Santri-santri dahulu tak melulu belajar di pesantren hanya belajar agama. Tetapi mereka pun belajar ilmu umum. Ini juga ditunjukkan oleh KH. Wahid Hasyim, dimana beliau juga bisa berbahasa asing. Ada juga tokoh NU yang hampir terlupakan, yakni KH. Moh. Tolchah Mansoer. Selain ahli dalam bidang agama, ternyata beliau merupakan seorang organisatoris yakni yang memelopori berdirinya IPNU (Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama). KH. Moh. Tolchah Mansoer juga seorang pakar hukum tata negara.Â
Contoh seperti ini lah yang menjadi salah satu santri ideal yang diinginkan para santri sekarang ini. Tak hanya ahli dibidang agama tetapi juga pandai di bidang umum.
Praktek-praktek perjuangan para kiai dan santri dalam memperjuangkan kemerdekaan bangsa, juga para kiai dan santri yang mengisi kemerdekaan dengan rangkaian kegiatan positif yang mencerminkan karakter dan kepribadian masyarakat demi memajukan bangsa dan bernegara, bisa dijadikan sebagai tauladan para santri sekarang dalam menumbuhkan minat dan keseriusannya dalam mengisi kemerdekaan yang telah diperjuangkan para kiai dan santri serta tokoh-tokoh bangsa lainnya.Â
Sebagai seorang santri, perjuangan yang dilakukan para pendahulunya belum berakhir. Tantangan di depan mata sudah nampak begitu jelas, problematika yang ada di masyarakat menuntut para santri tidak hanya memiiki wawasan keagamaan saja. Lebih dari itu, wawasan santri harus lebih luas dari masyarakat itu sendiri.Â
Karena saat seorang santri kembali ke masyarakat dan berkiprah di dalamnya, maka tantangan-tantangan tersebut harus dijawab oleh santri dengan tidak hanya dilandasi menggunakan dalil-dalil agama saja, tetapi juga didukung dengan wawasan ilmu umum yang mendukung dalam pemecahan problematika di masyarakat. Hal ini menjadikan santri sebagai benteng tak terlihat bagi arus modernisasi dan globalisasi.
Menumbuhkan sikap tangguh, dan belajar dari para pendahulu sebagai cerminan bahwa perjuangan dahulu begitu sulit dan luar biasa, penuh dengan air mata dan darah. Bedanya perjuangan dahulu dan sekarang adalah dahulu para kiai dan santri melawan dan mengusir penjajah asing, sedangkan perjuangan saat ini yakni menghadapi problematika bangsa sendiri, yang memiliki tantangan lebih besar dan lebih sulit.Â
Oleh karena itu, sebagai santri tidak lah bersikap apatis dan hanya paham tentang ilmu agama yang diperoleh dari pesantren saja, tetapi seorang santri harus bisa menguasai bidang teknologi, budaya, politik, ekonomi, dan sosial. Menjadi nilai tambah tersendiri seorang ahli teknologi yang santri, ekonom yang santri, politikus yang santri, dan budayawan yang santri. Karena ketika status di dalam dirinya seorang santri, dan sebagai ahli pada suatu bidang keilmuan, maka tatkala bertindak dan mengambil keputusan tidak akan terlepas dari nilai-nilai kesantrian dan kepesantrenan. Wallahu a'alam.Â
*Penulis adalah Alumnus Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor dan Khodim di Pesantren Asrarur Rafiah, Babakan, Ciwaringin, Cirebon