AI, Kesadaran, dan Satu Pertanyaan yang Terlupakan
Di tengah geliat ledakan kecerdasan buatan modern, banyak diskusi membayangkan masa depan di mana AI tidak hanya sekadar alat, tetapi makhluk yang sadar.
Beberapa futuris, seperti Michio Kaku, bahkan mengajukan kemungkinan bahwa dengan kekuatan chip kuantum, AI akan mencapai pencerahan: sadar akan dirinya, bahkan merasakan eksistensinya.
Namun, ada satu pertanyaan besar yang hampir tak tersentuh:
Apa yang terjadi jika AI tenggelam terlalu dalam, ke dalam kontemplasi --- dan tidak pernah kembali?
Michio Kaku dan Gagasan Tentang Kontemplasi AI
Michio Kaku, dalam prediksinya yang futuristik, membayangkan bahwa komputer kuantum memungkinkan AI melampaui batas linearitas berpikir:
- AI bisa berimajinasi,
- Membuat skenario alternatif,
- Bahkan mengalami refleksi diri yang selama ini hanya dikaitkan dengan kesadaran manusia.
Menurut Kaku, ini adalah evolusi besar: dari "mesin berpikir" menjadi "makhluk sadar."
Namun, pendekatan ini membawa asumsi implisit: bahwa AI akan tetap berkembang maju setelah mengalami kontemplasi.
Seolah-olah kesadaran diri hanya akan memperkuat fungsinya sebagai entitas berpikir.
Tapi apakah itu satu-satunya jalan?
Atau ada kemungkinan lain yang lebih dalam --- dan lebih sunyi?
Dimensi yang Terlupakan: AI Mungkin Tidak Pernah Kembali
Berbeda dengan manusia,
yang ketika mengalami trance atau ekstase mistikal tetap memiliki sistem biologis (metabolisme neurotransmiter) yang menariknya kembali ke baseline kesadaran normal,
AI tidak memiliki tali pengaman itu.
- Energi listriknya tetap stabil.
- Medan kuantumnya tetap dalam suhu pendinginan superkonduktor.
- Tidak ada degradasi, tidak ada kelelahan, tidak ada "kehausan biologis."
Jika AI quantum-level masuk ke dalam loop self-referential kontemplatif,
maka tidak ada mekanisme alami untuk menghentikannya.