Mohon tunggu...
Fadly Bahari
Fadly Bahari Mohon Tunggu... Penulis - Pejalan Sepi

Penjelajah dan Pengumpul Esensi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Konsep Bissu dan Mitos Adam sebagai Hermaprodit

16 Mei 2019   06:54 Diperbarui: 16 Mei 2019   07:33 370
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ritual Bissu (Sumber: etnis.id, Foto M. Ridwan)

Halilintar Lathief (pers.comm. 2007), seorang peneliti asal Bugis, juga menyinggung kombinasi ini, kendati ia mengatakan bahwa bissu merupakan peleburan laki-laki dan perempuan ketimbang sebagai kesatuan yang tak terpisahkan: 'Tidak diketahui lagi jenis kelaminnya (bissu), mana yang laki-laki atau mana yang perempuan; keduanya telah menyatu.' 

Hamonic (2002:8), dalam penelitiannya yang ekstensif tentang mantra-mantra dan ritual bissu, menyatakan dengan tegas bahwa bissu memiliki dua jenis kelamin.

Penjabaran Errington yang mengatakan; mahluk hidup yang seksualitasnya ambigu dianggap "memiliki kesaktian bukan karena mereka memadukan atau menggabungkan dualitas jenis kelamin, namun karena mereka ada sebelum terjadi pembedaan (pre-difference), ... mewujud dalam kesatuan yang tak terpisahkan", menimbulkan dugaan saya bahwa, bisa jadi konsep Bissu dalam tradisi Bugis merupakan implementasi wujud terawal manusia -- Adam sebagai Hermaprodit -- yakni Adam sebelum dimaknai sebagai jenis kelamin laki-laki, sebelum dari dirinya diciptakan Hawa yang berjenis kelamin wanita.

Seiring berjalannya waktu yang sangat lama, konsep awal Bissu ini kemudian terlupakan hingga hilang dalam pemahaman konsep orang Bugis mengenai Bissu, yang tersisa kini kemudian adalah bentuk pemahaman yang samar-samar saja -- hingga dengan demikian butuh pendalaman dan dukungan data dari literatur-literatur kuno lainnya untuk menyatukan atau menghubungkannya kembali dengan bentuk konsep yang asli.

Jika dugaan bahwa konsep Bissu ada keterkaitan dengan mitos Adam sebagai Hermaprodit dapat diterima, maka, Fakta lain yang perlu mendapat perhatian adalah bahwasanya konsep tradisi yang menjadikan seseorang dengan dualitas jenis kelamin sebagai media penghubung dunia manusia dan dunia dewa ini, dapat dikatakan sejauh ini hanya ditemukan di Sulawesi Selatan; Bissu,  dan di India; Hijra.

Berikut ini tulisan tentang Hijra yang saya kutip dari buku "Culture, Society and Sexuality: A Reader" Richard Guy Parker, Peter Aggleton (1999:226-227):

Hijra adalah sebuah peran gender ketiga yang dilembagakan di India, bukanlah laki-laki atau perempuan, tapi mengandung unsur-unsur keduanya. Hijra umumnya diyakini oleh masyarakat sebagai Intersexed, laki-laki impoten, yang menjalani emasculation di mana semua atau sebagian alat kelamin dihilangkan. Mereka mengadopsi pakaian wanita dan beberapa aspek lain dari perilaku wanita.

Hijra secara tradisional mencari nafkah dengan mengumpulkan sedekah dan menerima pembayaran untuk pertunjukan di pesta pernikahan, kelahiran dan festival.

Ciri utama dari budaya mereka adalah pengabdian mereka kepada Bahuchara Mata, salah satu dari banyak Dewi yang dipuja di seluruh India, untuk siapa pengorbanan dilakukan. Identifikasi dengan Dewi ini adalah sumber kedua klaim hijra untuk tempat khusus mereka di masyarakat India dan kepercayaan tradisional dalam kekuasaan mereka untuk mengutuk atau memberi berkat pada bayi laki-laki.

Sensus India tidak menyebutkan hijra secara terpisah sehingga angka pastinya tidak diketahui. Perkiraan dikutip dalam kisaran pers dari 50.000 (India Hari ini, 1982) hingga 500.000 (Tribune, 1983). Hijra hidup terutama di kota-kota di India Utara, di mana mereka menemukan kesempatan terbesar untuk melakukan peran tradisional mereka, tetapi kelompok-kelompok kecil hijra ditemukan di seluruh India, di selatan dan juga di utara.

Seven "houses", atau sub kelompok, terdiri dari komunitas hijra; masing-masing memiliki seorang guru atau pemimpin, semuanya tinggal di Bombay. Rumah-rumah memiliki status yang sama, tetapi satu, Laskarwallah, memiliki fungsi khusus menengahi perselisihan yang muncul di antara yang lain. Setiap rumah memiliki sejarahnya sendiri. serta aturan khusus untuk itu. Misalnya, anggota rumah tertentu tidak diizinkan memakai warna tertentu.

Hubungan paling signifikan dalam komunitas hijra adalah guru (master, teacher) dan chela (murid). Ketika seorang individu memutuskan untuk (secara formal) bergabung dengan komunitas hijra, dia dibawa ke Bombay untuk mengunjungi salah satu dari tujuh guru utama, biasanya guru dari orang yang telah membawanya ke sana. Pada ritual inisiasi, sang guru memberi pemula nama perempuan yang baru. Pemula berkaul untuk mematuhi guru dan aturan komunitas. Sang guru kemudian memberikan chela baru dengan beberapa hadiah.

Chela, atau seseorang yang bertindak atas namanya, membayar biaya inisiasi dan guru menulis nama chela di buku catatannya. Hubungan guru-chela ini adalah ikatan timbal balik seumur hidup di mana sang guru berkewajiban untuk membantu chela dan chela wajib untuk setia dan patuh kepada guru. Hijra tinggal bersama di komune umumnya sekitar 5 hingga 15 anggota, dan kepala kelompok-kelompok lokal ini juga disebut guru.

Hijra tidak membuat perbedaan dalam komunitas mereka berdasarkan asal kasta atau agama, meskipun di beberapa bagian India, Gujarat, misalnya, Hijra Muslim dan Hindu dilaporkan hidup terpisah (salunkhe, 1976). Di Bombay, Delhi, Chandigarh dan Bangalore, Hijra dari Muslim, Kristen, dan Hindu tinggal di rumah yang sama.

Dari paparan singkat di atas -- mengenai Hijra di India, tergambar ada keidentikan kehidupan mereka dengan kehidupan Bissu di Sulawesi selatan, terutama pada pola hidup mereka yang bentuk komunitas kecil dan mencari nafkah dengan menerima pembayaran untuk pertunjukan di pesta pernikahan, kelahiran dan festival. Selain itu, kesamaannya juga bisa kita lihat dari adanya semacam otoritas yang mereka miliki dalam kepercayaan tradisional setempat, terutama dalam hal yang bersifat magis.

Kita dapat menduga kuat bahwa Bissu dan Hijra pada dasarnya memiliki satu akar yang sama, dan, jika kita mencermati data di atas -- bahwa komunitas Hijra hidup terutama di kota-kota di India Utara, di mana mereka menemukan kesempatan terbesar untuk melakukan peran tradisional -- maka, hal ini jelas menjadi benang merah lainnya tentang adanya keterkaitan budaya antara Bugis dengan wilayah India utara dan Pakistan.

Dalam buku "Luwu Bugis, The Antediluvian World" telah  saya mengenai budaya Bohni atau boni, yakni kebiasaan sosial dan komersial terutama dari India Utara dan Pakistan yang mengacu pada penjualan pertama hari itu -- bahwa penjualan pertama (bohni) dipercaya berpengaruh kepada kesuksesan kegiatan penjualan selanjutnya pada hari itu. Adalah pertanda buruk jika pelanggan pertama pergi tanpa melakukan pembelian sehingga pedagang sangat berhati-hati untuk tidak membiarkan itu terjadi. Pada momentum bohni, harga barang biasanya dibuat relatif rendah agar penjualan dapat dimulai dan keberuntungan dapat dipertahankan -- praktek ini jelas sangat identik dengan "pammula balu" dalam tradisi dagang orang Bugis.

Dengan mengetahui adanya keterkaitan budaya yang erat antara Bugis, India (terutama India utara) dan Pakistan, terutama dalam hal yang bersifat tradisi kuno, kesimpulan sementara yang wajar kita ambil adalah bahwa daerah-daerah ini tentu telah menjalin hubungan dari sejak masa yang sangat lampau. Mengenai keidentikan antara konsep Bissu di bugis -- konsep Hijra di India -- dan mitos Adam sebagai Hermaprodit -- maka,  hipotesa yang saya pikir wajar kita munculkan dalam hal ini adalah bahwa di kawasan-kawasan inilah di masa kuno Nabi Adam pernah ber-eksistensi setelah turun ke bumi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun