Oleh: Fadly Bahari La Patikala
------------
Kita sering mendengar istilah "revitalisasi" atau "pelestarian budaya." Memang, itu adalah upaya yang mulia. Namun terlalu sering, kedua gagasan itu terasa seperti sekadar menata ulang peninggalan di dalam museum --- rapi, utuh, tapi tak bernyawa.
Dan memang, jika kita tidak hati-hati dalam mengelola cara pandang terhadap masa lalu --- terhadap tradisi dan budaya --- kita, generasi kini, bisa terjebak dalam posisi pasif: bukan sebagai pelaku atau pencipta, melainkan hanya sebagai pewaris yang menonton, atau penikmat yang mengagumi dari kejauhan.
Lalu, bagaimana jika kita tidak sekadar menata ulang masa lalu,
melainkan melanjutkan kisahnya --- seperti menulis bab baru dalam epos I La Galigo,
karena epos itu belum usai selama kita masih berani menulis bab berikutnya?
.
Ini bukan sekadar proyek, melainkan gerakan spiritual-intelektual yang menolak membiarkan sejarah membeku.
Ia hadir untuk menyalakan kembali kesadaran purba --- bukan sebagai kenangan,
tapi sebagai cahaya yang menerangi jalan di tengah disrupsi zaman.
Untuk memahami Reinventing Luwu, kita harus melepaskan Luwu dari sebatas peta geografis di Sulawesi.
Secara historis, Luwu adalah poros awal peradaban Sulawesi --- ibu dari banyak kerajaan Bugis-Makassar.
Lebih dari itu, dalam jiwa bahasanya, kata Luwu menyimpan resonansi air: keluasan yang tak menghakimi, kedalaman yang tak mudah diukur, dan keluwesan yang tak kehilangan bentuk.
Air adalah simbol utama kebijaksanaan. Ia mengalir, menyesuaikan diri dengan wadah apa pun, namun selalu mencari jalan kembali ke sumbernya --- jernih.
Maka, Reinventing Luwu adalah ajakan bagi kita semua untuk kembali belajar menjadi air:
lentur menghadapi perubahan, namun jernih pada sumber jati diri.
Ini adalah perjalanan kesadaran kolektif: dari sejarah menuju kemungkinan baru.
: ,
Kata reinventing sering diterjemahkan sebagai "menemukan kembali."
Tapi dalam semangat ini, artinya jauh lebih dalam:
bukan meniru masa lalu, melainkan membangkitkan potensi lama yang tertidur,
lalu mengekspresikannya dalam bentuk yang hidup dan relevan hari ini.
Kita tidak sedang membangun replika istana kuno.
Kita sedang membangkitkan roh Luwu --- roh yang mampu menuntun generasi kini menemukan dirinya
di tengah arus globalisasi, disrupsi teknologi, dan krisis makna.
: --
Setiap epos butuh babak pembuka yang menggugah.
Dalam narasi Reinventing Luwu, kami menamainya Act I: Kembalinya Biji Walenrange.
Inilah lompatan konseptual yang membedakannya dari proyek budaya biasa:
Alih-alih menggali dan memodifikasi mitos lama, kami memilih melanjutkan Epos Luwu.
Dalam kosmologi Luwu, Walenrange adalah pohon suci yang menghubungkan tiga alam: Langit, Bumi, dan Dunia Bawah.
Ketika pohon itu tumbang, hanya satu yang tersisa: sebutir biji.
Biji itu terlempar ke samudra, lalu mengembara ribuan tahun --- menyerap ingatan langit, laut, dan manusia --- hingga akhirnya terdampar kembali di tanah asalnya, Luwu.
Selama beberapa waktu, ia teronggak di atas pasir putih, diam di antara karang dan busa ombak.
Orang-orang desa mengira itu hanya batu biasa.
Hingga akhirnya, seorang pemuda menemukannya.
Pemuda itu bukan tokoh legendaris, melainkan kita sendiri: generasi yang terasing dari akar, namun diam-diam merindukan makna.
Saat telapak tangannya menyentuh biji itu, ribuan bayangan menyala: kapal Sawerigading yang berlayar melawan takdir, air mata W Tenriabeng yang meratapi cinta dan kehancuran, dan wajah dunia modern yang kehilangan kompas budaya.
Pada akhirnya, biji itu tidak tumbuh menjadi pohon biasa.
Ia menjadi sumbu kesadaran baru --- tempat masa lalu dan masa depan bertemu dalam satu denyut.
Biji Walenrange adalah Archetype Kesadaran.
Ia melambangkan pengetahuan yang terlupa --- serpihan ingatan purba yang terdampar di pantai zaman digital.
Ia mengingatkan bahwa pengetahuan leluhur bukanlah barang mati, melainkan benih yang menunggu disentuh oleh tangan yang percaya.
Dan inilah keyakinan inti Reinventing Luwu:
Epos La Galigo bukan dongeng yang usai.
Ia adalah narasi hidup yang terus tumbuh --- selama kita berani memberinya tanah, air, dan cahaya zaman ini.
Mitos lama tak perlu dimodernisasi.
Cukup diberi ruang untuk tumbuh lagi, lewat tangan-tangan baru yang sadar pada akarnya.
?
Kita hidup di zaman ketika identitas mudah larut --- digerus algoritma, dibanjiri budaya pop global,
dan dipaksa memilih antara "modern" atau "tradisional," seolah keduanya tak bisa berdampingan.
Padahal, justru di sanalah krisisnya: ketika menjadi modern berarti melupakan asal.
Reinventing Luwu menawarkan jalan lain.
Kita tak perlu memilih antara masa lalu dan masa depan.
Kita bisa menjadi air --- mengalir ke mana saja, tapi tetap berasal dari sumber yang sama.
Dan inilah yang membuatnya universal:
Setiap bangsa punya pohon asalnya.
Setiap manusia membawa biji kesadarannya.
Maka, Reinventing Luwu bukan hanya untuk orang Luwu ---
tapi untuk siapa pun yang rindu pulang tanpa kehilangan arah ke mana ia pergi.
,
Inilah komitmen kami:
Reinventing Luwu bukan festival sesaat yang berakhir ketika lampu panggung dimatikan.
Ia dirancang sebagai gerakan kultural berkelanjutan --- sebuah ziarah kesadaran kolektif
yang tak berhenti pada satu ruang atau waktu, tapi terus tumbuh lewat tangan, pikiran, dan hati banyak orang.
Reinventing Luwu bukan tentang menggali kuburan sejarah.
Ia tentang menanam kembali benih yang pernah jatuh --- lalu merawatnya agar tumbuh di tanah zaman ini:
dengan akar yang sama, tapi dahan yang baru.
Saat kita berani menyentuh "Biji Walenrange" dalam diri kita --- yakni sejarah, bahasa, dan simbol leluhur ---
kita pun akan melihat bahwa masa lalu dan masa depan bukanlah garis lurus,
melainkan sebuah lingkaran yang harus disadarkan kembali.
Maka, pertanyaannya bukan lagi apakah kita harus melestarikan budaya,
tapi: sudah siapkah kita melanjutkannya?
Mari kita diskusikan ---
dan lebih dari itu, mari kita mulai menulis bab berikutnya.
***
Penulis adalah penggagas konsep "Reinventing Luwu". Artikel ini merupakan bagian dari upaya memperkenalkan gagasan tersebut kepada publik yang lebih luas.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI