat, adalah revolusi, mengubah struktur kekuatan ekonomi yang semakin timpang. Buah dari kapitalisme Amerika Serikat hanya dinikmati oleh 1 persen warga terkaya, sedangkan sisanya yang 99 persen tidak mengalami kemajuan berarti. Mayoritas pekerja harus bekerja lebih lama untuk mempertahankan daya belinya. Mesin politik digerakkan oleh Wall Street, korporasi besar di industri farmasi dan raksasa minyak, juga raja judi. Mereka menghimpun miliaran dollar AS lewat wadah super PACs (political action commitees) dan saluran tersembunyi membiayai kampanye untuk mendukung atau menentang kandidat.

Berdasarkan The Economist Intelligence Unit’s Democracy Index 2015, Amerika Serikat bukanlah negara demokrasi paling superior. Negara ini hanya menduduki peringkat ke-20 dari 167 negara. Komponen paling rendah adalah political participation dan functioning of government. Pemerintah dan masyarakat Amerika Serikat sedemikian terbelah. Amerika Serikat menjadi negara maju yang paling timpang di dunia.[4]

Negara-negara Skandinavia menduduki peringkat tertinggi dalam indeks demokrasi. Dalam banyak hal pun negara-negara Skandinavia sangat superior, misalnya dalam Human development index, Globalization index, indeks ketimpangan, dan indikator sosial lainnya. Negara-negara ini dan negara-negara Eropa lainnya yang lebih tangguh menghadari gejolak pada umumnya menerapkan sistem demokrasi sosial dan sistem pasar sosial.

***

Indonesia telah menerapkan berbagai macam sistem politik dan sistem ekonomi. Setelah 70 tahun merdeka, pencapaian Indonesia relatif tertinggal dibandingkan dengan negara-negara tetangga. Padahal, kebanyakan negara yang merdeka setelah Perang Dunia II memulai pembangunan pada titik pijak yang hampir sama. Mengapa Korea dan Macan Asia lainnya mampu tumbuh pesat sehingga telah menyandang status negara maju dan di lapisan kedua seperti Malaysia dan Thailand telah menyandang negara berpendapatan menengah-atas, sedangkan Indonesia masih di kelompok negara berpendapatan menengah-bawah?

Ada yang berpandangan tidaklah layak membandingkan Indonesia dengan Macan Asia yang penduduknya relatif kecil dan wilayahnya tak seluas Indonesia. Dibandingkan dengan China pun, Indonesia sudah tertinggal dan kian jauh. India yang penduduknya lebih satu miliar jiwa belakangan ini terbukti menikmati pertumbuhan tertinggi di dunia.

Indonesia bahkan terancam mengalami perangkap pendapatan menengah (middle income trap). Cita-cita mencapai negara berpendapatan tinggi pada peringatan 100 tahun kemerdekaan amat sulit terwujud jika bangsa Indonesia tidak melakukan transformasi politik dan ekonomi yang radikal.[5]

***

Ketika Presiden Abdurrahman Wahid melakukan kunjungan ketiga dan terakhir ke Washington, D.C. pada awal 2001, Presiden Clinton menyampaikan harapan kepada Gus Dus:

“Mr. President, I wish Indonesia a great success. A successful Indonesia will help to characterize the 21st century. Indonesia is now the world’s third largest democracy. Indonesia is the fourth largest-population country, with the world’s largest Moslem population. If Indonesia can prove to the world that Islam and democracy are compatible – you show us the way.”[6]

Harapan Clinton yang ditumpukan kepada bangsa Indonesia, bukan kepada negara-negara dengan pemeluk Islam sebagai mayoritas di Timur Tengah, Afrika, Turki, Pakistan atau Malaysia, tentu bukan tanpa alasan kuat. Sejarah membuktikan bumi Indonesia memancarkan kesejukan dan kedamaian bagi berbagai pemeluk agama dan kepercayaan. Toleransi di antara penduduk yang berbeda keyakinan sangat tinggi. Tidak ada penindasan oleh mayoritas atas kaum minoritas.

Memang kita memiliki catatan sejarah kelam pada tahun 1965. Sayangnya apa yang sebenarnya terjadi belum terungkap tuntas. Upaya untuk meluruskan sejarah patut dihargai, harus terungkap siapa yang bersalah dan siapa yang menjadi korban. Setelah kebenaran sejati terungkap niscaya rekonsiliasi dan saling memaafkan akan lebih mudah terwujud. Tidak ada lagi dendam. Segenap energi dan sumber daya tercurah sepenuhnya untuk mewujudkan cita-cita kemerdekaan.

Bangsa Indonesia telah membuktikan mampu menegakkan demokrasi. Ketegangan politik menjelang hingga pasca pemilihan umum dan pemilihan presiden 2014 berakhir dengan damai. Tidak ada huru-hara. Tidak setetes darah pun menitik ke pangkuan Ibu Pertiwi akibat konflik antar pendukung kandidat presiden. Surat kabar, majalah, media sosial, televisi, radio, dan panggung orasi, bahkan surat kaleng sekalipun, berperan sebagai kanalisasi potensi konflik. Seluruh manuver pihak mana pun terbaca terang oleh publik. Tidak ada gerakan bawah tanah yang melakukan sabotase. Sekecil apa pun kecurangan terdeteksi cepat, sehingga hampir mustahil melakukan kecurangan masif. Setelah keputusan Mahkamah Konstitusi, pihak yang kalah menerimanya dengan lapang dada. Dendam teredam oleh proses konstitusional.

Sudah hampir 20 tahun reformasi bergulir. Perubahan mendasar secara simultan terjadi di bidang politik, pemerintahan, dan ekonomi. Momentum kejatuhan Orde Baru telah melumatkan sebagian lemak-lemak politik dan ekonomi yang menyumbat jantung kehidupan berbangsa dan bernegara. Proses pembakaran lemak tidak boleh berhenti dan jangan sampai muncul lemak-lemak baru yang menyumbat pembaruan tatanan berbangsa dan bernegara.

Amat disayangkan partai politik sebagai salah satu pilar utama demokrasi belum kunjung menunjukkan perubahan berarti. Perilaku partai masih jauh dari cerminan budaya politik demokrasi yang sehat. Oligarki partai tetap mencengkeram. Pratek demokrasi di dalam partai politik masih jauh dari sehat. Hari-hari ini kita menyaksikan betapa figur yang nyata-nyata tidak terpuji masih melenggang menjadi calon kuat ketua umum partai besar dan terbesar selama Orde Baru. Partai dikelola seperti perseroan terbatas atau bahkan perusahaan pribadi/keluarga.

Tidak terhitung elit politik hingga ketua umum partai yang telah masuk penjara. Tidak lagi jelas batas antara penguasa dan pengusaha. Sejumlah menteri, gubernur, bupati dan walikota pun demikian. Mereka menghalalkan segala cara untuk meraih dan mempertahankan kekuasaan serta memperkaya diri sendiri dan kelompoknya.

Pertarungan politik tidak banyak mengedepankan gagasan, apalagi visi jangka panjang bagi kejayaan bangsa. Sentimen ras dan agama dijadikan alat untuk menyudutkan lawan, rasa kebencian dihembuskan untuk mengadu-domba rakyat.

Mereka lupa rakyat tidak bisa lagi dicekoki dengan kebohongan dan kemunafikan. Di alam kebebasan, kebenaran sedemikian tampak nyata dan kebusukan tidak bisa ditutup-tutupi, walaupun tak terhindarkan muncul juga ekses negatif.

Civil society dan media massa, termasuk media sosial, tumbuh menjadi pilar demokrasi pengimbang dari keroposnya partai politik sebagai pilar utama demokrasi, sehingga fungsi politik tidak dimonopoli sepenuhnya oleh partai politik. Di sinilah letak pentingnya kehadiran calon independen, walaupun masih sebatas untuk pemilihan kepala daerah (gubernur, bupati, dan walikota). Tanpa kehadiran calon independen atau perseorangan, partai politik cenderung leluasa menentukan kepala daerah dengan topangan kekuatan pemodal kuat atau bandar. Keberadaan calon independen bukan untuk mengerdilkan keberadaan partai atau anti partai, melainkan untuk mengoreksi perilaku partai, sehingga justru meningkatkan kualitas dalam “pasar” politik.

***

Banyak faktor yang menentukan kemajuan suatu negara. Keberhasilan negara-negara yang terhindar dari middle income trap ditentukan oleh tiga faktor utama: kualitas sumber daya manusia (terutama pendidikan dan kesehatan), produktivitas dan teknologi sebagaimana tercermin dari sumbangan produk teknologi tinggi dalam ekspor, dan harmoni sosial. Faktor ketiga sangat ditentukan oleh rendahnya jurang kaya-miskin.

Dengan menggunakan indikator indeks gini—yang notabene sangat lemah karena di Indonesia berdasarkan data pengeluaran—ketimpangan di Indonesia semakin memburuk karena sudah menembus angka 0,4.

Data berdasarkan kekayaan menunjukkan kondisi ketimpangan di Indonesia sudah sangat mengkhawatirkan. Satu persen keluarga terkaya menguasai lebih dari separuh kekayaan total, terburuk ketiga di dunia setelah Rusia dan Thailand.

Segelintir kelompok keluarga terkaya itu cenderung lebih mengandalkan kedekatan dengan penguasa. Kelompok terkaya mampu memengaruhi kebijakan pemerintah dan memperoleh beragam konsesi untuk mengakumulasikan dan melindungi kekayaannya. Tak sedikit kebijakan pemerintah yang lebih memenuhi preferensi kelompok kaya karena balas budi.

Di antara banyak faktor yang memengaruhi keberhasilan dan kegagalan suatu negara, faktor kelembagaan (institutions) yang paling menentukan.[7] Tugas sejarah kita adalah mentransformasikan instutusi politik dan institusi ekonomi, dari extractive political and economic institutions menjadi inclusive political and economic institutions.

Dengan begitu, para elit tidak lagi leluasa merampok kekayaan negara dan rakyat. Dalam bahasa Acemoglu, salah satu ciri dari institusi yang baik adalah:

“Constraints on the actions of elites, politicians, and other powerful groups, so that these people cannot expropriate the incomes and investments of others or create a highly uneven playing field.”

[1] Naskah orasi ilmiah yang dipersiapkan untuk acara wisuda Institut Bisnis Nusantara, Hotel Bidakara, Jakarta, 10 Mei 2010.

[2] Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia untuk maka kuliah Ekonomi Politik dan Program Magister Manajemen Universitas Tanjungpura untuk mata kuliah Analisis Bisnis Global.

[3] Kishore Mahbubani and Lawrence H. Summers (2016), “The Fusion of Civilization: The Case for Global Optimism,” Foreign Affairs 95/3 (May/June): 126-135.

[4] Joseph E. Stiglitz, The Great Divide: Unequal Societies and What We Can Do About Them, New York: WW Nonton, 2016.

[5] Gatot A. Putra dan Faisal Basri, “Escaping the Middle Income Trap in Indonesia: An Analysis of Risks, Remedies and National Characteristics,” Friedrich Ebert Stiftung, 2016. (http://library.fes.de/pdf-files/bueros/indonesien/12509.pdf)

[6] Sebagaimana dikisahkan oleh Prof. Dorodjatun Kuntjoro-Jakti, Duta Besar Indonesia untuk Amerika Serikat yang turut serta dalam kunjungan ke Gedung Putih.

[7] Daron Acemoglu and James A. Robinson, Why Nations Fail: The Origin of Power, Prosperity, and Poverty, New York: Crown Business, 2013.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun