Mohon tunggu...
Fahri Rizal
Fahri Rizal Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Money

Ekonomi Islam Dalam Pembahasan Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi

13 Januari 2018   21:58 Diperbarui: 14 Januari 2018   00:50 13003
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Secara Epistemologi

*Selanjutnya, dari sudut pandang epistemologi dapat diketahui bahwa ilmu ekonomi diperoleh melalui pengamatan (empirisme) terhadap gejala sosial masyarakat dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Pengamatan yang dilakukan kemudian digeneralisasi melalui premis-premis khusus untuk mengambil kesimpulan yang bersifat umum. 

Pada tahap ini, ilmu ekonomi menggunakan penalaran yang bersifat kuantitatif . Perubahan dan keajegan yang diamati dalam sistem produksi dan distribusi barang dan jasa kemudian dijadikan sebagai teori-teori umum yang dapat menjawab berbagai masalah ekonomi. Sebagai sebuah contoh dapat dilihat dari teori permintaan (demand) dalam ilmu ekonomi yang berbunyi "apabila permintaan terhadap sebuah barang naik, maka harga barang tersebut secara otomatis akan menjadi naik" . Teori tersebut diperoleh dari pengalaman dan fakta di lapangan yang diteliti secara konsisten oleh para ahli ekonomi. Berdasarkan cara kerja yang demikian, penemuan teori-teori ilmu ekonomi dikelompokkan ke dalam context of discovery .

Berbeda dengan hal itu, fiqh mu'amalat diperoleh melalui penelusuran langsung terhadap Al-Qur'an dan Hadits oleh para fuqaha. Melalui kaedah-kaedah ushuliyah, mereka merumuskan beberapa aturan yang harus dipraktekkan dalam kehidupan ekonomi umat. Rumusan-rumusan tersebut didapatkan dari hasil pemikiran (rasionalisme) melalui logika deduktif. Premis mayor yang disebutkan dalam wahyu selanjutnya dijabarkan melalui premis-premis minor untuk mendapatkan kesimpulan yang baik dan benar. Dengan demikian, fiqh mu'amalat menggunakan penalaran yang bersifat kualitatif .

Salah satu contoh yang dapat dikemukakan dalam kasus ini adalah kaedah ushuliyah yang berbunyi "al-ashlu fi al-asyyai al-ibahah illa dalla dalilu 'ala tahrimihi (asal dari segala sesuatu adalah dibolehkan kecuali dating sebuah dalil yang mengharamkannya). Jika diterapkan dalam ilmu ekonomi, maka seluruh transaksi bisnis pada dasarnya diperbolehkan jika tidak ada nash yang mengharamkannya. Pelarangan terhadap praktek bunga dan riba dalam perbankan konvensional hanya disebabkan adanya beberapa nash yang mengharamkannya (misalnya lihat QS Al-Baqarah:275). Cara kerja seperti ini dalam filsafat ilmu dikenal dengan context of justification .

Munculnya problem epistemologis sebagaimana disebutkan di atas bersumber dari paradigma metodologis yang disusun oleh para ulama mutaqaddimin. Bagi para ulama mutaqaddimin, misalnya, penyelidikan terhadap hukum didasarkan atas prinsip tab'iyyah al-aql li an-naql . Ini berarti bahwa analisis hukum adalah naqli atau analisis teks sesuai dengan anggapan tidak ada hukum di luar teks-teks naqliyah. 

Sementara itu, mereka tidak pernah mengembangkan suatu metode analisis sosial dan historis yang terartikulasi dengan baik, meskipun Al-Ghazali telah membuat suatu paradigma pemaduan wahyu dan ra'yu dengan mengembangkan teori mashlahat dengan dasar logika induksi yang sesungguhnya memberi peluang bagi pengembangan analisis sosial. Dalam prakteknya, Al-Ghazali kemudian Al-Syatibi sebagai dua tokoh mashlahat dalam hukum Islam akhirnya jatuh juga dalam analisis tekstual seperti ulama-ulama lainnya.

Analisis tekstual tersebut berkembang di kalangan ulama fuqaha secara konsisten dengan metodologi deduksi sebagai pilar utamanya. Padahal, prasyarat perkembangan sebuah ilmu pengetahuan adalah dengan menggabungkan metode deduksi dan induksi secara bersamaan. Salah satu kelebihan Imam Syafi'i atas ulama lainnya justru dapat dilihat dari kepiawaiannya untuk menggabungkan antara metode induksi-deduksi dalam fatwa-fatwanya. 

Sebagai contoh dapat disebutkan bahwa Imam Syafi'i memerlukan penelitian lapangan untuk menentukan jangka waktu terpendek dan terpanjang dari masa haid seorang wanita. Beliau kemudian mengembangkannya dengan qiyas terhadap masalah lainnya, seperti kewajiban shalat bagi wanita yang masa haidnya melebihi jangka waktu terlama dari seorang wanita normal . Perpaduan antara penelitian lapangan dengan qiyas yang dilakukan Imam Syafi'i tersebut secara tidak langsung mengantarkannya kepada pemaduan antara metode induksi dan deduksi.

Dalam sejarah perkembangan hukum Islam, metode induksi-deduksi juga dilakukan oleh Imam Syafi'i ketika dia melontarkan ijtihad baru berupa qaul jadid untuk menggantikan qaul qadim-nya . Perubahan fatwa Imam Syafi'i itu lebih didasarkan atas perbedaan lingkungan geografis kota Basrah dan kota Mesir. 

Perbedaan lingkungan geografis itu kemudian disesuaikan dengan kaedah deduktif dalam ilmu ushul fiqh yang berbunyi "taghayyar al-ahkam bi al-taghyar al-azmanah wa al-amkinah. Perbedaan antara ilmu ekonomi dan fiqh mu'amalat dapat ditelurusi lebih dalam dari aspek aksiologisnya. Ilmu ekonomi pada hakikatnya bertujuan untuk membantu manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya . Sedangkan fiqh mu'amalat berfungsi untuk mengatur hukum kontrak ('aqad) baik yang bersifat sosial maupun komersil .

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun