Mohon tunggu...
Irfai Moeslim
Irfai Moeslim Mohon Tunggu... Penulis - Author

menulis adalah gaya hidup, menulis untuk mencetak sejarah, dengan menulis kita bisa merubah dunia. Menulislah maka kamu ada | Pemerhati Pendidikan, Sosial, Politik, Keagamaan |

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Etos Perjuangan dan Pengabdian Kiai dan Santri bagi Negeri

16 Oktober 2017   13:35 Diperbarui: 16 Oktober 2017   13:54 1921
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: Tribunnews.com

Kemerdekaan Negara Republik Indonesia tidak terlepas dari peran pesantren khususnya para kiai dan santri-santrinya. Jauh sebelum Indonesia merdeka lembaga pendidikan pesantren sudah berdiri dan menjadi cikal bakal pusat perjuangan kemerdekaan Indonesia dari kalangan bawah. Pesantren adalah lembaga pendidikan indegenous milik bangsa Indonesia. Pergerakan pendidikan pesantren mengakar mulai dari kalangan masyarakat bawah. Maka tak berlebihan jika pengaruh pesantren pada masyarakat bawah (baca: masyarakat pedesaan) memiliki tempat tersendiri di hati masyarakat. 

Adanya pengaruh kiai pesantren di masyarakat, menjadikan masyarakat memiliki figur yang menjadi tauladan dan siap melakukan apa saja yang diperintahkan oleh sang kiai.  Hal ini sebagaimana yang dilakukan oleh Ulama kharismatik yang dijuluki sebagai penghulu ulama di negeri Hijaz. Dialah sosok yang alim, seorang ahli fiqih juga seorang mufassir, Syeikh Nawawi bin Umar Al Jawi Al Bantani. Beliau merupakan salah satu keturunan dari Sunan Gunung Jati melalui jalur Sultan Hasanudin. 

Ketika Belanda menjajah Indonesia dan masuk ke Banten, Belanda menekan semua ulama untuk tidak banyak melakukan aktifitas keagamaan. Karena Belanda sadar betul bahwa seorang kiai memiliki pengaruh yang mengakar begitu kuat di suatu tempat. 

Pemikiran, perjuangan, dan idealisme kiai tidak bisa disepelekan dan diabaikan. Masyarakat sangat patuh dan ta'dzim terhadap apa yang diperintahkan oleh kiai dan memiliki efek pengaruh terhadap apa yang penjajah Belanda lakukan di Indonesia. Walaupun perjuangan para kiai dibungkam oleh penguasa saat itu, perjuangannya tetap selalu hidup. 

Pemikiran untuk membangun perjuangan tetap dipikirkan dengan membangun sebuah lembaga pendidikan berupa pesantren. Karena pesantren memiliki akar kekuatan dari dalam yakni ilmu pengetahuan agama yang membebaskan masyarakat dari pengaruh kebodohan dan kekotoran hati yang melekat. Saat itulah, Syekh Nawawi al-Bantani hijrah dari nusantara menuju Makkah al-Mukarramah. Dari sanalah, Syekh Nawawi banyak mengkader ulama-ulama nusantara, seperti KH. Hasyim Asy'ari, KH. Ahmad Dahlan, Syekh Mahfudz At-Turmusi, dan lainnya.

Perjuangan dan pergerakan para ulama demi cita-cita membangun sebuah masyarakat yang islami dan bebas dari kebodohan dan pembodohan kaum penjajah tidak kenal kata menyerah. Perjuangan para ulama mendidik kader-kadernya menuai kesuksesan dan keberhasilan. Sebut saja mahaguru ulama nusantara KH. Muhammad Sholeh Darat al-Samarani yang memiliki murid yang luar biasa berpengaruh di Indonesia dan memiliki organisasi masa terbesar di Indonesia yaitu KH. Ahmad Dahlan dan KH. Hasyim Asy'ari. 

Raden Ajeng Kartini juga merupakan murid dari KH. M. Sholeh Darat. Pendidikan dan pengajaran yang disampaikan oleh KH. M. Sholeh Darat berhasil mencetak kader-kader yang militan, bisa membangun dan membela negaranya. Dari tiga murid yang menjadi tokoh besar tersebut, sudah memiliki pengaruh yang luar biasa bagi perjuangan masyarakat melawan penjajah. Ditambah lagi dengan tokoh-tokoh kiai yang lain seperti KH. Abdul Wahab Hasbullah, KH. Bisri Syansuri, KH. Muhammad Ma'shum Lasem dan lain-lainnya.

Perjuangan para kiai dan santri puncaknya ada pada resolusi jihad yang dikumandangkan oleh KH. Hasyim Asy'ari pada tanggal 22 Oktober 1945. Dengan fatwa yang dikeluarkan tersebut memberikan dampak semangat bagi para laskar hizbullah, masyarakat, santri dan para kiai lainnya untuk membela tanah air Indonesia. 

Hal ini mengindikasikan bahwa dawuh sang kiai menjadi sumber utama dalam memantik semangat perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Masyarakat dan santri yang menjadi tulang punggung perjuangan mendapatkan suntikan segar atas fatwa resolusi jihad tersebut. Para kiai dan tokoh-tokoh perjuangan Islam yang lain pun tidak luput dari peran membela tanah air dengan caranya masing-masing yang dapat mereka lakukan. Karena sekecil apapun bantuan yang diberikan demi membela tanah air itu juga sudah dianggap berjihad.

Salah satu ulama yang memiliki andil dalam perjuangan melawan penjajah khususnya di wilayah Cirebon, yaitu KH. Muhammad Sanusi al-Babakani, beliau merupakan seorang kiai, pendidik, dan seorang pejuang kemerdekaan. Beliau memiliki andil yang sangat besar dalam perjuangan kemerdekaan khususnya di desa Ciwaringin Cirebon. 

Beliau merupakan pemasok pengadaan logistik seperti penyediaan pedang panjang, memasok senjata bagi para tentara hizbullah yang memiliki markas di sebelah utara alun-alun Ciwaringin. KH. M. Sanusi juga berperan merekrut para pemuda untuk bergabung menjadi pasukan hizbullah yang dilengkapi dengan seragam dan senjata. Ikut andil dan terlibat walau tak langsung kontak fisik juga merupakan bagian dari perjuangan yang tidak bisa terpisahkan.

Setelah Indonesia bebas dari penjajah, perjuangan para kiai dan santri tidak berhenti begitu saja. Perjuangan yang sebenarnya adalah mengisi kemerdekaan tersebut dengan hal-hal yang mencerdaskan dan memajukan bangsa. Maka, mengisi kemerdekaan itulah menjadi jihad yang paling berat. 

Sama halnya ketika zaman Rasulullah, ketika berperang melawan orang kafir Quraisy memiliki semangat juang dan visi yang sama, yaitu mendakwahkan Islam dan menyebarkannya. Kemudian setelah Islam tersebar, maka konteks jihad pun bukan lagi bermakna berperang dalam arti kontak fisik, tetapi maknanya meluas. Hingga jihad yang terberat adalah jihad melawan hawa nafsu sendiri. 

Sama hal nya dengan bangsa Indonesia setelah menikmati kemerdekaan. Maka perjuangannya setelah kemerdekaan adalah bukan lagi melawan dan mengusir penjajah, perjuangan sekarang adalah bagaimana mengisi kemerdekaan tersebut. Perjuangan melawan ego sendiri, melawan kemalasan, melawan kemiskinan, dan melawan kebodohan. 

Perjuangan kiai dan santri dalam konteks ke-Indonesiaan adalah menanamkan nilai-nilai Islam di masyarakat, mengajarkan masyarakat bagaimana memiliki pemahaman agama yang benar dan mendalam, memiliki akhlak yang baik sebagai fondasi dalam berinteraksi sesama manusia, tak mudah untuk menyalahkan, tidak saling mengintimidasi, apalagi saling mengkafirkan sesama pemeluk agamanya. Ini lah tantangan terberat perjuangan para kiai dan santri setelah kemerdekaan Indonesia. 

Misi dan visi perjuangan pesantren yang dimiliki para kiai tak hanya terkait soal agama dan keagamaan. Tetapi jauh dari itu para kiai memikirkan kondisi masyarakat disekitarnya. Hal ini berkaitan tentang masalah kemiskinan, kebodohan, dan masalah-masalah sosial lainnya yang berkembang di masyarakat. 

Oleh karena itu, para kiai tidak hanya berbicara soal akidah dan syariat saja, akan tetapi seorang kiai dapat memberdayakan masyarakat sekitarnya dengan baik. Pada satu hal tertentu masyarakat diharuskan memiliki pemahaman agama yang baik, di sisi lain juga masyarakat memiliki kemandirian dalam menghidupi keluarganya, sehingga tidak ada lagi masyarakat Islam yang miskin dan lemah.

Hal ini ditunjukkan oleh kiprah kiai asal Kajen, Pati, yaitu KH. MA. Sahal Mahfudz. Pandangan KH. MA Sahal Mahfudz sangat luas terutama terkait pengembangan fiqih sosial yang dikuasainya. Walau pun banyak tantangan dan kesulitan yang dihadapi, perjuangan beliau dalam mengembangkan fiqih sosial tetap dilakukannya demi memberdayakan potensi masyarakat sekitar. Fiqih sosial yang beliau bicarakan tidak hanya dalam konteks ubudiyah saja, tetapi sangat luas dengan mengambil peran kemasyarakatan. 

Seperti halnya pengentasan masalah kemiskinan, membebaskan masyarakat dari kebodohan, arti penting berhubungan dengan masyarakat yang pluralis, penanganan zakat, dan lainnya. Intinya adalah mengkaji dengan serius yang berhubungan langsung dengan masyarakat. Hal ini menjadi bukti perjuangan seorang kiai dalam konteks mengisi kemerdekaan yang telah diperjuangkan oleh para ulama, santri, dan tokoh bangsa yang lain di masa lalu. 

Tokoh lainnya yang berjuang mengisi kemerdekaan dengan hal yang memajukan bangsa adalah KH. Ahmad Dahlan, pendiri organisasi kemasyarakatan Muhammadiyah. Beliau merupakan teman belajar dan satu guru dengan KH. Hasyim Asy'ari. Corak dakwah KH. Ahmad Dahlan mengedepankan aspek pendidikan dan sosial kemasyarakatan. 

Maka tak heran banyak lembaga pendidikan dan rumah sakit yang dimiliki oleh Muhammadiyah. Hal ini menunjukkan bahwa mengisi kemerdekaan bangsa dengan cara bersikap dan berinteraksi dengan masyarakat sekitar demi memuliakan dan memajukan bangsa dan negara Indonesia.

Hasil perjuangan-perjuangan para ulama dan kiai tidak lah sia-sia. Baik dilihat dari sisi perjuangan melawan penjajah, perjuangan mendidik santri dan masyarakat melalui perannya di pesantren dan dakwahnya di masyarakat. Hal ini ditunjukkan dengan potret masyarakat Indonesia yang memiliki sifat yang luwes dan ramah, memiliki sifat kesahajaan, saling bergotong royong, dan saling menghargai. Efek-efek dari perjuangan itu pun semakin menguat dan menjadi upaya untuk mengisi kemerdekaan. 

Santri-santri dahulu tak melulu belajar di pesantren hanya belajar agama. Tetapi mereka pun belajar ilmu umum. Ini juga ditunjukkan oleh KH. Wahid Hasyim, dimana beliau juga bisa berbahasa asing. Ada juga tokoh NU yang hampir terlupakan, yakni KH. Moh. Tolchah Mansoer. Selain ahli dalam bidang agama, ternyata beliau merupakan seorang organisatoris yakni yang memelopori berdirinya IPNU (Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama). KH. Moh. Tolchah Mansoer juga seorang pakar hukum tata negara. 

Contoh seperti ini lah yang menjadi salah satu santri ideal yang diinginkan para santri sekarang ini. Tak hanya ahli dibidang agama tetapi juga pandai di bidang umum.

Praktek-praktek perjuangan para kiai dan santri dalam memperjuangkan kemerdekaan bangsa, juga para kiai dan santri yang mengisi kemerdekaan dengan rangkaian kegiatan positif yang mencerminkan karakter dan kepribadian masyarakat demi memajukan bangsa dan bernegara, bisa dijadikan sebagai tauladan para santri sekarang dalam menumbuhkan minat dan keseriusannya dalam mengisi kemerdekaan yang telah diperjuangkan para kiai dan santri serta tokoh-tokoh bangsa lainnya. 

Sebagai seorang santri, perjuangan yang dilakukan para pendahulunya belum berakhir. Tantangan di depan mata sudah nampak begitu jelas, problematika yang ada di masyarakat menuntut para santri tidak hanya memiiki wawasan keagamaan saja. Lebih dari itu, wawasan santri harus lebih luas dari masyarakat itu sendiri. 

Karena saat seorang santri kembali ke masyarakat dan berkiprah di dalamnya, maka tantangan-tantangan tersebut harus dijawab oleh santri dengan tidak hanya dilandasi menggunakan dalil-dalil agama saja, tetapi juga didukung dengan wawasan ilmu umum yang mendukung dalam pemecahan problematika di masyarakat. Hal ini menjadikan santri sebagai benteng tak terlihat bagi arus modernisasi dan globalisasi.

Menumbuhkan sikap tangguh, dan belajar dari para pendahulu sebagai cerminan bahwa perjuangan dahulu begitu sulit dan luar biasa, penuh dengan air mata dan darah. Bedanya perjuangan dahulu dan sekarang adalah dahulu para kiai dan santri melawan dan mengusir penjajah asing, sedangkan perjuangan saat ini yakni menghadapi problematika bangsa sendiri, yang memiliki tantangan lebih besar dan lebih sulit. 

Oleh karena itu, sebagai santri tidak lah bersikap apatis dan hanya paham tentang ilmu agama yang diperoleh dari pesantren saja, tetapi seorang santri harus bisa menguasai bidang teknologi, budaya, politik, ekonomi, dan sosial. Menjadi nilai tambah tersendiri seorang ahli teknologi yang santri, ekonom yang santri, politikus yang santri, dan budayawan yang santri. Karena ketika status di dalam dirinya seorang santri, dan sebagai ahli pada suatu bidang keilmuan, maka tatkala bertindak dan mengambil keputusan tidak akan terlepas dari nilai-nilai kesantrian dan kepesantrenan. Wallahu a'alam. 

*Penulis adalah Alumnus Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor dan Khodim di Pesantren Asrarur Rafiah, Babakan, Ciwaringin, Cirebon

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun