Mohon tunggu...
Fahlan Fachrurozi
Fahlan Fachrurozi Mohon Tunggu... -

Mahasiswa Komunikasi, Stikom Bandung

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Garis Batas

2 Januari 2015   06:33 Diperbarui: 17 Juni 2015   13:59 69
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

“Hayu Jaw, cari makan yu” ajakku pada Aris, yang biasa dipanggil Jawa karena asal nenek moyangnya di Cilacap. Beberapa menit berlalu, akhirnya Jawa tergerak juga perutnya.

Honda Vario jadi saksi bisu. Menembus malam semu. 20:00. Niat utamaku sebenarnya bukan cari makan perut, tapi cari makan otak, cari makan imajinasi, fantasi. “Mau kemana ini Lan?” tanya Jawa. Kita ke Togamas dulu. “Eh, eta dimana? Urang teu pake helm, polisi!”. Esensi helm sebenarnya untuk menyelamatkan batok kepala dari benturan, bukan dari polisi yang lapar. Deket kok, lurusan ini saja. Jawa tenang.

Garis Batas, buku karya Agustinus Wibowo menjadi pemicu kelaparanku akan imajinasi petualangan melewati negeri berakhir “Stan”! Tajikistan, Kirgizstan, Kazakhstan, Uzbekistan, Turkmenistan. Siapa peduli negeri itu? Negeri yang mungkin baru kita cium namanya.

Kupegang buku setebal 510 halaman, melihat bagian belakang, dan aku dikagetkan dengan tulisan mungil dengan jenis font serif (ujungnya berkail, seperti Times New Roman). Rp. 90.000. Ini bisa buat makan tiga sampai empat hari. Tapi kemunduran terjadi ketika manusia hanya memikirkan perut. Lama aku menimang buku tebal itu, Jawa terlihat kagum melihat buku baru berjudul “Persib”, dia adalah Bobotoh dari Cilacap, dia saksi hidup kemenangan Persib versus Persipura di Palembang. Selang beberapa detik DP Bbm-nya ganti jadi cover buku itu.

Aku disini, masih berjibaku dengan harga, diskon 15%, aku coba hitung 90.000 dikali 15 dibagi 100 hasilnya 9.300. 90.000 dikurangi 9.300 – 80.700, hanya ini kemampuan matematika yang masih menerap. Aku membayangkan, aku hanya perlu membayar 80.700, jauh lebih murah dibandingkan Agustinus yang harus membayar dengan nyawa melewati garis-garis konflik dunia. Belum lagi membayar kemampuannya berbahasa Tajik yang diperolehnya dari Afghanistan, ditambah secuil Uzbek, Kizgis dan Rusia.

Negara-negara yang berakhiran Stan itu adalah pecahan negara Uni Soviet. Dulu Uni Soviet adalah negeri paling luas wilayahnya, mencakup 15% luas daratan di bumi, dan itu HANYA dimiliki oleh satu negara. Uni Soviet. Tapi sekarang, cerita ini hanya jadi kebanggan mereka saja. Uni Soviet kini ambruk.


Tinggal sekejap saja Togamas mengakhiri penghasilannya untuk hari ini. Dengan menghembuskan nafas panjang, aku berkata “oke, aku beli ini!”. Dan belakangan baru aku sadari, aku salah membeli buku. Harusnya aku koleksi buku Selimut Debu dulu, buku kedua dari triloginya Agustinus yang bercerita tentang Afganistan. Buku pertama adalah Titik Nol, yang sudah kupunya, dan yang kubeli ini adalah Garis Batas, seri ketiga, seri terakhir. Aku melewatkan satu cerita. Oh, ayolah. Tapi tak apalah. Yang penting Agustinus Wibowo. Fotografer sekaligus penulis sekaligus jurnalis!

Pergulatanku saat membeli buku memang selalu ada cerita, kadang aku membutuhkan waktu riset dua hari untuk benar-benar membeli, membaca beberapa bab ditempat, membandingkan dengan buku lain yang serupa. Membandingkan berapa banyak “endorsment” (orang-orang hebat yang merekomendasikan kita untuk baca buku itu, terletak di belakang cover atau di awal halaman), mencari tahu siapa penulisnya, karirnya, hidupnya, sekolahya bahkan tempat kerjanya. Informasi detail itulah yang mempengaruhi rasa dari kelezatan sebuah buku. Kadang sudah diujung kepastian, tapi tak jadi karena keraguan. Tak pernah ada yang sekejap mata. Karena aku ingin buku itu bukan menjadi hiasan kamar, tapi hiasan pengetahuan, memang bukan ilmu-ilmu pasti seperti MTK, Fisika, Kimia, atau Biologi. Tapi jauh lebih dalam dari itu. Aku bisa nulis selancar ini, ya karena buku-buku yang kubaca.

Kau tahu kawan? Di Afghanistan sana, kata Agustinus, “memandang wajah perempuan adalah kekurangajaran tak terperi. Siapa yang melanggar patut dilaknat” di halaman 11. Laki-laki bicara dengan perempuan bukan muhrimnya saja dianggap perbuatan tercela! Garis batas itu benar-benar tebal. “Apalagi sampai berhubungan, menjalin asmara, atau berzina. Jangankan hal-hal intim seperti itu, menyebut nama perempuan saja sudah dianggap menginjak martabat” lanjutnya. Bandingkan dengan budaya kita, anak remaja generasi internet dengan mudah memutuskan bahwa ia sudah tunangan atau bahkan menikah dengan lelaki bocah antah berantah, di facebook. Ngeri!

Didepannya, saat itu, ada sungai terpasang rapih membatasi negeri-negeri berakhiran Stan. Sungai sepanjang 2.500 kilometer itu bernama Amu Darya.

Amu Darya memisahkan kemodernan, di satu sisi ada negeri yang bahkan tak mengenal apa itu listrik, di sisi lain terdapat untaian kabel panjang dengan tiang terbuat dari kayu, serta jalan aspal yang dilewati mobil, was-wis-wus.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun