Mohon tunggu...
Fadlur Rahman
Fadlur Rahman Mohon Tunggu... Mahasiswa

Beropini

Selanjutnya

Tutup

Politik

"Olahraga, Politik, dan Luka Kemanusiaan di Gaza"

12 Oktober 2025   02:38 Diperbarui: 12 Oktober 2025   02:38 4
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar: The Guardians

Dunia sepak bola kembali dihadapkan pada dilema moral. Di tengah konflik yang berkepanjangan di Gaza, mucul desakan agar tim israel dikeluarkan dari kompetisi internasional. UEFA dan FIFA pun berada dalam posisi sulit: antara menjunjung sportivitas atau menanggapi tuntutan kemanusiaan. Beberapa organisasi masyarakat sipil dan kelompok pro-Palestina menyuarakan agar tim israel dilarang tampil di kualifikasi Piala Dunia 2026 dan ajang Eropa. Sebaliknya, federasi Israel menegaskan bahwa olahraga seharusnya tetap netral dari politik. 

KEMANUSIAAN HARUS JADI TITIK UTAMA.

Sepak bola memang tentang kompetisi dan kebanggaan nasional, tetapi ketika sebuah negara terlibat dalam pelanggaran kemanusiaan yang masif, dunia olahraga tidak bisa menutup mata. Prinsip kemanusiaan semestinya menjadi dasar etika universal bahkan lebih tinggi dari sekedar aturan sportivitas. Jika sebuah tim mewakili negara yang sedang melakukan kekerasan terhadap warga sipil, maka keikutsertaan mereka di panggung internasional secara tidak langsung memberi legitimasi simbolik terhadap tindakan tersebut. Di titik ini, olahraga bukan lagi sekedar hiburan, tetapi menjadi alat citra politik.

OLAHRAGA SEHARUSNYA MENYATUKAN, BUKAN MEMISAHKAN.

Namun, di sisi lain, banyak yang berpendapat bahwa memboikot tim israel justru menyalahi hakikat olahraga itu sendiri. Sepak bola seharusnya menjadi ruang damai, tempat perbedaan politik tidak menjadi batas, dan para atlet dapat bertanding atas dasar sportivitas, bukan dendam geopolitik. Menghukum tim israel bisa dianggap sebagai bentuk sanksi kolektif yang tidak adil bagi para pemain yang tidak terlibat langsung dalam kebijakan pemerintahnya. jika olahraga ikut terseret dalam pertikaian politik, maka lapangan hijau kehilangan makna nya sebagai simbol persaudaraan global. Sebaliknya, pertandingan sepak bola justru bisa menjadi jembatan dialog mengingatkan bahwa di tengah kekerasan dan kebencian, manusia masih bisa bertemu dalam semangat yang sama: Bermain, bukan Berperang.

Pertanyaannya bukan hanya soal siapa yang benar atau salah, tetapi apa makna sportivitas dalam situasi ketidakadilan. Apakah diam berarti netral, atau justru berpihak pada pelaku kekerasan?

Publik global kini menuntut konsistensi. Ketika perang di Eropa direspons tegas, mengapa tragedi di Timur Tengah tidak mendapat perlakuan sama?

Sepak bola tidak hidup di ruang hampa. Ia bisa menjadi alat perdamaian jika berani bersuara, tapi bisa juga menjadi alat pembenaran jika diam di tengah penderitaan.
Dunia olahraga perlu mencari keseimbangan baru --- bukan sekadar antara politik dan sportivitas, tapi antara rasa kemanusiaan dan tanggung jawab moral.

#FREEPALESTINE

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun