Mohon tunggu...
Fahrul Rizal bin Iskandar
Fahrul Rizal bin Iskandar Mohon Tunggu... Administrasi - Peminat Sejarah Kuno

Dilahirkan dan menyelesaikan pendidikan sampai lulus SMA di Banda Aceh, melanjutkan pendidikan S1 Teknik Perminyakan di Yogyakarta kemudian memperoleh kesempatan kembali ke Banda Aceh untuk menyelesaikan S2 Ilmu Ekonomi dengan beasiswa Bappenas. Peminat sejarah peradaban manusia, memiliki perhatian khusus pada sejarah peradaban Islam dan Nusantara.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Ketika Buah-buahan Jadi Senjata Pamungkas Sultan Aceh Perangi Portugis

7 April 2019   18:56 Diperbarui: 9 April 2019   19:13 220
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam sebuah peperangan, ketahanan pangan bagi prajurit adalah penentu kemenangan, dan penjajah Portugis ketika itu tidak pernah menduga taktik yang akan digunakan oleh lawannya yaitu Sultan Ali Munghayatsyah selaku penguasa Aceh. 

Dataran rendah disekitar ibukota kerajaan yang subur ketika itu ternyata banyak yang dibiarkan terbengkalai, sangat sedikit yang ditanami padi sebagai sumber makanan pokok. Sultan lebih memilih untuk "mengimpor" beras dari wilayah bawahannya seperti Lamno dan Nagan Raya.

Raja lebih bergairah mengadakan perlombaan olah raga menggunakan gajah, kerbau, dan sapi, sehingga masyarakat ibukota (Kuta Raja) lebih difokuskan oleh hewan-hewan itu. 

Seni bela diri senjata tajam dan sumpit menjadi keharusan bagi para pemuda kampung disekitar Kuta Raja, setiap pekan pasti diadakan adu tanding diatas kuda ataupun sambil berdiri antar para prajurit Kesultanan. 

Ibarat kekuatan militer di zaman sekarang, begitulah kiranya Sultan Aceh membagi tugas bagi rakyatnya. Apabila rakyat di lokasi yang jauh bertugas menjadi petani yang menyediakan suplai beras secara konsisten bagi Kuta Raja, maka pemuda ibukota berkewajiban menjadi prajurit yang akan mempertahankan negara dari serangan musuh.

Jadi ketika Portugis "dibiarkan" sedikit demi sedikit bergerak memasuki Kuta Raja, pasukan Sultan Ali Munghayatsyah ternyata secara terus menerus berhasil merusak bahan makanan yang menjadi logistik pasukan Portugis tersebut. Prajurit Aceh ketika itu dengan cekatan melakukan penyelinapan di malam hari untuk membakar atau membubuhi racun dalam gentong-gentong minuman tuak yang dibawa oleh pasukan musuhnya. 

Portugis yang berharap pertempuran di lapangan terbuka malah mendapati serangan berkala yang terstruktur ala ninja. Berharap pada hasil rampasan ketika memasuki Kuta Raja, kenyataannya malah gudang-gudang makanan didalamnya kosong atau sudah dirusak sebelum ditinggalkan.

Konon keterlatihan penduduk Kuta Raja itu dipersiapkan memang untuk momen genting seperti ini, yaitu ketika harus bergerak cepat mengungsi ke daerah perbukitan dan hutan-hutan dan membiarkan musuh putus asa dalam kelaparan ketika berhasil "menguasai" Kuta Raja.

Sedangkan prajurit Sultan beserta keluarganya dapat bertahan hidup dalam waktu berbulan-bulan dengan hanya mengandalkan panen buah-buahan dari kebun-kebun yang telah ditanami bertahun-tahun yang lalu. Ternyata buah-buahanlah yang menjadi penentu kemenangan Sultan Aceh atas Portugis ketika itu yang sekaligus menjadi senjata pamungkasnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun