Mohon tunggu...
Fahrurozi Umi
Fahrurozi Umi Mohon Tunggu... Penulis - Alumni Fakultas Ushuluddin, Jurusan Tafsir, Universitas al-Azhar, Kairo, Mesir.

Penulis pernah menempuh pendidikan Sekolah Dasar di MI al-Khairiyyah, Panecekan. Dan melanjutkan ke tingkat Sekolah Menengah Pertama di Mts al-Khairiyyah, Panecekan. Kemudian meneruskan jenjang studi di Pondok Pesantren Modern Assa'adah, Cikeusal. Dan penulis lulus dari Universitas al-Azhar, Kairo pada tahun 2022.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kitab Al-Kafi: Mengenal Referensi Utama Hadis Syi'ah

26 Oktober 2023   15:28 Diperbarui: 26 Oktober 2023   15:40 301
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: alfeker.net/uploads

Riwayat semacam ini dalam neraca ulama kontemporer tergolong ke dalam riwayat yang lemah. Akan tetapi, karena keyakinan penulis al-Kafi bahwa suatu riwayat benar-benar bersumber dari Imam yang maksum, ia berani meriwayatkannya. Dan sudah tidak asing di kalangan ulama kelasik bahwa adanya kepercayaan terhadap suatu riwayat, cukup menjadi alasan atas keabsahan sebuah riwayat.

3. Terdapat Musytarak dalam Sanad Riwayat

Pada sebagian sanad dalam kitab al-Kafi terdapat beberapa musytarak (kesamaan nama) yang sebagian mudah dibedakan dan sebagian lain cukup sulit untuk dibedakan. Di kasus musytarak dalam kitab al-Kafi adalah rawi-rawi yang bernama: Ahmad bin Muhammad, Ibnu Sinan, Hamad, Ibnu Mahbub, Ibnu Fadhl dan Muhammad bin Isma'i. Berkaitan dengan nama terakhir, penulis kitab Muntaqa al-Juman mengutarakan: "Kondisi (penyandang nama) Muhammad bin Isma'il sulit untuk diketahui; karena nama ini disandang oleh kurang-lebih tujuh orang..." Penulis kemudian menjelaskan bahwa tiga di antara tujuh orang tersebut terpercaya dan yang lain tidak diketahui secara pasti kondisinya.

Hal lain menyangkut topik ini adalah bahwa pada beberapa lokasi dalam kitabnya -alih-alih ketika menukil hadis dari para gurunya- Kulaini secara langsung melakukan penukilan dari kitab-kitab hadis. Dalam hal ini metode Kulaini berbeda dengan metode syekh Thusi. Ia memuat sanad-sanad kitab yang dipergunakan pada awal riwayat agar riwayat tidak menjadi mursal. Oleh sebab itu, kebanyakan sanad riwayat al-Kafi lebih menunjukkan rangkaian nama guru beserta ijazah ketimbang pembesar hadis terasuk juga guru-guru Kulaini. Dan juga pada sebagian sanad riwayat al-Kafi, masalahnya terletak pada lemahnya para pemuka agama beserta ijazahnya, bukan lemahnya para rawi serta para syekh di bidang hadis, namun dalam sanad riwayat tidak ditemukan cara untuk membedakan antara keduanya.

4. Ditemukan Perawi-Perawi Daif dalam Rantai Sanad

Telaah kondisi perawi hadis terhadap sanad pada sebagian riwayat dalam kitab al-Kafi menunjukkan bahwa ada beberapa perawi hadis dalam kitab tersebut -yang menurut pandangan para pakar seperti Kasyi, Najasyi dan Syekh Thusi- adalah perawi yang lemah. Rawi-rawi tersebut pada umumnya termasuk ke dalam kelompok Syi'ah Ghulat atau dikenal sebagai pendusta, memiliki daya ingat yang lemah serta beberapa masalah menyangkut akidah dan akhlak. Namun -sebagaimana yang sebelumnya telah dijelaskan- Kulaini tetap konsisten mengikuti metode ulama klasik dalam mengukur kesahihan suatu riwayat. Oleh karenanya, beliau tidak melihat adanya masalah dalam menukil riwayat yang bersumber dari rawi-rawi tersebut.

5. Maksud Ungkapan Kulaini: 'Iddatun min Ashhabina 

Yang dimaksud dengan kata  'iddatun (beberapa/sekelompok) dalam ungkapan di atas adalah sekelompok guru-guru Kulaini yang memberikannya ijazah. Tujuan dari ungkapan tersebut ialah mempersingkat sanad. Adapun -hemat Kulaini- ketika disebut atau tidaknya nama-nama rawi yang tercantum dalam suatu riwayat tidak berpengaruh pada kesahihan dan kelemahan suatu riwayat, maka nama-nama tersebut tidak payah dimuat secara rinci.

Najasyi mengutip bahwa Abu Ja'far Kulaini pernah berkata: "Apabila dalam kitabku (yakni al-Kafi) tertulis sebuah ungkapan: 'Iddatun min ashhabina 'an Ahmad bin Muhammad bin 'Isa/(diriwayatkan oleh) sekelompok sahabat-sahabatku dari Ahmad bin Muhammad bin 'Isa, maka yang dimaksud dengan kata 'iddatun (sekelompok) adalah Muhammad bin Yahya, Ali bin Musa Kamidzani, Dawud bin Kurah Qoummi, Ahmad bin Idris dan Ali bin Ibrahim Qoummi". Karena Kulaini dalam meyakini kesahihan suatu riwayat bergantung pada matan riwayat ketimbang perawinya, maka selain adanya para perawi daif dalam sanad hadis al-Kafi, di antara nama-nama rawi yang termuat di dalam kata 'iddatun -sebagaimana yang dijelaskan oleh Najasyi, terdapat dua orang yang tidak diketahui secara pasti kondisinya, yaitu Dawud bin Kurah Qoummi dan Ali bin Musa Kamidzani.

B. Telaah Seputar Matan Riwayat dalam Kitab al-Kafi

Penggunaan neraca taslim dan ridha' -yakni menerima sebagaimana adanya- menjadikan kitab al-Kafi hanya sekedar memuat riwayat-riwayat yang sesuai dengan pandangan fikih dan akidah Kulaini, merupakan salah satu poin positif bagi kitab al-Kafi sekaligus merupakan sebagian dari filosofi kemunculannya. Namun pada saat yang sama, pada gilirannya hal ini dapat menjadi sasaran kritik. Pasalnya, menurut pandangan para pakar hadis yang hidup pasca Kulaini yang dalam sebagian hukum dan fatwanya tidak sependapat dengannya, mereka lebih memilih riwayat-riwayat yang bertentangan dengan riwayat-riwayat al-Kafi. Contohnya dalam kitab Tahdzib dan al-Istibshar, setelah menyebutkan beberapa hadis 'adadiyyah, syekh Thusi memberikan pendapat yang jelas bertentangan dengan pendapat Kulaini. Dengan mengkritisi matan dan sanad dalam riwayat-riwayat al-Kafi, Thusi justru memilih riwayat-riwayat yang bertentangan dengan riwayat-riwayat al-Kafi dan mengeluarkan fatwa berdasarkan itu. Akan tetapi, sebagian ulama mazhab Syi'ah berusaha -dengan mempertimbangkan apa yang diungkapkan oleh Kulaini dalam sekapur sirih kitabnya- untuk menyimpulkan bahwa seluruh riwayat yang terdapat di dalam kitab al-Kafi berkategori sahih. Di lain sisi, sebagian ulama yang juga berlandaskan pada pendahuluan kitab al-Kafi berpendapat bahwa Kulaini sendiri tidak mengatakan bahwa seluruh riwayat yang ada dalam kitab al-Kafi adalah sahih. Karena jika begitu, apa gunanya belau menggunakan tolok ukur "kemasyhuran hadis" atau menjatuhkan pilihan -yang sesuai dengan pendapat fikihnya- pada salah satu dari dua hadis yang bertentangan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun