Namun, dari kelangkaan itu, muncul secercah cerita unik dari Kelurahan Banyuanyar, Sampang. Sebuah dokumen tanah tahun 1928 menyebut bahwa penguasa awal desa tersebut bernama Wongso Sastro. Ia bukan disebut kamituwo sebagaimana lazimnya kepala desa di banyak wilayah Jawa dan Madura, melainkan diberi julukan Pasedahan.
Julukan ini menarik karena jarang ditemukan di desa-desa lain di Sampang. Dalam tradisi pemerintahan lokal Jawa--Madura, kita mengenal istilah kamituwo, bekel, kerio, atau lurah. Tetapi istilah pasedahan terasa asing. Dari sini, muncul pertanyaan kritis: Apakah istilah pasedahan hanya khas Banyuanyar, ataukah pernah menjadi praktik umum di wilayah lain di Madura? Apakah pasedahan sekadar gelar simbolik, atau ia mencerminkan fungsi khusus dalam sistem ekonomi dan sosial desa?
Dua sumber memberi petunjuk. Pertama, dalam tradisi Bali, kata pasedahan berkaitan dengan pendapatan daerah. Istilah ini masih hidup dalam lembaga modern seperti Pasedahan Agung yang bermakna badan pendapatan. Kedua, menurut Raden Toemenggoeng Ario Nitieadiningrat (1914), pasedahan berasal dari kata Jawa Kromo yang berarti "tempat pemanggilan" atau "dipun aturi." Dalam konteks politik lama, pasedahan merujuk pada tugas mengumpulkan pajak, hasil bumi, atau keuangan dari rakyat untuk disetorkan ke penguasa yang lebih tinggi.
Kedua sumber itu memberi benang merah: pasedahan erat kaitannya dengan pendapatan, hasil bumi, dan pengelolaan ekonomi desa.
Pasedahan sebagai Simbol Ekonomi dan Kekuasaan
Jika ditarik ke konteks Banyuanyar, kisah Wongso Sastro sebagai Pasedahan menjadi masuk akal. Ia tidak sekadar memimpin pemerintahan desa, melainkan juga menjadi pengumpul hasil bumi dari petani dan hasil laut dari nelayan. Fungsinya lebih mirip "bendahara" sekaligus "bupati kecil" yang memastikan pendapatan desa dan pengiriman pajak ke atas.
Dengan kekuasaan semacam itu, Pasedahan bukan sekadar gelar administratif, melainkan simbol sistem ekonomi tradisional. Bahwa desa tidak berdiri sendiri, melainkan terikat dalam jaringan kewajiban ekonomi dengan kerajaan atau kolonial. Wongso Sastro mengelola desa Banyuanyar selama hampir 50 tahun, kemudian digantikan putranya, Mohammad Saleh Wongsotruno. Panjangnya masa kekuasaan menunjukkan betapa kuat peran dan otoritas Pasedahan dalam struktur sosial desa.
Pasedahan, dengan demikian, memberi kita gambaran tentang satu bentuk "sejarah ekonomi desa" yang jarang ditulis. Ia menunjukkan bahwa desa bukan sekadar entitas administratif, melainkan juga pusat produksi, distribusi, dan pengelolaan kekayaan lokal.
Pertanyaan Kritis: Mengapa Hilang dari Historiografi?
Pertanyaan yang muncul kemudian: mengapa gelar seunik dan sepenting Pasedahan nyaris hilang dari historiografi resmi? Mengapa kita lebih banyak membaca tentang Kamituwo Madegan ketimbang Pasedahan Banyuanyar?
Jawabannya bisa berlapis. Pertama, orientasi historiografi kita memang lebih tertarik pada sejarah politik dan bangsawan, bukan sejarah ekonomi desa. Kedua, karena sumber tertulis tentang desa jarang, sementara cerita lisan sering dianggap kurang valid oleh akademisi. Ketiga, perubahan status desa menjadi kelurahan pasca-Orde Baru membuat memori lokal terputus: orang lebih mengenal istilah lurah daripada Pasedahan.