[caption caption="https://s-media-cache-ak0.pinimg.com/originals/e6/d1/44/e6d144a6d2e303436908c6212305c057.jpg"][/caption]
Hujan itu memelintir duka sayang, dia merangsang nestapa. Ucap diriku kepada sang pemilik wajah teduh itu yang masih berkutat dengan alam mimpinya. Ku susuri setiap senti demi senti kemulusan wajahnya. Tatkala kuncup bersembunyi di balik terjangan air yang menggetarkan jiwa. Dia membisu, tak menjawab gerak kerja bibir manisku yang merona. Hujan telah memperdayanya, menumbuhkan luka menghadirkan nelangsa.Â
Dia berkutat dalam amarah yang meronta-ronta. Lelah dalam pencarian dan kesabaran menuntun pada kepastian yang tak bermakna. Sebelumnya dia berucap lirih, "aku capek! Aku capek dengan semua keadaan ini." membuat raga yang mendengar dan jiwa yang menangkap sinyal keterasingan dalam ikatan cinta. "ya benar." batinku, bibir ini tak mampu untuk menjawab kekalutan yang menerjang terlalu deras oleh hati yang terlunta-lunta oleh kepastian yang mengada-ada.Â
Aku menciut oleh kebesaran peran dan pengorbanan yang dia miliki. Pengorbananku? "huhh" bahkan nyamuk lebih berharga dari setetes keringat dan air mata yang jatuh dalam kubangan keyakinan yang ku bangun di atas pijakan lumpur yang mengikat kaki. Dialah jiwa pemberontak dan aku hanyalah sayap yang patah pada kenyataan yang membebani. Ku belai wajahnya dalam peraduannya untuk sekedar melampiaskan nafsu jiwa akan cinta yang hakiki.
"Maafkan aku sayang." ucapku dengan lirih meskipun hanya wajahmu yang menjadi saksi sedang telingamu beradu di alam mimpi. Jangan engkau jadi burung pipit laksana dunia yang ia anggap sempit lalu sibuk terbang kesana kemari. Yang sejatinya kawan ia anggap lawan, lalu lawan ia perkawankan untuk sebuah pengkhianatan keji, lalu menyesal dan mati. Jangan sampai engkau berakhir dalam keyakinan yang hipokrit yang hanya bisa mendikotomi hati. Teralienasi oleh kepastian yang engkau sesali dan terkontaminasi oleh realitas yang engkau kekali.