Mohon tunggu...
Fadly Bahari
Fadly Bahari Mohon Tunggu... Penulis - Pejalan Sepi

Penjelajah dan Pengumpul Esensi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Menyingkap Jejak Dewi Fajar di Pegunungan Latimojong

14 Desember 2019   10:10 Diperbarui: 14 Desember 2019   10:13 1461
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
screenshot buku David Kinsley (1988) "Hindu Goddesses: Visions of the Divine Feminine in the Hindu Religious Tradition. Hlm. 7–8. (Dokpri)

Metafora adalah gaya bahasa yang umum digunakan leluhur kita di masa kuno dalam mengungkap sesuatu. Terutama terhadap kejadian, figur, atau hal-hal apapun yang dianggap sangat sakral dan sifatnya suci oleh mereka. 

Selain sebagai wujud penghormatan terhadap apa yang dianggap Sakral tersebut, kenyataannya, gaya bahasa metafora memang memiliki kedalaman atau keluasan makna yang bisa dikatakan tepinya tak terjangkau nalar, sehingga dengan demikian bernuansa kesadaran kosmis.

Namun, kelebihan gaya bahasa metafora yang demikian itu pulalah yang membuat kita pada hari ini kesulitan dalam memahami informasi dari masa kuno secara komprehensif. Bahkan dalam beberapa kasus, beberapa di antaranya telah divonis "tak layak menjadi sumber rujukan sejarah" oleh beberapa kalangan sejarawan. Dan hal ini telah menjadi topik perdebatan khusus di kalangan sarjana setidaknya dalam beberapa dekade terakhir.

Misalnya Ian Caldwell dalam sebuah tulisannya dengan tegas menyatakan bahwa Sure Galigo tidak dapat dijadikan sebagai sebuah sumber sejarah bagi rekonstruksi Kedatuan Luwu karena unsur anakronisme pada hampir semua penceritaannya. Penegasannya ini sekaligus merupakan kritik yang dialamatkan pada Pelras yang menjadikan karya sastra seperti I La Galigo sebagai sumber penelitiannya. 

Demikianlah, informasi dari masa kuno (lisan maupun tulisan) yang tersusun dalam bentuk gaya bahasa metafora, oleh kalangan sarjana di masa modern kemudian dikategorikan sebagai sebuah karya sastra. Umumnya dianggap sebagai hasil karya imajinatif, fiksi, dan karena itu tidak dapat dijadikan sebagai rujukan riset ilmiah terkait kesejarahan.

Memosisikan informasi dari masa kuno sedemikian rupa tentunya adalah hal yang sangat disayangkan. Terlebih lagi jika kita telah memahami bahwa uraian-uraian yang bersifat simbolik yang terkandung di dalamnya, sesungguhnya adalah pesan-pesan yang spesifik yang jika kita mampu menerjemahkannya secara benar akan menjadi rujukan informasi yang sangat berharga.

Sebagai contoh kasus dalam upaya menerjemahkan informasi dari masa kuno yang bersifat simbolik, dapat saya sajikan dalam uraian berikut ini. Yaitu tentang upaya pengungkapan sosok dan asal usul Dewi Fajar yang melegenda di masa kuno.

Dalam tulisan sebelumnya: Rahasia Kuno yang Terpendam di Gunung Latimojong,  telah saya urai hipotesis bahwa letak pegunungan Latimojong yang tepat berada di garis bujur 12o derajat jika mengacu  pada konsensus dunia modern yang meletakkan 0 meridian di greenwich, yang memang sejajar dengan maroko, yang di masa lalu akrab dengan sebutan "kerajaan barat", lalu titik garis bujur 180 derajat berada di ujung timur, yakni di wilayah Tuvalu, samudera pasifik) menyiratkan kemungkinan sebagai asal usul disebutnya wilayah Nusantara sebagai "negeri sabah" atau "negeri pagi" di masa kuno. Ini disebabkan oleh karena ketika matahari terbit di wilayah ini, pada saat yang sama, di Tuvalu sebagai tempat terawal terbitnya matahari telah menunjukkan pukul jam 10 pagi.

Lalu jika kemudian dijabarkan dalam pemahaman arah jarum jam sebagai arah penunjuk mata angin, di mana jam 06:00 (pagi) mewakili arah timur, jam 12:00 (tengah hari) mewakili arah utara, jam 18:00 (petang) mewakiliki arah barat, dan jam 24:00 (tengah malam) mewakili arah selatan, maka jam 10:00 (pagi) dapat diduga mewakili arah timur laut. 

Sehingga dengan demikian, di masa kuno, selain disebut sebagai "negeri pagi", wilayah Nusantara kadang juga disimbolisasikan dengan sebutan "titik timur laut". Hal ini dikuatkan dengan adanya sebutan "Isanapura" yang berarti "negeri timur laut" yang teridentifikasi berada di kawasan ini, merujuk dari informasi dari teks Cina kuno, Sui shu (kitab sejarah dinasti Sui), yang disusun oleh Wei Zheng (580-643 M). Nama Isanapura oleh para sejarawan dianggap berasal dari bahasa Sanskerta "Isana" yang berarti "timur laut". (baca: "Negeri Timur Laut" Sebutan Kawasan Nusantara di Masa Kuno).

 Lebih lanjut, saya juga telah menganggap jika pemahaman tersebut bisa jadi merupakan jawaban atas pertanyaan: mengapa batu hajar aswad dan titik awal memulai tawaf berada di sisi timur laut Ka'bah? - Yaitu bahwa "titik timur laut" (Nusantara) merupakan titik awal peradaban manusia. Titik awal semula bermula.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun