Mohon tunggu...
Fahrul Rizal bin Iskandar
Fahrul Rizal bin Iskandar Mohon Tunggu... Administrasi - Peminat Sejarah Kuno

Dilahirkan dan menyelesaikan pendidikan sampai lulus SMA di Banda Aceh, melanjutkan pendidikan S1 Teknik Perminyakan di Yogyakarta kemudian memperoleh kesempatan kembali ke Banda Aceh untuk menyelesaikan S2 Ilmu Ekonomi dengan beasiswa Bappenas. Peminat sejarah peradaban manusia, memiliki perhatian khusus pada sejarah peradaban Islam dan Nusantara.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Dilema Kebijakan "Fame" 20% alias B20

10 Desember 2018   11:54 Diperbarui: 10 Desember 2018   12:24 414
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Setelah tiga tahun berjalan, kebijakan B20 akhirnya mendapat sorotan KPK sebagaimana pada IG official.kpk1  tertanggal 12 November 2018 terdapat poin dimana merekomendasikan pada Dirjen EBTK untuk merevisi kebijakan implementasi FAME 20%.

Adapun kilas balik kebijakan B20 setidaknya dapat dilihat dari Permen ESDM No. 29 Tahun 2015 tentang Penyediaan dan Pemanfaatan Bahan Bakar Nabati (Biofuel) Jenis Biodiesel dalam Kerangka Pembiayaan oleh Badan Pengelolaan Dana Perkebunan Kelapa Sawit yang kemudian dicabut dan diganti dengan Permen ESDM No. 26 Tahun 2016 tentang hal yang sama. 

Berdasarkan Pasal 18 Permen ESDM 26/2016, badan usaha niaga umum BBM yang tidak melaksanakan pencampuran biodiesel ke dalam solar akan dikenai sanksi administratif, berupa denda hingga pencabutan izin usaha.

Namun demikian di penghujung tahun 2016 kebijakan B20 ini ternyata telah menimbulkan polemik antara Pemerintah dan Industri Otomotif.2 Saat itu diberitakan bahwa  Direktur Pusat Studi Kebijakan Publik (Puskepi), Sofyano Zakaria, sudah mewanti-wanti bahwa penggunaan kebijakan B20 akan berbahaya bagi industri otomotif dan perkapalan. 

Sejalan dengan Direktur Puskepi, masyarakat otomotif pun memberikan catatan khusus pada B20 diantaranya adalah viskositasnya terlalu tinggi, reaktif dengan karet alam, dan dikhawatirkan bersifat korosif karena kandungan asam bahan bakar nabati.3

Anomali harga solar subsidi dengan non subsidi dimana harga subsidi cenderung menjadi lebih mahal dari solar non subsidi yang dituding sebagai akibat kebijakan B20 terjadi dipertengahan atahun 2016.4 Seolah memperkuat gambaran carut-marut kebijakan B20, Tim Litbang Kedeputian Pencegahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) () menemukan indikasi bahwa  tata laksana penetapan kuota (impor -pen) yang tidak transparan, pemenuhan persyaratan FAME 20 perse dan bioethanol 2% tidak efektif dan persoalan pelaksanaan survei oleh surveyor yang ditunjuk Kemendag dengan biaya pelaksanaanya dibebankan kepada badan usaha yang bersangkutan.5

Berdasarkan keterangan Kepala Tim Litbang KPK pada awak media setelah melakukan studi sejak November 2017 - Februari 2018 bahwa celah penyimpangan adalah ketentuan bahwa badan usaha yang akan mengimpor solar memiliki kewajiban untuk melampirkan kontrak FAME 20%, namun Tim ESDM tidak memiliki sumber daya yang cukup untuk melakukan verifikasi aktual kontrak-kontrak FAME yang ada sehingga besar kemungkinan kontrak-kontrak FAME tersebut fiktif dan hanya formalitas untuk mendapatkan kuota impor BBM.7

Akhir yang sangat disayangkan apabila kebijakan B20 yang awal mulanya bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan petani sawit malah menjadi bagian dari coreng-moreng industri BBM Nasional yang memang memiliki sejarah panjang akan carut-marutnya.

Referensi:

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun