Mohon tunggu...
Fahrizal Muhammad
Fahrizal Muhammad Mohon Tunggu... Dosen - Faculty Member Universitas Prasetiya Mulya

Energi Satu Titik

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Tersesat di Jalan yang Benar

26 Maret 2020   12:22 Diperbarui: 26 Maret 2020   12:30 616
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Padahal, sejumlah pribadi boleh menjadi role model tentang ini. Matshusita, misalnya. Ia telah memberikan contoh tentang pentingnya berfikir jangka panjang. Tidak tanggung-tanggung, ia mencontohkan dengan visi 250 tahun yang diterapkannya di Panasonic, Jepang. Bila di Jepang muncul pribadi seperti Matshusita, maka dapat dikatakan bahwa lingkungan sosial tempat Matshushita tumbuh telah memungkinkan munculnya pola pikir yang demikian. 

Pada gilirannya, ketika ia hidup di masanya, ia punya kans untuk merekonstruksi tata nilai di sekelilingnya. Bukankah itu masuk akal? Nah, apa lagi yang kita tunggu? Let's go!

Ketiga, merasa powerfull dan kreatif bila kepepet. Benarkah terdesak atau kepepet itu sangat positif sehingga menjadi salah satu kondisi yang tidak perlu dihindari apalagi ditakuti? Memang ada benarnya, kondisi itu tidak perlu ditakuti. Bahkan sejumlah pengalaman kita menunjukkan fenomena menarik: semakin kepepet dan terdesak, kita (merasa) semakin pintar dan kreatif. Benarkah demikian?

Sejatinya, kepepet adalah satu kondisi ketika kita tidak lagi punya waktu cukup untuk sejumlah pekerjaan yang mesti terselesaikan. Bahasa Indonesianya terpepet, terimpit, terjepit, terdesak, atau berada dalam keadaan kacau atau sukar. Kondisi itu lazim kita alami ketika misalnya, malam sudah sangat larut tapi kita harus menyelesaikan take home test karena besok pagi ditunggu dosen; 

Ketika menghadapi test, kita masih harus menyelesaikan sejumlah soal pilihan ganda padahal waktu hanya tinggal beberapa menit lagi (hitung kancing, deh). Oleh karena itu, tidak aneh bila SKS yang semestinya Sistem Kredit Semester diplesetkan menjadi Sistem Kebut Semalam.  Nah, pengalaman tidak baik itu pada titiknya dipercaya sebagai salah satu pengalaman menarik yang layak tiru. Padahal, kita sedang berada dalam "bahaya". 

Pernahkah Anda merasa kepepet? Betulkah ketika kepepet kita menjadi sangat cerdas? Ketika kepepet, kita sering mengira kalau hasil kerja kita pada satu hal itulah yang terbaik, tetapi belum tentu. Kita menganggapnya seperti itu karena memang tidak ada waktu lagi untuk berfikir. Tidak sedikit yang berkilah,"Lho, Mas, itu kan namanya the power of kepepet!" 

The Power of Kepepet (2008) adalah sebuah buku yang ditulis Jaya Setiabudi. Isi buku itu tidak mengajarkan kita untuk mencintai situasi kepepet seperti yang kita bicarakan ini. Buku itu mengabarkan kepada kita sejumlah hal yang perlu diperhatikan untuk menjadi seorang entrepreneur, di antaranya adalah menciptakan kondisi kepepet. Kepepet dalam konteks ini menurut hemat saya adalah bahasa lain dari kondisi kritis dalam formulasi krilangkun-nya Yohanes Surya. 

Menempatkan diri pada kondisi kepepet atau kritis adalah dengan menentukan sasaran yang jelas. Sasaran itu haruslah dibuat setinggi-tingginya dan waktu capai yang cukup. Misalnya, seorang pemuda yang ingin memiliki lembaga bimbingan belajar terkemuka di provinsinya dalam 5 tahun mendatang. Pemuda tersebut telah berani menempatkan dirinya pada kondisi kepepet. Kondisi itulah yang akan menyebabkan semesta bereaksi. Semesta akan mengatur diri untuk membantu agar kondisi kritis tersebut dapat terlewati dengan baik.

Jadi, hidup "gimana besok aja", bukanlah gaya hidup sehat dan modern. Itu gaya hidup yang semestinya sudah jadi bagian dari zaman jahiliyah yang harus ditinggalkan demi kehidupan yang lebih baik. Bukankah hidup yang tidak bergaransi dan tak mungkin kembali ini harus berarti, Sahabatku? Wa Allah A'lam bish-shawab.

Depok, 26 Maret 2020

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun