Kitab al-Kafi () adalah kitab hadis yang ditulis oleh Abu Ja'far Muhammad bin Ya'qub al-Kulaini (w. 329 H). Kitab al-Kafi terdiri dari delapan juz, dan terpecah menjadi tiga bagian: (1) Ushul al-Kafi, (2) Furu' al-Kafi, (3) Raudhah al-Kafi.
Ushul al-Kafi berisi pembahasan terkait akidah, dan termuat di dalam juz pertama dan kedua. Furu' al-Kafi memuat pembahasan fikih, dan terdapat di dalam lima juz kitab. Sedangkan juz terakhir memuat Raudhah al-Kafi yang berisikan khutbah-kutbah ahlulbait, surat-surat para imam Syi'ah dan tema-tema akhlak.
Pujian Ulama Mazhab Syi'ah Terhadap Kitab al-Kafi
Abdul Husain al-Muzhaffar berkata:
"Sementara ulama (Syi'ah) berkeyakinan bahwa kitab al-Kafi telah diperlihatkan kepada al-Qa'im --alaihi salam-, dan beliau menganggap kitab al-Kafi adalah kitab yang baik lagi bagus, lalu beliau mengatakan: "(Kitab al-Kafi) sudah cukup (menjadi rujukan) bagi mazhab Syi'ah kita"."
Abdul Husain Syarafuddin juga pernah berkata:
"Kitab terbaik yang pernah ditulis -di antaranya- ada empat buku yang merupakan referensi utama mazhab Syi'ah dalam perkara prinsipiel (ushul) dan perkara cabang (furu') semenjak generasi awal hingga dewasa ini, yaitu: Kitab al-Kafi, kitab at-Tahdzib, kitab al-Istibshar, dan kitab Man La Yahdhuruhu al-Faqih. Keseuanya diriwayatkan secara mutawatir dan kandungannya dijamin kesahihannya. Dan kitab al-Kafi berada di garda terdepan (dibandingkan dengan tiga kitab selainnya), (dan ia adalah kitab) teragung, terbaik dan terbagus."
Imam ath-Thabrusi berkata:
"Kitab al-Kafi dibandingkan dengan empat kitab induk yang lain bagaikan matahari yang berada di antara bintang-bintang. Apabila seorang yang objektif memperhatikan secara jeli (kitab al-Kafi), maka ia tidak perlu lagi memeriksa kondisi riwayat tunggal (ahad) pada rawi-rawi yang tedapat di dalam rangkaian sanadnya; karena (kitab itu sendiri) telah menumbuhkan rasa yakin (di dalam hati), juga ketenangan, kevalidan serta kesahihan."
Agha Bazrak ath-Thahrani juga pernah berkata:
"Kitab al-Kafi adalah kitab yang paling mulia di antara keempat kitab induk (yang menjadi) pedoman mazhab Syi'ah. Tidak ada kitab yang memuat riwayat dari ahlulbait yang ditulis seperti (kitab al-Kafi) karya Tsiqatulislam (kepercayaan Islam) Imam al-Kulaini." [Lihat: Abd Somad, "Mengenal Referensi Hadits Syi'ah Kitab al-Kafi Karya Imam al-Kulaini (w. 329 H)", Jurnal Ushuluddin, Vol. XXI No. 1, (Januari 2014), hal. 1-2].
Beberapa Catatan atas Metode Kulaini
Sebagaimana yang telah diketahui bahwa kitab al-Kafi di antara empat kitab pokok dalam mazhab Syi'ah memang lebih unggul dari sisi kandungan masalah fikih dan akidah. Penulis al-Kafi berhasil mengumpulkan banyak riwayat dalam pelbagai bab dan mempersembahkan sebuah karya -yang luar biasa dan sulit untuk ditandingi- kepada masyarakat yang bermazhab Syi'ah.
Tidak sedikit para ulama yang memuji Kulaini dari sisi kekuatan hafalan dan ketelitiannya dalam periwayatan. Mereka memberi predikat sebagai sebuah karya yang besar dan tak tertandingi. Bagaimanapun juga, mempelajari dan menelaah isi kitab dapat memberikan gambaran yang jelas tentang metode dan gaya penulisan tentang metode dan gaya penulisan, serta kelebihan dan kekurangan yang ada pada kitab tersebut secara rinci.
A. Telaah atas Sanad yang Terdapat di dalam Kitab al-Kafi
Metode dan gaya penulisan Kulaini dalam hal sanad adalah dengan memuat seluruh sanad secara lengkap. Karenanya, riwayat-riwayat dalam kitab al-Kafi seluruhnya dihiasi dengan rangkaian sanad yang lengkap -kecuali sebagian kecil riwayat- yang menjadi perantara-perantara-perantara riwayat hingga sampai pada Imam Maksum as. (Ali bin Abi Thalib). Sanad lengkap yang terdapat di dalam kitab al-Kafi merupakan salah satu dari kelebihan kitab tersebut. Akan tetapi dalam hal isnad riwayat, terdapat beberapa masalah yang patut dicatat sebagai berikut.
1. Sanad dengan Pola Mu'an'an
Sanad riwayat dalam kitab al-Kafi dalam bentuk mu'an'an, yakni rangkaian sanad yang diikat dengan lafaz 'an ()/dari. Sanad dengan pola seperti ini biasanya kondisi (kuat dan lemah) para rawinya tertutup atau tidak diketahui. Menurut para ulama, mengetahui kondisi perawi dalam sebuah riwayat merupakan ukuran penting dalam menilai sebuah hadis, juga menutupi proses periwayatan seorang rawi merupakan salah satu bentuk penipuan (tadlis) yang selalu dihindari oleh para ulama yang teliti dan jeli. Akan tetapi, jika kita mengaitkannya dengan Kulaini yang dikenal teliti dan amanah oleh semua pihak, maka penukilan riwayat yang beliau lakukan dengan model mu'an'an, semata-mata bertujuan untuk meringkas sanad. Terlebih, apabila kita mempertimbangkan bahwa kitab al-Kafi-nya itu memuat 16.199 hadis, sudah barang tentu dengan menyebutkan proses periwayatan seorang rawi akan memperbanyak volume kitabnya.
2. Terdapat Sebagian Riwayat yang Mursal dan Mu'allaq
Berkaitan dengan beberapa riwayat yang memiliki sanad yang sama, Kulaini biasanya menyebutkan riwayat pertama dengan sanad lengkap dan riwayat berikutnya yang sama hanya sekedar memberi keterangan: wa bi hadzal isnad/dan dengan sanad yang sama. Dengan demikian, di samping konsistensi yang beliau tunjukkan dalam penukilan sanad secara lengkap, dalam beberapa riwayat juga terlihat sanad riwayat yang maqthu' (sanad yang berujung pada para tabiin atau generasi setelahnya), mursal (tidak disebutkan nama rawi dari kalangan sahabat) dan mu'allaq (tidak disebutkan rangkaian sanadnya dari awal sanad, baik satu orang rawi yang tidak disebutkan, dua rawi, maupun lebih), kendati dalam jumlah yang amat terbatas. Contohnya, terdapat riwayat dengan sanad seperti:
"Al-Husain bin Muhammad dari al-Mu'alla bin Muhammad dari sebagian sahabatnya dari Abu Bashir, ia berkata:..."
Riwayat semacam ini dalam neraca ulama kontemporer tergolong ke dalam riwayat yang lemah. Akan tetapi, karena keyakinan penulis al-Kafi bahwa suatu riwayat benar-benar bersumber dari Imam yang maksum, ia berani meriwayatkannya. Dan sudah tidak asing di kalangan ulama kelasik bahwa adanya kepercayaan terhadap suatu riwayat, cukup menjadi alasan atas keabsahan sebuah riwayat.
3. Terdapat Musytarak dalam Sanad Riwayat
Pada sebagian sanad dalam kitab al-Kafi terdapat beberapa musytarak (kesamaan nama) yang sebagian mudah dibedakan dan sebagian lain cukup sulit untuk dibedakan. Di kasus musytarak dalam kitab al-Kafi adalah rawi-rawi yang bernama: Ahmad bin Muhammad, Ibnu Sinan, Hamad, Ibnu Mahbub, Ibnu Fadhl dan Muhammad bin Isma'i. Berkaitan dengan nama terakhir, penulis kitab Muntaqa al-Juman mengutarakan: "Kondisi (penyandang nama) Muhammad bin Isma'il sulit untuk diketahui; karena nama ini disandang oleh kurang-lebih tujuh orang..." Penulis kemudian menjelaskan bahwa tiga di antara tujuh orang tersebut terpercaya dan yang lain tidak diketahui secara pasti kondisinya.
Hal lain menyangkut topik ini adalah bahwa pada beberapa lokasi dalam kitabnya -alih-alih ketika menukil hadis dari para gurunya- Kulaini secara langsung melakukan penukilan dari kitab-kitab hadis. Dalam hal ini metode Kulaini berbeda dengan metode syekh Thusi. Ia memuat sanad-sanad kitab yang dipergunakan pada awal riwayat agar riwayat tidak menjadi mursal. Oleh sebab itu, kebanyakan sanad riwayat al-Kafi lebih menunjukkan rangkaian nama guru beserta ijazah ketimbang pembesar hadis terasuk juga guru-guru Kulaini. Dan juga pada sebagian sanad riwayat al-Kafi, masalahnya terletak pada lemahnya para pemuka agama beserta ijazahnya, bukan lemahnya para rawi serta para syekh di bidang hadis, namun dalam sanad riwayat tidak ditemukan cara untuk membedakan antara keduanya.
4. Ditemukan Perawi-Perawi Daif dalam Rantai Sanad
Telaah kondisi perawi hadis terhadap sanad pada sebagian riwayat dalam kitab al-Kafi menunjukkan bahwa ada beberapa perawi hadis dalam kitab tersebut -yang menurut pandangan para pakar seperti Kasyi, Najasyi dan Syekh Thusi- adalah perawi yang lemah. Rawi-rawi tersebut pada umumnya termasuk ke dalam kelompok Syi'ah Ghulat atau dikenal sebagai pendusta, memiliki daya ingat yang lemah serta beberapa masalah menyangkut akidah dan akhlak. Namun -sebagaimana yang sebelumnya telah dijelaskan- Kulaini tetap konsisten mengikuti metode ulama klasik dalam mengukur kesahihan suatu riwayat. Oleh karenanya, beliau tidak melihat adanya masalah dalam menukil riwayat yang bersumber dari rawi-rawi tersebut.
5. Maksud Ungkapan Kulaini: 'Iddatun min Ashhabina
Yang dimaksud dengan kata 'iddatun (beberapa/sekelompok) dalam ungkapan di atas adalah sekelompok guru-guru Kulaini yang memberikannya ijazah. Tujuan dari ungkapan tersebut ialah mempersingkat sanad. Adapun -hemat Kulaini- ketika disebut atau tidaknya nama-nama rawi yang tercantum dalam suatu riwayat tidak berpengaruh pada kesahihan dan kelemahan suatu riwayat, maka nama-nama tersebut tidak payah dimuat secara rinci.
Najasyi mengutip bahwa Abu Ja'far Kulaini pernah berkata: "Apabila dalam kitabku (yakni al-Kafi) tertulis sebuah ungkapan: 'Iddatun min ashhabina 'an Ahmad bin Muhammad bin 'Isa/(diriwayatkan oleh) sekelompok sahabat-sahabatku dari Ahmad bin Muhammad bin 'Isa, maka yang dimaksud dengan kata 'iddatun (sekelompok) adalah Muhammad bin Yahya, Ali bin Musa Kamidzani, Dawud bin Kurah Qoummi, Ahmad bin Idris dan Ali bin Ibrahim Qoummi". Karena Kulaini dalam meyakini kesahihan suatu riwayat bergantung pada matan riwayat ketimbang perawinya, maka selain adanya para perawi daif dalam sanad hadis al-Kafi, di antara nama-nama rawi yang termuat di dalam kata 'iddatun -sebagaimana yang dijelaskan oleh Najasyi, terdapat dua orang yang tidak diketahui secara pasti kondisinya, yaitu Dawud bin Kurah Qoummi dan Ali bin Musa Kamidzani.
B. Telaah Seputar Matan Riwayat dalam Kitab al-Kafi
Penggunaan neraca taslim dan ridha' -yakni menerima sebagaimana adanya- menjadikan kitab al-Kafi hanya sekedar memuat riwayat-riwayat yang sesuai dengan pandangan fikih dan akidah Kulaini, merupakan salah satu poin positif bagi kitab al-Kafi sekaligus merupakan sebagian dari filosofi kemunculannya. Namun pada saat yang sama, pada gilirannya hal ini dapat menjadi sasaran kritik. Pasalnya, menurut pandangan para pakar hadis yang hidup pasca Kulaini yang dalam sebagian hukum dan fatwanya tidak sependapat dengannya, mereka lebih memilih riwayat-riwayat yang bertentangan dengan riwayat-riwayat al-Kafi. Contohnya dalam kitab Tahdzib dan al-Istibshar, setelah menyebutkan beberapa hadis 'adadiyyah, syekh Thusi memberikan pendapat yang jelas bertentangan dengan pendapat Kulaini. Dengan mengkritisi matan dan sanad dalam riwayat-riwayat al-Kafi, Thusi justru memilih riwayat-riwayat yang bertentangan dengan riwayat-riwayat al-Kafi dan mengeluarkan fatwa berdasarkan itu. Akan tetapi, sebagian ulama mazhab Syi'ah berusaha -dengan mempertimbangkan apa yang diungkapkan oleh Kulaini dalam sekapur sirih kitabnya- untuk menyimpulkan bahwa seluruh riwayat yang terdapat di dalam kitab al-Kafi berkategori sahih. Di lain sisi, sebagian ulama yang juga berlandaskan pada pendahuluan kitab al-Kafi berpendapat bahwa Kulaini sendiri tidak mengatakan bahwa seluruh riwayat yang ada dalam kitab al-Kafi adalah sahih. Karena jika begitu, apa gunanya belau menggunakan tolok ukur "kemasyhuran hadis" atau menjatuhkan pilihan -yang sesuai dengan pendapat fikihnya- pada salah satu dari dua hadis yang bertentangan.
Adapun alasan terkuat mereka yang berpendapat keseluruhan riwayat dalam kitab al-Kafi itu sahih, adalah memerhatikan metode ulama klasik, yang di dalamnya mereka tidak memuat hadis dalam kitab hadis dengan model Jami' (himpunan) sebelum merasa yakin akan kesahihannya. Sehubung dengan alasan ini, mesti dikatakan bahwa kendatipun metode ulama klasik begitu adanya, namun hal tersebut bagi ulama kontemporer yang tidak mengetahui seluruh bukti/indikator (qarinah) yang tersedia pada masa Kulaini, tentu hal tersebut tidak dapat memberikan arti apa-apa; karena menurut pandangan ulama kekinian dalam menentukan kesahihan hadis, memerhatikan sanad lebih utama daripada matan.
Apabila kita abaikan pandangan ulama kontemporer, menurut parameter ulama klasik juga beberapa riwayat al-Kafi tidak dapat diterima karena riwayat-riwayat tersebut bertentangan dengan kandungan al-Qur'an. Dan mengukur riwayat dengan al-Qur'an merupakan suatu metode yang disepakati oleh mazhab Ahlusunah dan Syi'ah.
Pada bagian Ushul al-Kafi, terdapat riwayat-riwayat yang bermuatan ghuluw (berlebih-lebihan sampai melampaui batas-batas yang ditetapkan oleh Agama) menyangkut kedudukan para imam mazhab Syi'ah dan terjadinya distorsi dalam al-Qur'an. Lebih dari itu, di dalam bab Hujjah terdapat riwayat-riwayat yang darinya dapat disimpulkan bahwa para imam Syi'ah berjumlah sebelas orang. Sudah barang tentu riwayat-riwayat seperti ini tidak dapat diterima karena berlawanan dengan prinsip-prinsip akidah dalam mazhab Syi'ah. Para perawi seperti itu mayoritas berasal dari golongan Syi'ah Ghulat dan para pendusta. Karena adanya beberapa riwayat yang daif di dalam kitab al-Kafi. Sementara kritikus -baik dengan tujuan tertentu ataupun karena memang tidak tahu- menyerang habis-habisan pribadi Kulaini dan bahkan menolak seluruh riwayat al-Kafi. Mereka seakan lupa bahwa dalam setiap kitab hadis yang menggunakan model Jami' (himpunan) yang terhimpun di dalamnya hadis-hadis denan predikat sahih, tetap saja ditemukan beberapa riwayat yang daif, dan itu wajar. Realita ini pun telah dikaji dan diakui oleh para peneliti -baik dari mazhab Syi'ah maupun Ahlusunah-. [Lebih lanjut lihat: Majid Ma'arif, Tarikh-e Umumi_ye Hadits, terj. Abdillah Mushthafa, Sejarah Hadis, (Jakarta: Nur Al-Huda), Cet. I, 2012, hal. 462-467].
Disadur dari naskah buku "Prostitusi Syar'i" yang ditulis oleh penulis artikel sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H