Urain lebih rinci terkait pembahasan ini, misalnya, mengenai makna leksikon "loeo - dluvium -  deluge" yang berkisar pada: Great flood (banjir besar /  air bah), wash (mencuci), wash away (membasuh / mencuci bersih) purify (memurnikan), cleanse (menjernihkan) yang dapat pula ditemukan korelasinya pada sebuah toponim wilayah di Luwu, Sebuah kampung tua bernama sassa' yang memiliki arti "mencuci", dapat pembaca temukan dalam buku "luwu bugis: the antediluvian world" yang beberapa waktu yang lalu telah kami terbitkan.
Demikianlah, dari menelusuri etimologi bahasa di dunia yang pada dasarnya saling terkait, kita akhirnya dapat mengurai suatu sejarah manusia yang telah sangat kuno.
Kami cukup memahami bahwa hipotesa ini, bagaimana pun jelasnya data fakta yang diajukan, besar kemungkinannya akan dianggap berlebihan - hingga dicap sebagai pseudosains.Â
Terlebih lagi jika dihadang dengan tuntutan bukti arkeologis - dimana, jika diperbandingkan antara profil temuan arkeologis  di Jawa dengan yang ada di Luwu, maka tentu akan lebih meyakinkan jika seandainya keberadaan peradaban kuno Nusantara yang diisyaratkan dalam hipotesis ini dialamatkan ke pulau Jawa.Â
Untuk argumentasi semacam itu,  pertimbangan kondisi geografis pulau Jawa dan pulau Sulawesi yang berada dalam satu kawasan yang sama, dan bahwa dengan kedekatan letak tersebut, akan lumrah jika suatu bencana besar melanda di pulau Sulawesi, pulau Jawalah yang menjadi  salah satu tujuan migrasi komunitas masyarakat yang terdampak.Â
Jadi, melalui pemahaman ini, kita dapatlah melihat bahwa segala temuan-temuan arkeologis di pulau Jawa, Sulawesi, Sumatera, ataupun di pulau-pulau lainnya di wilayah Nusantara, pada dasarnya merupakan tinggalan arkeologis dari masyarakat kuno yang memiliki pertalian yang sama, yang telah mendiami kawasan ini selama ribuan tahun, dan bahwa itu semua adalah bentuk lapisan-lapisan stage peradaban yang mereka tinggalkan.
Kaitan Luwu dan dunia barat bukan hanya pada terminologi "deluge" (Old English), "diluvium" (Latin), atau  "loeo" (Ancient Greek) semata... dalam tinjauan linguistik yang kami lakukan, beberapa leksikon dalam bahasa Yunani kuno menunjukkan fakta adanya keterkaitan dengan leksikon dalam bahasa tae (bahasa tradisional yang umum digunakan di Luwu)... seperti yang kami ungkap dalam buku "Luwu Bugis: The Antediluvian World" ...
Budaya penulisan aksaranya pun pada dasarnya sama. Aksara awal ancient greek yang diistilahkan linear A dan B, adalah bentuk aksara "suku kata" alias silable, merupakan konsep aksara brahmik atau biasa juga dikatakan aksara abugida, yang banyak dapat kita temukan digunakan dalam budaya penulisan di asia tenggara hingga India.
Mengenai tuntutan bukti primer, sekunder dan semacamnya.. yang merupakan tuntutan standar yang kerap diajukkan terhadap sebuah hipotesis sejarah, kami bukannya tidak memiliki.Â
Dalam upaya kami menelusuri etimologi suatu toponim di Pulau Sulawesi khususnya, dan wilayah Nusantara pada umumnya, kami telah menemukan beberapa spot yang terindikasi kuat menyimpan bukti arkeologis, ini dimungkinkan oleh karena toponim yang kami telusuri "mengadung makna tertentu" bisa dikatakan sebagai "sebuah pesan".Â
Cuma saja, untuk di tahap awal ini kami tetap memperjuangkan paradigma baru bagi para ilmuwan peneliti, agar kiranya dapat sungguh-sungguh mempertimbangkan keberadaan bahasa sebagai artefak sejarah yang sangat otentik.
Hal ini didasari pengejawantahan ungkapan Wilhelm von Humboldt : "...karakter dan struktur suatu bahasa mengekspresikan kehidupan batin dan pengetahuan dari para penuturnya (...) Suara-suara tidak menjadi kata-kata sampai sebuah makna dimasukkan ke dalamnya, dan makna ini mewujudkan pemikiran suatu komunitas."