Mohon tunggu...
Faisal Ramdhani
Faisal Ramdhani Mohon Tunggu... Penulis lepas

Suka dan senang melihat orang tersenyum

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Pasedahan Di Banyuanyar : Refleksi Kritis Historiografi Desa Di Sampang

26 Agustus 2025   05:42 Diperbarui: 26 Agustus 2025   06:09 213
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pengantar: Kritik Kuntowijoyo dan Hilangnya Sejarah Desa

Profesor Kuntowijoyo, sejarawan, budayawan, sekaligus sastrawan besar Indonesia, pernah memberikan catatan penting yang bernada kritik sekaligus refleksi: sejarah desa nyaris tidak mendapat tempat dalam penulisan historiografi Indonesia. Desa, sebagai ruang sosial, ekonomi, budaya, bahkan politik yang paling dekat dengan kehidupan masyarakat, seolah dianggap terlalu sederhana untuk dijadikan bahan studi serius dalam sejarah akademik.

Dalam dunia akademik, para sejarawan lebih tertarik menulis tentang kolonialisme, politik nasional, serta sejarah kaum elite. Bagi mereka, tema-tema tersebut dianggap lebih menantang, dengan sumber-sumber yang jelas tersedia di arsip-arsip kolonial atau dokumen pemerintahan. Sebaliknya, sejarah desa dianggap kabur, rumit, penuh cerita lisan, dan sulit diuji kebenarannya.

Padahal, jika ditelisik lebih dalam, desa adalah sumber nyata dari denyut sejarah bangsa. Desa adalah "laboratorium sosial" tempat berlangsungnya interaksi manusia, tradisi, perjuangan ekonomi, dan identitas kultural yang khas. Seperti dikatakan Kuntowijoyo, tanpa menulis sejarah desa, sejarawan kehilangan kesempatan memahami denyut "sejarah dari bawah" (history from below).

Kasus Kabupaten Sampang: Sejarah yang Elitis

Situasi yang dikritik Kuntowijoyo itu tampak jelas dalam historiografi Kabupaten Sampang. Dari 180 desa dan 6 kelurahan yang ada, hampir tidak ada yang memiliki catatan sejarah tertulis tentang asal-usul, perkembangan, atau dinamika sosialnya.

Sejarah Sampang lebih banyak berputar pada narasi kerajaan, tokoh bangsawan, atau Kamituwo Madegan. Nama Madegan bahkan telah lama menjadi simbol historis, sebab menyimpan banyak situs dan kisah penting yang berkaitan dengan sejarah Madura secara luas. Namun, ironisnya, simbol ini justru mengalami subordinasi dalam perkembangan administratif: nama Madegan digantikan dengan Polagan.

Di sinilah muncul problem toponimi: ketika sebuah nama lama yang sarat makna sejarah diganti dengan nama baru yang tidak jelas akar kesejarahannya. Menurut dosen sastra UNAIR, Eddy Sugiri, mengutip profesor sejarah Simon J Potter, penamaan tempat tidak sekadar urusan administratif, melainkan berkaitan erat dengan aspek kesejarahan, kebudayaan, dan identitas masyarakat.

Kasus Madegan--Polagan memberi gambaran betapa mudahnya sejarah desa diputus rantai ingatannya hanya karena keputusan administratif. Dan di sinilah kritik Kuntowijoyo menemukan relevansinya kembali.

Banyuanyar dan Jejak Pasedahan

Namun, dari kelangkaan itu, muncul secercah cerita unik dari Kelurahan Banyuanyar, Sampang. Sebuah dokumen tanah tahun 1928 menyebut bahwa penguasa awal desa tersebut bernama Wongso Sastro. Ia bukan disebut kamituwo sebagaimana lazimnya kepala desa di banyak wilayah Jawa dan Madura, melainkan diberi julukan Pasedahan.

Julukan ini menarik karena jarang ditemukan di desa-desa lain di Sampang. Dalam tradisi pemerintahan lokal Jawa--Madura, kita mengenal istilah kamituwo, bekel, kerio, atau lurah. Tetapi istilah pasedahan terasa asing. Dari sini, muncul pertanyaan kritis: Apakah istilah pasedahan hanya khas Banyuanyar, ataukah pernah menjadi praktik umum di wilayah lain di Madura? Apakah pasedahan sekadar gelar simbolik, atau ia mencerminkan fungsi khusus dalam sistem ekonomi dan sosial desa?

Dua sumber memberi petunjuk. Pertama, dalam tradisi Bali, kata pasedahan berkaitan dengan pendapatan daerah. Istilah ini masih hidup dalam lembaga modern seperti Pasedahan Agung yang bermakna badan pendapatan. Kedua, menurut Raden Toemenggoeng Ario Nitieadiningrat (1914), pasedahan berasal dari kata Jawa Kromo yang berarti "tempat pemanggilan" atau "dipun aturi." Dalam konteks politik lama, pasedahan merujuk pada tugas mengumpulkan pajak, hasil bumi, atau keuangan dari rakyat untuk disetorkan ke penguasa yang lebih tinggi.

Kedua sumber itu memberi benang merah: pasedahan erat kaitannya dengan pendapatan, hasil bumi, dan pengelolaan ekonomi desa.

Pasedahan sebagai Simbol Ekonomi dan Kekuasaan

Jika ditarik ke konteks Banyuanyar, kisah Wongso Sastro sebagai Pasedahan menjadi masuk akal. Ia tidak sekadar memimpin pemerintahan desa, melainkan juga menjadi pengumpul hasil bumi dari petani dan hasil laut dari nelayan. Fungsinya lebih mirip "bendahara" sekaligus "bupati kecil" yang memastikan pendapatan desa dan pengiriman pajak ke atas.

Dengan kekuasaan semacam itu, Pasedahan bukan sekadar gelar administratif, melainkan simbol sistem ekonomi tradisional. Bahwa desa tidak berdiri sendiri, melainkan terikat dalam jaringan kewajiban ekonomi dengan kerajaan atau kolonial. Wongso Sastro mengelola desa Banyuanyar selama hampir 50 tahun, kemudian digantikan putranya, Mohammad Saleh Wongsotruno. Panjangnya masa kekuasaan menunjukkan betapa kuat peran dan otoritas Pasedahan dalam struktur sosial desa.

Pasedahan, dengan demikian, memberi kita gambaran tentang satu bentuk "sejarah ekonomi desa" yang jarang ditulis. Ia menunjukkan bahwa desa bukan sekadar entitas administratif, melainkan juga pusat produksi, distribusi, dan pengelolaan kekayaan lokal.

Pertanyaan Kritis: Mengapa Hilang dari Historiografi?

Pertanyaan yang muncul kemudian: mengapa gelar seunik dan sepenting Pasedahan nyaris hilang dari historiografi resmi? Mengapa kita lebih banyak membaca tentang Kamituwo Madegan ketimbang Pasedahan Banyuanyar?

Jawabannya bisa berlapis. Pertama, orientasi historiografi kita memang lebih tertarik pada sejarah politik dan bangsawan, bukan sejarah ekonomi desa. Kedua, karena sumber tertulis tentang desa jarang, sementara cerita lisan sering dianggap kurang valid oleh akademisi. Ketiga, perubahan status desa menjadi kelurahan pasca-Orde Baru membuat memori lokal terputus: orang lebih mengenal istilah lurah daripada Pasedahan.

Padahal, jika kita serius menggali, Pasedahan bisa memberi gambaran unik tentang bagaimana masyarakat Madura mengelola ekonomi mereka, bagaimana relasi kuasa dibentuk, dan bagaimana identitas desa terbentuk melalui gelar dan praktik sosial.

6. Toponimi dan Identitas: Antara Madegan, Rongtengah, dan Banyuanyar

Kasus Banyuanyar ini juga harus dilihat bersama kasus lain seperti Madegan dan Rongtengah. Rongtengah, misalnya, tercatat dalam arsip kolonial Belanda (1883) sebagai Roomtengah. Perubahan namanya ke Rongtengah tidak terlalu drastis, sehingga identitas historisnya masih terjaga. Bahkan, jejak kolonial masih bisa dilihat dari gedung SDN Rongtengah 1 yang dulunya menjadi lembaga pendidikan kolonial.

Sebaliknya, Madegan kehilangan identitas historis ketika diganti menjadi Polagan. Inilah contoh konkret pemutusan ingatan sejarah melalui perubahan toponimi. Jika dalam kasus Rongtengah nama lama masih dikenali, di Madegan nama hilang, dan di Banyuanyar, gelar Pasedahan tenggelam tanpa bekas dalam administrasi modern.

Toponimi, dalam ilmu linguistik dan sejarah, bukan sekadar nama. Ia adalah pintu masuk untuk memahami identitas, warisan, dan perjalanan masyarakat. Karena itu, mengabaikan toponimi sama saja dengan menghapus satu babak sejarah.

7. Relevansi Pasedahan bagi Identitas dan Pembangunan Desa

Mengapa kita harus peduli pada istilah Pasedahan hari ini? Bukankah itu sekadar istilah lama?

Jawabannya: karena Pasedahan menyimpan nilai-nilai identitas lokal. Ia menunjukkan bahwa Banyuanyar memiliki sejarah unik, berbeda dengan desa lain. Ia memberi warga setempat kebanggaan bahwa desa mereka pernah dipimpin dengan gelar yang khas dan berfungsi penting dalam struktur ekonomi.

Dalam konteks pembangunan desa hari ini, sejarah seperti Pasedahan bisa dijadikan dasar untuk membangun narasi identitas lokal. Misalnya, Banyuanyar bisa mengangkat kembali istilah Pasedahan sebagai simbol ekonomi kerakyatan: desa yang dahulu mengelola hasil bumi dan laut, kini bisa mengembangkan koperasi desa, BUMDes, atau pasar rakyat dengan semangat "pasedahan."

Dengan kata lain, sejarah bukan sekadar masa lalu, melainkan inspirasi untuk masa kini.

8. Penutup: Menggali Sejarah Lokal sebagai Tugas Kultural

Kuntowijoyo pernah menegaskan: sejarah harus menjadi ilmu sosial profetik, yang tidak hanya menjelaskan masa lalu, tetapi juga memberi arah moral bagi masa depan. Menulis sejarah desa, termasuk sejarah Pasedahan di Banyuanyar, adalah bagian dari upaya profetik itu.

Kita tidak boleh lagi membiarkan desa hanya menjadi objek administrasi tanpa identitas. Penulisan sejarah lokal adalah cara untuk menjaga warisan, memperkuat kebanggaan, dan memberi arah pembangunan.

Dari Banyuanyar, kita belajar bahwa sebuah istilah---Pasedahan---bisa membuka jalan refleksi panjang tentang historiografi yang abai, identitas yang terputus, dan pentingnya menulis sejarah dari bawah.

Jika sejarah nasional adalah pohon besar, maka sejarah desa adalah akar yang membuatnya berdiri kokoh. Mengabaikan akar sama dengan membiarkan pohon kehilangan sumber kehidupannya. Dan Pasedahan, di Banyuanyar, adalah salah satu akar itu yang harus kita rawat, kita tulis, dan kita wariskan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun