Mohon tunggu...
Fahmi Ramadhan Firdaus
Fahmi Ramadhan Firdaus Mohon Tunggu... -

Constitutional Law Enthusiast

Selanjutnya

Tutup

Politik

Politik Berkuasa di Negara Hukum

12 Februari 2017   14:37 Diperbarui: 12 Februari 2017   14:42 1565
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto : tataruangpertahanan.com

Mojokerto – Di negara demokrasi modern, politik dan hukum ibarat 2 kaki yang berjalan bersama sehingga satu sama lain harus padu tanpa ada salah satu yang timpang oleh karena itu kaitannya sangat erat.  

Sayangnya, hukum di Indonesia masih kental dengan nuansa intervensi politik sehingga menimbulkan pertanyaan di kalangan masyarakat, apakah Indonesia sebagai negara hukum atau politik. Kalau ditanya kuat mana? Idealnya hukum harus lebih kuat dari politik, Konstitusi juga mengatakan demikian. Politik harus tunduk pada hukum. Kalau politik tidak tunduk maka negara akan gaduh. Yah seperti keadaan sekarang, mau tak mau diakui atau tidak penguasa memainkan peran politik yang kuat untuk melemahkan hukum.

Faktanya di lapangan saat ini justru sebaliknya, hukum yang malah tunduk pada politik. Karena, saat dibuat hukum itu merupakan konsensus politik. Dalam Disertasi Prof Mahfud MD “Politik Hukum di Indonesia”, tidak ada hukum berlaku sendirian tanpa diberlakukan oleh politik. Kalau politik baik maka niscaya hukum baik dan kalau politiknya tidak baik maka hukumnya juga tidak akan pernah baik. Karena hukum merupakan produk politik.

Bila politik lebih tinggi kedudukannya dari hukum maka sangat berbahaya. Karenanya, ada pandangan agar politik dan hukum saling bergantung, interpendensi atau sepadan. Namun, harapan agar hukum menjadi lebih kuat dari politik, hanya angan belaka. Kasus Pembangunan Pabrik PT Semen Indonesia di Rembang dan Reklamasi Teluk Jakarta adalah contoh nyatanya.

Kasus di Rembang, perjuangan masyarakat untuk menegakan Putusan Peninjauan Kembali Mahkamah Agung (MA) pada 5 Oktober 2016 (No Register 99 PK/TUN/2016), dihadapkan dengan cara-cara tak manusiawi disertai kekerasan yang diduga dilakukan oleh pendukung tambang (pasti dibayar). Aksi kriminal dilakukan dengan merusak tenda posko perjuangan masyarakat penolak tambang semen dan pembakaran mushola.

Peristiwa ini mestinya tidak terjadi jika Ganjar Pranowo selaku Gubernur Jawa Tengah, menjalankan putusan MA tersebut dalam bentuk mencabut ijin tambang, bukan malah addendum. Padahal tuntutan warga sebagai penggugat adalah mencabut izin, dan hal tersebut telah dikabulkan seluruhnya oleh MA.

Lebih rumit lagi kasus Reklamasi Teluk Jakarta, proyek “Grand Corruption” yang melibatkan beberapa anggota DPRD dan Pemprov DKI Jakarta dirasa sarat kepentingan politik. Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta mengabulkan gugatan nelayan atas Surat Keputusan (SK) Gubernur DKI Nomor 2.238 Tahun 2014 tentang Pemberian Izin reklamasi Pulau G di Teluk Jakarta kepada PT Muara Wisesa Samudra. Serupa dengan masalah di Rembang, Pemprov tak menaati putusan PTUN dan tetap melanjutkan proyek reklamasi.

Selain karena proyek ini saling bertabrakan aturan hukumnya dan tidak ada kepastian juga tidak ada kejelasan soal AMDAL. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) sendiri sudah menerapkan moratorium terhadap proyek reklamasi pada pertengahan Mei lalu. Hal itu dikarenakan adanya persoalan pada perizinan AMDAL.

Satu suara dengan KLHK. Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti menolak proyek Reklamasi Teluk Jakarta karena merugikan kepentingan masyarakat luas terutama nelayan disekitarnya. Padahal sesuai dengan prinsip good governance, dalam membuat kebijakan perlu memperhatikan kepentingan rakyat, swasta, dan negara serta harus meninjau dari segi ekonomi, sosial, budaya dan hukum. Tidak bisa hanya menitikberatkan pada satu kepentingan golongan atau individu saja.

Dua kasus diatas, adalah contoh bagaimana politik dominan dan mengacuhkan hukum. Putusan Pengadilan hanya dianggap sebagai berkas tak berarti.  Jika putusan pengadilan sebagai wujud keadilan tak dijalankan, lalu dimanakah rakyat akan mencari keadilan?

Saat ini politik berkuasa diatas hukum sehingga hukum menjadi tidak berjalan semestinya. Kuncinya semua ini terletak pada good will individunnya. Kalau supremasi hukum benar-benar ditegakan maka lebih dari separuh persoalan bangsa ini akan selesai.

*) Fahmi Ramadhan Firdaus
 Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Jember

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun