Mohon tunggu...
Fadhea PertiwiDalimunthe
Fadhea PertiwiDalimunthe Mohon Tunggu... Lainnya - Fastabiqul Khairat

_fadhea_

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Penyesalan

25 November 2020   20:22 Diperbarui: 25 November 2020   20:25 34
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

          Dua puluh tahun telah berlalu.

          Sebuah mobil sedan melaju di jalan Matraman Raya Jakarta. Mobil itu berhenti di depan restoran. Dari dalam mobil keluar seorang lelaki berperawakan tinggi besar. Pakaiannya necis dan rapi. Di sisinya seorang nyonya berparas cantik. Nyonya itu menuntun dua anak.
          Mereka masuk ke dalam restoran. Duduk mengelilingi meja makan. Lelaki itu memesan makanan dan minuman. Pelayan restoran melayani tamunya dengan cepat-cepat.
          "Jangan minum es, Beni!" seru lelaki itu kepada anaknya yang paling besar.
          "Ety, boleh pah?" Tanya anak yang terkecil.
          "Ety boleh!"
          Nyonya itu menyuruh ganti kepada pelayan. Sejurus pelayan datang membawa segelas teh. Disodorkan nyonya itu kepada anaknya sambil berkata mesra :

          " Beni makan, Ma!"

          "Ya makanlah. Apa mau kamu lauknya? Ini otak. Ini rendang. Ini ayam goreng. Ambil saja sayang! Nah ambil apa mau kamu!"
          Keluarga itu makan dengan lahap. Anak- anaknya mengambil lauk sendiri.
          Sementara itu suara musik mengalun. Lagu -- lagu yang seronok bergema. Angin malam berhembus sejuk. Tamu -- tamu restoran itu datang dan pergi. Silih berganti.
         Di halaman restoran ada tong sampah.
          Di dekat tong sampah tersebut ada seorang separuh baya mengorek- ngorek sampah dengan sebatang kayu. Tubuhnya kurus sekali. Pakaiannya kumal dan koyak -- koyak. Rambutnya gondrong. Badannya penuh kudis.
           Dia tidak menghiraukan keadaan di sekelilingnya. Kaleng kecil yang diberi tali kawat dijinjingnya sejak tadi. Apa yang diperolehnya sejak tadi dimasukkannya ke dalam kaleng kecil itu. Dia terus mengorek -- ngorek tong sampah. Tiba -- tiba wajahnya berseri -- seri. Beberapa potong tulang diperolehnya di tong sampah itu. Sebagian dimasukkannya ke dalam kaleng kecil, sebagian di santapnya dengan lahap. Dia menghisap -- hisap tulang itu!

          Mulutnya berdecap -- decap. Sesekali menyeringai. Digigitnya tulang -- tulang. Lalu dihisapnya sum -- sum yang ada di dalamnya. Dia merasa puas.
          Kemudian dia duduk di tanah. Sambil bersandar ke tong sampah, mukanya menghadap restoran. Matanya selalu mengamati setiap orang yang keluar masuk restoran.
           Dari koceknya yang kumal dikeluarkannya puntung rokok. Dinyalakannya rokok itu. Dihisapnya dalam -- dalam. Matanya terus mengamati orang -- orang yang lewat di depannya.
           Tiba -- tiba ia berdiri. Didekatinya orang yang baru keluar dari restoran. Ditadahkannya tangannya sambil meminta dengan suara perlahan :
          "Minta sedekah, Nyonya!"
          "Ini!" kata nyonya itu mengulurkan sekeping lima puluhan.
          " Terima kasih Nyonya! Terima kasih!" sambutnya dengan gembira.
          " Mau lagi ini?" Tanya anak nyonya itu sambil menyerahkan tulang ayam yang masih digenggamnya.
          "Husss! Tidak boleh begitu Beni!" cegah nyonya itu sambil menarik lengan anaknya. Mereka bergegas menuju mobil.
           Sementara itu suami nyonya itu masih tegak terpaku. Diamatinya peminta -- minta itu dengan cermat. Peminta -- minta itu pergi ke sisi tong sampah. Di sana ia duduk kembali di tanah.
          Nyonya itu menggiring anak -- anaknya. Mereka masuk ke dalam mobil. Suaminya masih duduk saja. Belum menghidupkan mesin. Suaminya asyik memperhatikan peminta -- minta itu. Cepat -- cepat ia keluar dari dalam mobil. Didekatinya peminta -- minta itu. Ia bertanya ragu -- ragu :
          " Bolehkah bertanya, Pak?"
          Peminta -- minta itu menoleh. Diperhatikannya orang yang berdiri di depannya.
          " Saya yang Tuan Tanya?" ganti dia bertanya dengan ragu -- ragu
          " Betul!"
          " Boleh saja. Apa yang akan Tuan tanyakan?" Diperbaikinya rambutnya yang gondrong. Sekarang jelaslah raut wajahnya.

          " Bapak berasal dari mana?"
          " Dari Jakarta."
          " Siapa nama Bapak?"
          "Johan!"
          " Bapak masih ingat kepada saya?"
          Peminta -- minta yang bernama Johan itu mengernyitkan dahi. Lama sekali, diperhatikannya perawakan orang yang tegak di depannya dari kaki hingga kepala. Ia menggelengkan kepala sambil berkata sedih :
          " Maafkan saya Tuan. Saya tidak ingat lagi!"
          " Nama saya Syauqi. Syauqi Arjune. Dua puluh tahun yang lalu saya menjadi anak semang Bapak Hideki Yogaswara!"
          " Syauqi!" petik Johan.
          " Johan!" petik Syauqi pula.
          Syauqi menerpa Johan. Johan memeluknya erat -- erat. Keduanya berpelukan lama. Keduanya sangat gembira merasakan pertemuan yang tidak terduga -- duga itu.
           Orang yang lalu lalang pun heran. Karena seorang lelaki gagah dan mewah berpelukan dengan seorang peminta -- minta. Syauqi menggeret Johan masuk ke dalam mobil. Semula Johan menampik. Tetapi Syauqi tetap mengajaknya.
          Mobil meluncur dengan kebayoran.
          Di sebuah gedung yang mewah tampak Syauqi sekeluarga mengelilingi Johan. Mereka mendengarkan cerita tamunya. Syauqi si pendiam ternyata tetap seperti dua puluh tahun yang lalu. Dia berhati mulia dan tulus. Pakaian Johan telah diganti dengan pakaian yang baru. Dia sudah seperti orang biasa. Dengan wajahnya yang masgul dia menceritakan sebagian dari perjalanan hidupnya.
          " Yaa, telah dua puluh tahun kita berpisah Syauqi. Ternyata Tuhan Mahakuasa mempertemukan kita kembali. Pertemuan yang tidak disangka -- sangka! Kau tidak berubah Syauqi. Kau tetap berhati mulia dan tulus, tidak dendam, berperikemanusiaan, suka menolong orang yang hina seperti aku ini. Orang gelandangan, orang yang dilumuri noda dan dosa. Orang terkutuk!"
          Mata Johan berkaca -- kaca. Dia menangis tersedu -- sedu. Setelah perasaannya tenang dilanjutkan lagi :

          Ayah dan mama telah meninggal sepuluh tahun yang lalu. Mereka meninggal karena ulahku juga. Harta mereka ku habiskan di meja judi. Aku menjadi perampok. Pembunuh! Aku dihukum selama tujuh tahun. Selesai menjalani hukuman, sebenarnya aku tidak mau hidup lagi. Sudah beberapa kali aku mencoba untuk bunuh diri. Tetapi selalu gagal.
          Syauqi menyela bertanya: " Dik Aisya di mana sekarang?"
          "Entah di mana. Saya sendiri tidak tahu..."
          Johan terpekur. Dia terisak -- isak. Penyesalan tidak habis -- habis. Tampaknya dia menahan kesedihan yang mahaberat.
          "Lupakanlah segala yang silam Johan. Marilah kita buka babakan hidup baru. Saya sekarang telah memiliki perusahaan. Marilah Johan bekerja sama dengan saya".
          "Apa yang dapat saya kerjakan?"
          "Pokoknya bekerja. Sebab hidup ini adalah kerja!"
          Johan menyetujui alasan Syauqi. Keduanya berjanji akan membuka babakan baru dalam hidupnya. Syauqi yang pendiam tetap berbudi luhur.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun