Mohon tunggu...
Fadli Herman
Fadli Herman Mohon Tunggu... -

Teacher

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kita Masih Punya Cinta

3 Maret 2014   21:04 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:17 63
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Fajar baru saja menyingsing, tak seperti biasanya, toko bunga yang berada di sudut persimpangan jalan Metro itu buka lebih awal.

Meski berdiri di paling ujung deretan pertokoan, setiap hari pajangan kaca toko Rose selalu dipenuhi bunga-bunga segar. Di depan toko, rangkaian ragam bunga menambah kesan keindahan, membuatnya lebih mencolok di antara toko yang lain.

Pagi itu masih sangat sepi, belum tampak lalu lalang pengunjung maupun kendaraan, sementara sang penjaga toko merapikan susunan bunganya, setengah pintu kaca terbuka, meyemburkan aroma wewangian. Di teras-teras toko, aroma wangi itu seolah membunuh bau tak sedap dari tong-tong sampah di sepanjang jalan setapak yang belum terangkut.

Jalan Metro berada di kompleks perbelanjaan tepat di jantung kota metropolitan, tempat ini sangat ramai di siang hari bahkan hingga larut malam. Jalan setapak di depan pertokoan menyuguhkan suasana santai, wisatawan bahkan rela menghabiskan waktunya berjam-jam hanya untuk duduk mengobrol sambil meneguk secangkir kopi khas kota wisata itu.

Ialah Nathan, seorang anak dari keluarga imigran. Mereka mulai menetap di kota ini sejak empat tahun lalu. Ketika itu, perang bergejolak di negaranya. Tentara sekutu membabi buta membantai seluruh warga yang ditemuinya. Warga sipil, orang tua, ibu, ayah, bahkan anak-anak kecil tak berdosa ditembaki lalu jasadnya dibiarkan terkapar bersimbah darah di jalanan.

Hampir separuh penduduk yang tersisa kemudian melarikan diri, mencari perlindungan di negara lain. Keluarga Nathan adalah salah satu dari rombongan pengungsi yang diberangkatkan ke negara tetangga.

Perang itu memang tak bisa terhapus dari ingatan Nathan. Satu bulan menjelang pengungsian besar-besaran itu, ia nyaris meregang nyawa di kamar unit gawat darurat sebuah rumah sakit di kotanya. Tuhan masih melindunginya, namun peristiwa itu membekas kuat, membawa trauma mendalam.

Kala itu, selangkah lagi Nathan menginjakkan kakinya di tangga pintu bus sekolahnya. Lalu tiba-tiba dengan sangat cepat sebuah ledakan keras terjadi dari dalam bus. Menghempaskan tubuhnya yang mungil itu.

Nathan, anak keturunan kulit hitam itu, baru tersadar setelah sepekan berjuang melewati masa kritisnya di rumah sakit. Hari-hari setelahnya adalah saat-saat terberat baginya, ia tak kuasa menerima kenyataan bahwa ia kini harus berjalan dengan dua kaki palsu. Tidak hanya itu, semua teman dan sahabatnya tewas dalam peristiwa tragis itu. Sungguh sebuah berita yang sangat menyesakkan dadanya.

. . .

Pagi itu, Nathan berjalan tergontai menuju sekolahnya yang baru. Menggendong tas ranselnya, ia menyusuri jalan setapak Metro yang masih sepi. Pandangannya tiba-tiba tertuju pada pajangan bunga mawar merah segar di balik kaca toko Rose. Langkahnya terhenti, Nathan lalu mendekatkan badannya bermaksud melihat jelas harga rangkaian bunga itu. Ia tertarik.

Di sekolah, Nathan bercengkrama dengan teman-teman barunya. Bermain dan tertawa bersama, merasakan serunya belajar kelompok dan pengalaman-pengalaman belajar yang baru. Ia disenangi oleh guru-guru dan teman-temannya karena prilakunya yang sopan, meski ketika berbicara, Nathan agak tersendat-sendat. Ini karena rusaknya sejumlah saraf pada alat produksi suara Nathan akibat insiden ledakan bom itu.

Nathan diterima di sekolah itu atas program bantuan dari sebuah yayasan yang khusus menangani pendidikan bagi anak-anak imigran.

. . .

“Nanti siang kamu i..i..ingin ikut de..de..denganku?” ajak Nathan kepada Siran, teman kelasnya.

“Kamu mau ke mana, Nathan?” tanya Siran.

“Aku i..i..ingin melakukan sesuatu, kamu pasti te..te..tertarik melihatnya,” lanjut Nathan berharap temannya itu ingin ikut bersamanya.

“Tentang apa sih, kamu buat aku penasaran saja, Nathan. Tapi maaf, ayahku sudah janji untuk mengajakku ke asrama kakakku nanti sore,” ungkap Siran berharap Nathan tak kecawa.

“Oh, iya, tak a..a..apa-apa, lain kali aku a..a..ajak lagi yah,” ucap Nathan tersenyum.

“Semoga rencanamu berjalan lancar, Nathan,” seru Siran.

“Terima kasih, Siran,” sahutnya.

Sepulang sekolah, Nathan sengaja melawati jalan yang sama untuk sekadar memastikan bahwa bunga mawar yang ditaksirnya itu belum diambil orang.

“Lihat apa, dek?” tanya Ibu sang penjaga toko.

Nathan terkejut mendengar suara itu. Ia tersenyum lalu mengarahkan telunjuknya.

“I..i..ibu jual berapa bu..bu..bunga-bunga itu?” tanya Nathan tersendat-sendat.

“Untuk satu rangkai bunga mawar seharga dua ratus ribu, itu bisa dilihat, kan!” tunjuk ibu itu ke harga yang sudah dipajangnya.

Nathan kembali tersenyum, sebenarnya sengaja ia bertanya dengan harapan akan ada potongan harga.

Setiba di rumah, ia lalu membuka kaleng biskuit “crackers” yang dijadikannya celengan sisa uang jajan sekolah.

Mengumpulkan uang koin dan merapikan uang kertasnya yang kusut lalu menghitungnya dengan sangat teliti.

Dua ratus ribu, ingat Nathan ucapan ibu penjaga toko itu. Sayang, tabungan Nathan belum cukup untuk membelinya.

Semangatnya tak surut. Ia lalu bangkit, mengganti bajunya. Setelah makan siang, ia berangkat ke sebuah toko yang menjual perlengkapan alat tulis. Di rumah, Nathan sendiri. Ia baru bertemu dengan ayah ibunya ketika hari sudah malam. Kedua orang tuanya bekerja sebagai buruh di sebuah pabrik garmen di kota itu yang setiap hari bekerja hingga petang tanpa libur.

Nathan lalu membeli sekardus kertas berwarna, harganya tak sampai menghabiskan tabungan. Ia masih punya sisa yang bisa digunakan untuk keperluan yang lain. Baginya, adalah hal yang tabu jika harus meminta uang kepada orang tuanya, karena ia paham bahwa itu akan membenani orang tuanya yang punya penghasilan pas-pasan. Lagi pula ia ingin mandiri.

Nathan kemudian kembali ke rumah. Di bawah tangga kayu, Nathan lalu merangkai kertas itu menjadi bunga yang unik. Di rumah, ia hanya ditemani oleh kucing kesayangnnya. Dua jam tak terasa, ia selesai merangkai seratus karya bunga yang unik, indah, dan aneka warna. Di tangkai yang ia buat dari lidi, ia tempelkan kertas bertuliskan “Kami Semua Mencintaimu”.

Dengan sisa uang yang ada, ia lalu berjalan menuju halte. Menumpang bus ke daerah pinggiran kota. Di tangannya, ia menenteng kardus berisikan bunga kreasinya.

Panti Asuhan adalah tempat yang pertama ia kunjungi, di sana ia berbagi dengan anak-anak yatim piatu. Bermain dan bernyanyi bersama. Satu per satu, ia membagikan bunganya. Anak-anak itu berebutan, teriakan-teriakan mereka seperti mengabarkan kerinduan.

“Saya, Kak.”

“Ini belum dapat,”

“Minta satu lagi dong, Kak,”

“Kak, Kak, ini namanya bunga apa?”

“Aku mau yang kuning dan oranye, Kak?”

Anak-anak itu berkumpul di aula didampingi para pengasuh di panti itu. Nathan larut dalam keceriaan. Tangannya bahkan kalah cepat oleh tangan anak-anak itu.

Di depan anak-anak itu, Nathan bercerita panjang tentang suka duka pengalaman hidupnya.

“Hari ini, me..meski kalian tidak lagi pu..punya ayah dan ibu, putus asa bu..bukanlah pilihan kita, kita semua pu..pu..punya masa depan, dan kita be..berhak untuk sukses, kita berhak membanggakan o..orang-orang yang menyayangi kita, ” kata Nathan dengan suara lirih menutup ceritanya di depan anak-anak itu.

Tepukan tangan kemudian menggema di aula itu. Nathan puas dan bangga bisa berbagi pengalaman dan inspirasi.

“Kak, aku rindu ayah dan ibuku,” ucap seorang anak lelaki kecil yang duduk bersandar di sudut dinding aula itu.

“Si..siapa namamu?” tanya Nathan.

“Namaku Dirham, Kak,” jawabnya sambil tertunduk mengusap air matanya.

Nathan lalu berdiri berjalan ke anak itu, duduk lalu memeluk erat teman barunya itu. Suasana haru hidup di ruangan itu. Semua merasakannya. Nathan tak kuasa, ia pun meneteskan air mata. Ia bersyukur kedua orang tuanya masih hidup.

Pertemuan singkat namun bermakna itu telah membawa kehidupan baru bagi Nathan.

Ia lalu berpamitan, masih tersisa beberapa bunga kreasi di tangannya.

Anak-anak itu melepas Nathan dengan wajah yang bahagia. Mereka berkumpul, memegang bunga, melambaikan tangan di pintu gerbang panti asuhan itu.

Selanjutnya, Nathan berjalan tergontai menyusuri lorong kecil menuju sebuah Panti Jompo yang letaknya tak jauh dari Panti Asuhan.

Setelah meminta izin kepada pengurus panti, ia masuk.

Dengan senyum, Nathan memberi salam dan menyapa orang-orang yang baru ditemuinya itu.

“A..a..apa kabar kakek, na..na..nama kakek si..si..siapa?” tanya Nathan kepada penghuni panti itu.

Dengan suara kecil, lelaki paruh baya itu membalasnya.

“Yah, kabar baik, Nak. Aku Pak Arman. Nama kamu siapa?”

“A..a..aku Nathan, Kek. Aku datang membawa bu..bu..bunga kreasiku buat Kakek,” sambil moyodorkan sebuah bunga kertas berwarna merah, juga dengan tulisan yang sama.

Pak Arman menerima pemberian itu, lalu mengambil kacamatanya dan berusaha membaca tulisan pada tangkai bunga yang ia terima.

“Terima kasih, Nak. Kamu tinggal di mana?”

“Aku dari ko..ko..kota,Kek. Kebetulan besok a..a..aku libur, jadi hari ini aku punya waktu lu..lu..luang,”

“Su..su..sudah berapa lama Kakek di..di..di panti ini? Apakah Kakek masih punya ke..ke..keluarga?” tanya Nathan tanpa beban.

“Aku sudah sepuluh tahun di sini, sekarang usia kakek delapan puluh. Yah, anak-anakku bekerja di kota. Sementara istri kakek sudah lama meninggal, Nak,” terang Pak Arman.

“Anak-anak kakek se..se..sering datang ke..ke..ke sini?” lanjut Nathan bertanya.

“Tidak, mereka hanya pernah datang sekali, selain saat ia mengantarku ke sini,”

“Ja..ja..jadi sejak saat itu, kakek tidak pernah lagi be..be..bertemu dengannya?”

“Yah, bahkan kakek tak pernah terima telepon darinya,”

“Apakah kakek merindukan a..a..anak-anak ka..ka..kakek?”

“Tentu, kakek sangat rindu. Hanya mereka yang kakek harap datang melihatku.”

“Kenapa kakek ti..ti..tidak pernah meneleponnya du..du..duluan?”

“Sudah sering kucoba, tapi nomornya sudah tidak tersambung, mungkin rusak atau mungkin saja sudah terganti,” ungkap sang kakek dengan mata yang mulai berkaca-kaca.

“Jadi si..si..siapa yang mengurus kakek di sini?”

“Di panti ini ada petugas yang mengatur semua, makan, dan pakaian, Nak. Ketika kakek sakit, orang-orang inilah yang merawat kakek.”

Lalu Nathan menghampiri penghuni yang lain, di ruang tengah gedung itu, ia bertemu dengan seorang nenek yang sedang menyulam bunga pada kain.

“Nek, wah sulaman bu..bu..bunganya cantik,” sahut Nathan mendekat ke wanita paruh baya itu.

“Terima kasih, Nak. Kamus suka bunga juga?”

“Yah, su..su..suka, sangat suka, Nek,”

“Kalau begitu, ijinkan nenek menyelesaikan sulaman ini untukmu, tinggal sedikit,”

“Wah terima kasih, Nek. Nama nenek si..si..siapa?”

“Aku Lina, kamu?”

“A..a..aku Nathan, Nek. Aku datang da..da..dari kota,”

“Aku punya cucu sebesar kamu, namanya Rani, dia tinggal di kota juga,”

“Rani sering ke..ke..ke sini, Nek?”

“Terakhir kali ke sini bersama ayah bundanya sekitar 2 tahun lalu, setelah itu katanya ayah bundanya pada sibuk, jadi tidak sempat main ke sini lagi.”

“Ini buat kamu, Nak,” nenek itu memberikan sulaman bunga kepada Nathan.

“Terima kasih, Nek. A..a..aku juga bawa bunga kreasiku buat nenek, saya harap ne..ne..nek juga menyukainya,”

“Terima kasih, kamu kreatif. Bagaimana cara membuatnya, biar nanti nenek juga bisa buatkan cucu nenek.”

Keakraban Nathan dan penghuni panti jompo itu mulai terjalin. Nathan kembali ke rumah sebelum petang. Ia pamit dan menciumi tangan kakek nenek itu. Di depan gerbang, Nathan melihat senyuman mereka, melambaikan tangan dari balik jendela.

Bagi Nathan, senyuman itu adalah kebanggaan baginya. Kebanggaan bahwa setidaknya ia telah membagi kebahagian meski dengan hal-hal sederhana. Bunga kreasi Nathan setidaknya telah mengobati kerinduan para anak-anak yatim piatu di panti asuhan akan kehangatan pelukan serta kasih sayang orang tuanya. Juga kerinduan kakek nenek di panti jompo yang mungkin telah terlupakan oleh anak-anaknya.

Senyuman itu adalah kepuasan batin bagi Nathan. Hari ini, bagi Nathan adalah hari yang penuh makna dan kesan indah. “Kami Semua Mencintaimu”.

Terinspirasi dari sebuah film pendek – GRIM FILM – produksi anak-anak muda Negeri Jiran.


Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun