Mohon tunggu...
Fahmi Alfaqih
Fahmi Alfaqih Mohon Tunggu... Mahasiswa Informatika Universitas Muhammadiyah Malang

Halo, saya baru saja bergabung dan ingin belajar untuk lebih baik dalam pemberian informasi berupa artikel, mohon saran dan dukungannya✌🏻

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Krisis Kepercayaan Digital: Analisis Etik Kasus Kebocoran Data Pribadi di Indonesia

12 Oktober 2025   14:30 Diperbarui: 12 Oktober 2025   14:31 18
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Di era ekonomi digital saat ini, data pribadi sering disebut sebagai "mata uang baru". Namun, serangkaian insiden kebocoran data berskala besar di Indonesia melibatkan data KPU, BPJS, hingga registrasi kartu SIM. Informasi ini menunjukkan bahwa kita sedang menghadapi krisis dalam pengelolaan aset berharga ini. Masalah ini bukan sekadar kegagalan teknologi, melainkan cerminan dari lemahnya etika profesi dalam tata kelola data. Ketika data yang seharusnya dijaga justru bocor dan diperjualbelikan, kepercayaan publik sebagai pilar utama transformasi digital runtuh. Esai ini bertujuan untuk menganalisis secara kritis permasalahan ini dari perspektif etika, dampaknya yang meluas, serta tanggung jawab dan solusi yang harus diimplementasikan.

Masalah utama dari pelanggaran privasi di Indonesia adalah kegagalan sistemik oleh lembaga publik maupun swasta dalam melindungi data pribadi yang mereka kumpulkan. Skalanya sangat masif, kita berbicara tentang jutaan data kependudukan, riwayat kesehatan, hingga nomor telepon yang terekspos ke publik. Penyebab utamanya adalah budaya organisasi yang sering kali memprioritaskan pengumpulan data sebanyak-banyaknya tanpa diimbangi dengan investasi yang sepadan pada infrastruktur keamanan. Faktor lain termasuk database yang tidak terenkripsi, manajemen hak akses yang buruk, dan kurangnya akuntabilitas ketika terjadi insiden kebocoran. Dampak dari kebocoran data ini dirasakan langsung oleh masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. Jutaan warga menjadi target empuk untuk berbagai modus penipuan online, mulai dari phishing hingga pengajuan pinjaman online ilegal yang menggunakan data curian. Lebih dari itu, ada dampak psikologis berupa rasa cemas dan tidak aman karena informasi pribadi yang paling sensitif sekalipun bisa diakses oleh siapa saja. Dalam konteks yang lebih luas, krisis ini mengancam keamanan nasional dan menghambat adopsi layanan digital karena masyarakat menjadi ragu dan takut untuk menyerahkan data mereka.

Setiap profesional yang terlibat dalam siklus hidup data seperti developer, database administrator, hingga analis data yang memegang tanggung jawab etis yang fundamental. Prinsip etis utama adalah memperlakukan data pribadi sebagai titipan yang harus dijaga kerahasiaannya. Ini mencakup penerapan prinsip data minimization (hanya mengumpulkan data yang benar-benar perlu), purpose limitation (tidak menggunakan data di luar tujuan yang disetujui), dan transparansi kepada pemilik data. Gagal memenuhi standar ini bukan hanya kelalaian, tetapi pengkhianatan terhadap kepercayaan yang diberikan oleh publik.

Untuk mengatasi masalah kronis ini, diperlukan pendekatan berlapis, yaitu (a) pada level regulasi, penegakan UU Perlindungan Data Pribadi (PDP) harus dilakukan tanpa kompromi, dengan denda yang sangat besar agar memberikan efek jera, (b) lalu pada level teknis, organisasi harus diwajibkan menerapkan standar keamanan seperti enkripsi data dan audit keamanan secara berkala oleh pihak independen. Prinsip Privacy by Design harus menjadi standar dalam setiap pengembangan sistem, dan terakhir (c) dari sisi sosial, perlu ada gerakan literasi digital yang masif untuk mengedukasi masyarakat mengenai hak-hak mereka atas data pribadi dan cara melindunginya.

Saya pernah menerima chat bahkan telepon dari nomor whatsapp yang tak dikenal yang mengetahui nama lengkap dan beberapa detail pribadi saya untuk menawarkan produk bahkan memberikan berita palsu. Pengalaman tersebut sangat mengganggu dan membuat saya bertanya-tanya, dari mana data saya bocor? Kejadian ini memperkuat opini saya bahwa menyalahkan korban (victim blaming) dalam kasus kebocoran data adalah hal yang tidak adil. Tanggung jawab terbesar berada di pundak institusi yang mengumpulkan data kita. Sebagai individu, kita memang perlu waspada, namun sebagai masyarakat, kita harus lebih vokal dalam menuntut akuntabilitas dan transparansi dari setiap lembaga yang memegang data kita.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun