Mohon tunggu...
Fafa Ferdowsi
Fafa Ferdowsi Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Penulis lepas dan mahasiswa jurusan Ilmu Sejarah. Penyuka kegiatan avonturier, fotografi, dan literasi. Konsen di bidang sejarah seni, budaya, dan travelling. Admin dan kontributor di sejarawanmuda.wordpress.com. Komunikasi dapat melalui email: fafa.firdausi@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Wisanggeni, Kabinet Kadewatan, dan Indonesia

8 Juni 2012   13:42 Diperbarui: 25 Juni 2015   04:14 984
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13391619421661377511

Dalam jagad pewayangan, kita mengenal seorang tokoh pemuda yang sangat terkenal, putra penengah Pandawa, Bambang Wisanggeni. Profilnya kecil, ramping, berkulit merah, dan laiknya tokoh bambangan (pemuda dari pertapaan) pakaian dan atributnya sederhana. Tapi jangan salah, perannya lumayan besar dalam konstelasi politik di dua negeri wayang, Astina dan Amarta. Wisanggeni ini, tidaklah kalah jika dibandingkan dengan pemuda-pemudi Indonesia yang turut berjuang dalam peristiwa Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928. Apa pasal? Baiknya penulis ceritakan dulu sekelumit kisah hidup Wisanggeni berikut ini.

Ia lahir dari benih cinta Arjuna dan Dewi Dresnala. Wisanggeni adalah cucu Dewa Brama, dewanya api. Saat ia lahir, Dewa Brama justru kurang berkenan karena yang dia ingini adalah seorang cucu berdarah dewa murni, bukan manusia setengah dewa. Sejak awal Dewa Brama sebenarnya ingin putrinya diperistri oleh seorang dewa, bukan oleh manusia seperti Arjuna. Kebetulan sekali Dewi Durga punya seorang anak manja bernama Dewa Srani. Dewa Brama yang berhasil ‘digombali’ Dewi Durga, bermaksud memisahkan Arjuna dan Dresnala. Bahkan, Dewa Brama tega membuang bayi Wisanggeni ke kawah Candradimuka. Namun, Wisanggeni diselamatkan oleh Prabu Bethara Kresna dan Begawan Semar.

Jadilah, Bambang Wisanggeni sebagai pemuda yang dianugrahi keistimewaan layaknya seorang dewa. Ia berkulit merah dan memiliki semacam serban yang bisa membuatnya terbang. Keistimewaan lain, bisa membaca masa depan atau bahasa kerennya punya indra keenam. Ia bertekad untuk mencari jati dirinya. Oleh Begawan Semar, Wisanggeni dinasehati suapaya bertanya kepada para dewa di Kahyangan perihal asal-usulnya.

Ia mematuhi nasehat Semar dan pergi ke Kahyangan Suralaya. Setelah blusak-blusuk Suralaya, keluar-masuk sidang kadewatan, tanya sana-sini, ternyata ndak ada dewa yang ngasih tahu. Karena kelelahan Wisanggeni nongkrong dulu di warteg Kahyangan, ngopi sambil menghisap kretek klobot, ikut jagongan dengan beberapa office boy Suralaya. Beberapa dari mereka mengeluhkan toilet Suralaya yang kelewat mewah dan luas sehingga membuat capek membersihkannya. “Gempor, Cuk! Toilet saja bangunnya habis duit 4 milyar. Luasnya naudzubillah, bikin encok kumat!”

Wisanggeni ingat nasehat Semar supaya langsung ke kantornya Bethara Guru kalau dewa-dewa ndak ada yang ngasih tahu. “Mas, gedungnya Bethara Guru yang mana ya?” Wisanggeni bertanya kepada pemilik warteg. “Itu lho, Mas, yang paling gedhe bangunannya.” Akhirnya langsung saja Wisanggeni menuju gedung kadewatan Bethara Guru. Pokoknya kalau sampai dewa yang satu ini tidak memberi konfirmasi juga, berarti tak ada gunanya Suralaya ini dibangun. Obrak-abrik saja.

Singkat lakon ternyata Bethara Guru, presidennya dewa ini, juga diam seribu bahasa. Wisanggeni yang merasa dipermainkan akhirnya putus kesabarannya. Suralaya geger. Bersama para OB Suralaya yang juga kesal karena gajinya selama enam bulan belum dibayar Wisanggeni menjebol pagar Suralaya dan ngamuk-ngamuk. Para dewa kewalahan karena ternyata kesaktian Wisanggeni melebihi dewa manapun. Bahkan Bethara Guru pun ngibrit. Lari lewat pintu belakang, turun ke bumi menemui kakaknya, Semar.

Di curhati adiknya Semar hanya tertawa. “Mampus!” katanya penuh kesinisan. Tiba-tiba datang Wisanggeni yang siap menggebuk Bethara Guru. Begawan Semar, sang guru bangsa wayang, akhirnya turun tangan dan menenangkan amarah muridnya itu. Keduanya di dudukkan dan dinasehati. Semua kejadian ini menurut Semar adalah akibat dari arogansi para dewa yang menutup telinga terhadap rakyat pewayangan. Bethara Guru dan Kabinet Kadewatan telah berbuat tidak amanah terhadap jabatan dan tidak mau menegakkan hukum. Dewa Srani dan Dewi Durga berbuat seenak udelnya sendiri dengan mengobok-obok aturan kadewatan untuk kepentingan pribadi. Juga Dewa Brama yang berbuat keji melanggar HAW (Hak Asasi Wayang). Juga para dewa-dewa lainnya yang mengetahui insiden ini tapi diam saja, cari aman sendiri.

Merasa berkuasa bukan lantas menjadikan dewa itu sombong dan mengatur manusia seenak hatinya sendiri. Dan sebagai dewanya dewa mestinya Bethara Guru tak hanya diam saja seperti itu. Akhirnya Bethara Guru meminta maaf dan mengklarifikasi siapa sejatinya Wisanggeni yang sebenarnya. Termasuk juga bertanggungjawab atas insiden yang menimpa Wisanggeni dan keluarganya. Juga mau (mungkin dengan berat hati) menegakkan sangsi hukum bagi dewa-dewa yang ikut skandal tersebut.

Cerita si Wisanggeni ini terjadi di jagad pewayangan nun jauh di mana, tapi sebenarnya lekat dengan keseharian kita di negeri gemah ripah loh jinawi, Indonesia. Lakon tersebut saya kira sangat pantas untuk menggambarkan keadaan Indonesia akhir-akhir ini. Ibarat Bhatara Guru dan kabinet kadewatan-nya, itulah sketsa pemerintah kita. Mungkin lebih tepatnya para politikus kita, juga bapak-bapak dan ibu-ibu (yang katanya) wakil rakyat. Politisi sekarang memang beda dengan jaman dulu. Kalau kita tengok ke belakang, ke zamannya uwak Ollanda (Belanda), i’tikatnya jelas membela kedaulatan dan kehidupan rakyat yang tertindas kolonialisme. Kalau sekarang ini, Ya Allah Ingkang Murbeng Dumadi semoga saya salah, politisi itu sudah bukan lagi pejuang, tapi penguasa. Kalau sudah jadi penguasa ya begitulah jadinya, seperti yang ditayangkan di televisi-televisi. Saya yakin pembaca mafhum maksud saya.

Gusti Allah Azza wa Jalla, telah lebih dari 14 abad yang lampau berpesan kepada para generasi politikus modern. Begini bunyi pesan-Nya: “Tu’thil mulka man tasyaa wa tanzi’ul mulka min man tasyaa, wa tu’izzu man tasyaa wa tudzillu man tasyaa, biyadikal khoir.” Allah memberi kekuasaan kepada siapa pun yang Ia kehendaki, dan Ia mencabut kekuasaan yang Ia berikan itu dari siapa pun yang Ia kehendaki, memenangkan dan mengalahkan orang yang Ia kehendaki, dan ditangan-Nyalah segala hal yang baik. Bacalah surah Ali Imron ayat 26.

Wisanggeni adalah jiwa rakyat. Ia adalah representasi wong cilik yang diacuhkan oleh penguasa, bahkan tercerabut haknya sebagai wayang karena ulah penguasa. Wisanggeni adalah juga representasi dari pemuda kritis yang gelisah. Karena kegelisahannya itu ai-nya jadi proaktif, visioner, dan taktis. Ia sadar bahwa ada sesuatu yang harus ia perjuangkan. Ada sesuatu yang harus ia bersihkan. Ada sesuatu yang harus diluruskan. Namun terkadang, sikap mental yang baik ini terlalu besar menggelora sampai-samapai ia sendiri susah membendungnya. Jadinya pragmatis, grusa-grusu kalau kata orang Jawa, kurang pertimbangan. Salah-salah bisa saja terjerumus dalam nafsu. Jadinya berjuang bukan karena ada yang harus diperjuangkan, tapi jadi hanya karena benci.

Karena itulah pemuda mesti berguru, mesti belajar me-manage potensi dan modalnya itu. Ya percuma saja kritis, proaktif, kontributif atau apalah tif-tif yang lain kalau jadinya membuat rusuh. Ada ‘pagar-pagar’ yang membedakan kita dengan orang barbar, itulah intelektualitas. Gus Mus pernah dawuh begini dalam sebuah tulisannya, amar ma’ruf nahi munkar sejatinya harus mengedepankan ke-ma’ruf-an dan menghindari ke-munkar-an.

Orang Jawa jauh sebelum kenal kosa kata ‘intelektualitas’ punya kearifan sendiri dalam laku protesnya kepada penguasa. Tapa pepe istilahnya. Segolongan rakyat yang merasa hak-haknya dikebiri berkumpul di alun-alun dan menjemur diri atau pepe. Tidak akan beranjak sejengkal pun dari pepe-nya kalau sang penguasa belum menoleh kepada mereka. Inilah ‘pagar’ yang diinsafi oleh sesepuh-sesepuh kita. Protes, dan bahkan kemuakan kepada penguasa sekalipun, tidaklah mesti diartikulasikan dengan ‘amuk’. Protes tersampaikan dengan tetap menjaga keselarasan. Subhanalloh.

Lagi-lagi Gusti Allah telah mewanti-wanti kepada kita semua, juga sajak jauh-jauh hari: “Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kalian penegak-penegak kebenaran karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-sekali kebencian kalian terhadap suatu kaum mendorong kalian untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, adil itu lebih dekat kepada taqwa dan bertaqwalah kepada Allah. Sungguh Allah Mahamengetahui apa yang kalian kerjakan. Bacalah surah Al-Maidah ayat 9.

Semoga bermanfaat!

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun