Mohon tunggu...
Fadly Bahari
Fadly Bahari Mohon Tunggu... Pejalan Sepi

Penjelajah dan Pengumpul Esensi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

REINVENTING LUWU - Begini Penjelasannya!

17 Oktober 2025   12:47 Diperbarui: 17 Oktober 2025   12:47 52
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Maka, Reinventing Luwu adalah ajakan bagi kita semua untuk kembali belajar menjadi air:
lentur menghadapi perubahan, namun jernih pada sumber jati diri.
Ini adalah perjalanan kesadaran kolektif: dari sejarah menuju kemungkinan baru.

: ,

Kata reinventing sering diterjemahkan sebagai "menemukan kembali."
Tapi dalam semangat ini, artinya jauh lebih dalam:
bukan meniru masa lalu, melainkan membangkitkan potensi lama yang tertidur,
lalu mengekspresikannya dalam bentuk yang hidup dan relevan hari ini.

Kita tidak sedang membangun replika istana kuno.
Kita sedang membangkitkan roh Luwu --- roh yang mampu menuntun generasi kini menemukan dirinya
di tengah arus globalisasi, disrupsi teknologi, dan krisis makna.

: --

Setiap epos butuh babak pembuka yang menggugah.
Dalam narasi Reinventing Luwu, kami menamainya Act I: Kembalinya Biji Walenrange.

Inilah lompatan konseptual yang membedakannya dari proyek budaya biasa:
Alih-alih menggali dan memodifikasi mitos lama, kami memilih melanjutkan Epos Luwu.

Dalam kosmologi Luwu, Walenrange adalah pohon suci yang menghubungkan tiga alam: Langit, Bumi, dan Dunia Bawah.
Ketika pohon itu tumbang, hanya satu yang tersisa: sebutir biji.
Biji itu terlempar ke samudra, lalu mengembara ribuan tahun --- menyerap ingatan langit, laut, dan manusia --- hingga akhirnya terdampar kembali di tanah asalnya, Luwu.

Selama beberapa waktu, ia teronggak di atas pasir putih, diam di antara karang dan busa ombak.
Orang-orang desa mengira itu hanya batu biasa.

Hingga akhirnya, seorang pemuda menemukannya.
Pemuda itu bukan tokoh legendaris, melainkan kita sendiri: generasi yang terasing dari akar, namun diam-diam merindukan makna.
Saat telapak tangannya menyentuh biji itu, ribuan bayangan menyala: kapal Sawerigading yang berlayar melawan takdir, air mata W Tenriabeng yang meratapi cinta dan kehancuran, dan wajah dunia modern yang kehilangan kompas budaya.

Pada akhirnya, biji itu tidak tumbuh menjadi pohon biasa.
Ia menjadi sumbu kesadaran baru --- tempat masa lalu dan masa depan bertemu dalam satu denyut.

Biji Walenrange adalah Archetype Kesadaran.
Ia melambangkan pengetahuan yang terlupa --- serpihan ingatan purba yang terdampar di pantai zaman digital.
Ia mengingatkan bahwa pengetahuan leluhur bukanlah barang mati, melainkan benih yang menunggu disentuh oleh tangan yang percaya.

Dan inilah keyakinan inti Reinventing Luwu:
Epos La Galigo bukan dongeng yang usai.
Ia adalah narasi hidup yang terus tumbuh --- selama kita berani memberinya tanah, air, dan cahaya zaman ini.
Mitos lama tak perlu dimodernisasi.
Cukup diberi ruang untuk tumbuh lagi, lewat tangan-tangan baru yang sadar pada akarnya.

?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun