Mohon tunggu...
fabhelika dwi putri
fabhelika dwi putri Mohon Tunggu... mahasiswa

hobi saya menonton dan menyanyi

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Ketika Keadilan Ditekan oleh Suara yang Lebih Keras

2 Juli 2025   10:35 Diperbarui: 2 Juli 2025   10:35 36
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Uang Bicara: Ketika Keadilan Ditekan oleh Suara yang Lebih Keras
Oleh: Fabhelika Dwi Putri.N -- Mahasiswa Sastra Indonesia, Universitas Andalas

Korupsi adalah fenomena sosial yang tidak hanya merusak sistem hukum dan pemerintahan, tetapi juga memengaruhi cara manusia melihat nilai kebenaran dan keadilan. Dalam cerpen 'Uang Bicara' karya Herumawan P.A., realitas itu dipotret dengan tajam melalui narasi simbolik tentang kekuasaan uang. Cerita ini bukan hanya menggambarkan kasus korupsi, tetapi memperlihatkan bagaimana uang bisa menjadi entitas yang hidup---bisa 'berbicara', 'memerintah', bahkan 'membungkam nurani'.

Cerpen ini berpusat pada seorang tokoh yang berada di tengah dilema moral. Ia berhadapan dengan godaan uang dalam situasi yang seharusnya menjunjung keadilan. Namun dalam sistem yang telah dikendalikan oleh kekuasaan ekonomi, suara kebenaran menjadi lemah. Herumawan menggambarkan dunia di mana hukum bisa dinegosiasi, kebenaran bisa dikonstruksi, dan semuanya bergantung pada seberapa keras 'uang bicara'.

'Uang itu tak hanya bicara. Ia bisa memerintah. Ia bisa menghapus kesalahan atau menciptakan kebenaran semu.' Kalimat ini merupakan kutipan kunci dalam cerpen yang menunjukkan bahwa uang dalam cerita ini bukan sekadar alat transaksi, melainkan tokoh utama yang mendominasi konflik dan alur narasi. Uang menjadi simbol dari kerusakan sistemik dan kekuatan tak kasat mata yang mengatur kehidupan sosial.

Untuk menafsirkan lebih dalam cerpen ini, pendekatan hermeneutika sangat relevan. Menurut Schleiermacher, hermeneutika adalah seni memahami teks, bahkan lebih baik daripada penulisnya sendiri. Dalam konteks ini, pembaca tidak hanya dituntut memahami cerita di permukaan, tetapi juga menelusuri kondisi sosial yang melatarbelakangi teks tersebut. Cerpen ini lahir dari konteks Indonesia yang sarat dengan kasus suap, manipulasi hukum, dan tumpulnya integritas lembaga peradilan.

Hermeneutika menurut Hans-Georg Gadamer juga menekankan pada 'fusion of horizons'---penyatuan antara pemahaman awal pembaca dengan cakrawala makna yang dibawa teks. Sebagai pembaca yang hidup dalam masyarakat yang rentan terhadap korupsi, saya membawa pengalaman pribadi saat membaca cerpen ini. Pengalaman itu membentuk cara saya memaknai cerita, sehingga terjadilah proses fusi antara konteks pembaca dan konteks teks.

Tokoh dalam cerita ini tidak digambarkan sebagai orang jahat sejak awal. Ia manusia biasa, dengan idealisme dan nurani. Namun seiring cerita berkembang, ia mulai goyah karena sistem di sekelilingnya menormalisasi korupsi. Inilah kritik mendalam dari cerpen ini: bahwa korupsi tidak hanya terjadi karena individu yang jahat, tetapi juga karena sistem yang korup telah menjadi norma. Sastra di sini berfungsi sebagai media refleksi dan sekaligus peringatan.

Dalam teori hermeneutika Paul Ricoeur, setiap simbol mengandung makna tersembunyi yang harus ditafsirkan. Uang dalam cerpen ini bukan hanya benda, melainkan simbol dari relasi kuasa, kehancuran moral, dan hilangnya keadilan. Penafsiran terhadap simbol ini membuka lapisan-lapisan makna yang menunjukkan betapa dalamnya kerusakan sosial yang ingin dikritik oleh penulis.

Selain kuat secara simbolik, cerpen ini juga menarik dari sisi estetika. Bahasa yang digunakan tidak bombastis, namun tajam dan sarat ironi. Gaya penulisan Herumawan terasa ekonomis tapi penuh lapisan makna. Ia tidak berkhotbah, tapi menyuguhkan situasi yang membuat pembaca terlibat secara emosional maupun intelektual.

Karya sastra seperti ini penting tidak hanya sebagai hiburan, tetapi juga sebagai sarana pendidikan moral dan kesadaran kritis. Dalam masyarakat yang terus dibentuk oleh berita politik dan hukum yang mengecewakan, karya seperti 'Uang Bicara' adalah semacam teguran yang halus tapi menggigit. Ia mengajak pembaca merenung, mempertanyakan, bahkan mungkin bersikap.

Sebagai mahasiswa sastra, saya melihat cerpen ini sebagai contoh bagaimana sastra berperan dalam menggugat realitas sosial. Ia tidak hanya mengisahkan, tapi juga menyuarakan. Cerpen ini adalah bentuk perlawanan terhadap sistem yang membungkam keadilan melalui kekuatan uang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun