Mohon tunggu...
Fahrizal Muhammad
Fahrizal Muhammad Mohon Tunggu... Dosen - Faculty Member Universitas Prasetiya Mulya

Energi Satu Titik

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Tersesat di Jalan yang Benar

26 Maret 2020   12:22 Diperbarui: 26 Maret 2020   12:30 616
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
dokumen pribadi fahrizal muhammad

Mengapa fenomena tersebut nampaknya meluas di masyarakat kita? Setidaknya ada sejumlah hipotesis tentang itu. Pertama, merasa aman dan nyaman dalam alam yang meninabobokan. Kita hidup di sepanjang garis khatulistiwa. Di wilayah ini matahari bersinar sepanjang tahun, sehingga sumber daya alam sebagai sarana hidup menjadi sangat bersahabat.

Namun, sejumlah fakta menunjukkan bahwa umumnya manusia yang hidup di negara-negara dengan empat musim memiliki etos kerja yang tinggi, sedangkan yang hidup di negara-negara tropis cenderung sedang dan rendah. Harold M. Proshansky, William H. Ittelson, dan Leanne G. Rivlin mencoba mencari ada tidaknya pengaruh perubahan iklim di negara-negara sub-tropis terhadap etos kerja masyarakatnya. 

Dalam Environmental Psychology: Man and His Physical Setting (1970) mereka memaparkan, masyarakat di negara-negara sub-tropis  memiliki etos kerja yang tinggi. Hal itu karena keadaan alam yang sangat keras. Dalam dunia pertanian misalnya, mereka yang tinggal di daerah berempat musim harus berusaha mengumpulkan makanan sebanyak mungkin untuk menghadapi musim dingin. Tradisi inilah yang dipercaya sebagai akar dari etos kerja yang tinggi dalam masyarakat sub-tropis tersebut. Masyarakat Jepang, misalnya, memiliki etos kerja yang lebih tinggi dibandingkan masyarakat Indonesia yang berada di daerah tropis.

Bolehlah hipotesis dan kesimpulan di atas memberikan gambaran kepada kita tentang etos kerja masyarakat di negara sub-tropis yang lebih baik daripada etos kerja masyarakat tropis. Tetapi fakta lain memberikan informasi berbeda: sejumlah negara non sub-tropis pun pada titiknya dapat menjadi negara dengan etos kerja yang baik. 

Singapura, misalnya. Artinya, ada titik ketika faktor iklim tidak lagi menjadi penentu tinggi rendahnya etos kerja suatu masyarakat. Ada faktor lain yang dapat bermain di sini, setidaknya faktor mind set tentang fitrah penciptaan dan hubungannya dengan kerja itu sendiri.

Kedua, belum (baca: tidak) mau berpikir jangka panjang. Fenomena "ingin cepat", main trabas, dan serba instant menjadi sejumlah indikasi kondisi ini. Sejumlah pelanggaran hukum, norma, dan tata nilai terjadi ketika penyakit "ingin cepat" ini terjadi. Sejumlah aktivitas konyol dan tidak masuk akal dipaksa normal dalam benak dan pandangan kita. 

Pola pikir itulah yang pada akhirnya akan melahirkan sikap dan perilaku berpola. Ketika ini dianggap wajar, maka orang tidak lagi membedakan mana benar mana salah. Absurd. Pada gilirannya, dengan cara ini pulalah begitu banyak orang menjadikan cara "ingin cepat", main trabas, dan serba instant sebagai solusi dalam permasalahan hidup mereka.

Di zaman ini, orang tidak lagi tertarik dengan kata-kata bijak, seperti "mari kita tunda kesenangan untuk kebahagiaan yang hakiki". Orang tidak lagi percaya dengan "berakit-rakit ke hulu berenang-renang ketepian, bersakit-sakit dahulu bersenang-senang kemudian". Orang akhirnya lebih senang berprinsip, kalau bisa cepat mengapa harus lama, kalau ada yang mudah mengapa cari yang susah, atau kalau bisa dapat banyak mengapa mesti bangga hanya dengan dapat sedikit. 

Apalagi, sanksi di tengah masyarakat permisif sekarang ini tidak memberikan efek jera sedikit pun. Predikat tersangka, terdakwa, atau bahkan vonis penjara sekali pun tidak sempat membuat gentar dan malu orang. Rasa malu telah menjadi omong kosong. Bahkan semua itu nyaris dianggap sebagai konsekuensi logis dari upaya meraih "sukses".  Bahayanya adalah ketika pada titiknya orang menganggap semua itu biasa, maka kaburlah batas antara salah dan benar, suci dan kotor, jujur dan dusta, halal dan haram. Naudzubillah min dzalik.

Pada mulanya muncul dan berkembang pada orang perorang. Tetapi ketika sudah memenuhi kepala dan menjadi a set of value semakin banyak orang, maka tata nilai itu menjadi pola bertingkah laku. Kita "belajar" menyesuaikan tingkah laku kita dengan tata nilai yang "dianggap benar" itu. Celakanya, bila "yang dianggap benar" itu adalah hasil modifikasi dari sejumlah aspek yang kurang baik, maka tanpa kita sadari, kita sedang mendukung sebuah konstruksi tata nilai yang salah. 

Nah, bila organisasi dan negara dipenuhi orang-orang yang demikian dan tidak ada gerakan serius untuk melawan gelombang dahsyat itu bahkan diam-diam mengamini dan merasa menjadi bagian dari fenomena tersebut, maka sangat mungkin kondisi tersebut dipraktikkan secara masif sebagai way of life bangsa atau organisasi tersebut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun